Jumat, 30 November 2012

berbeda dan dibedakan

Seorang teman kerja yang kukenal pendiam tiba-tiba saja siang ini bercerita panjang lebar tentang hidupnya. Hidup sebagai orang katolik yang tinggal di tengah-tengah masyarakat minang yang islam kental. Hidup sebagai orang yang berbeda dari kebanyakan orang lainnya. Ujarnya suatu saat, “ aku pernah hampir diusir dari kost saat pemilik kost dan penghuni kost yang lain tahu aku berbeda dengan mereka. Dan untuk menjalankan ibadah pun aku tidak berani secara terang-terangan. Banyak alasan kupakai supaya kepergianku ke gereja tidak diketahui orang banyak”.

“Aku juga pernah,” balasku kemudian. “Saat  aku bekerja di sebuah sekolah swasta kristen yang banyak orang cinanya” ujarku. Di sana secara tak kasat mata terjadi pelapisan kelas sosial para karyawan berdasar diskriminasi ras dan agama. Kelompok cina dan kristen berada pada lapis pertama. Pada lapis selanjutnya adalah mereka yang cina dan apa pun agamanya. Lapisan ke tiga adalah mereka yang kristen apapun rasnya. Lapis selanjutnya adalah kelompok katolik dan non cina. Yah yang paling apes jika dia jawa dan islam pula.

Aku lalu bercerita tentang seorang mantan muridku yang bekerja di salah satu pusat perbelanjaan terkemuka di Bandarlampung. Ia pernah mengeluh padaku. Ia pernah mengalami pembedaan soal gaji dan pekerjaan hanya karena ia orang jawa yang bekerja di tengah-tengah orang cina. “Gajiku lebih rendah dan pekerjaanku lebih banyak dari karyawan selevelku tapi cina,” keluhnya.

Dalam bidang perekonomian, praktik pembedaan sungguh jelas dijalankan. Bila kita menggunakan jasa transportasi, menginap di hotel, menonton di stadion, adanya pembedaan kelas menurut kemampuan ekonomi. Kelas VIP yang menyediakan berbagai fasilitas mewah tersedia bagi mereka yang bisa membayar mahal. Sementara bagi yang tidak bisa membayar mahal maka cukup menikmati fasilitas yang seadanya.

Bila datang ke pesta pernikahan atau ulang tahun, maka biasanya kursi bagian depan berupa sofa empuk dan berbagai kudapan tersedia dalam pinggan-pinggan elok. Dan mereka yang duduk di sana adalah para pemangku jabatan penting baik ekonomis maupun politis, pokoknya berbau strategis. Baris selanjutnya biasanya kursi empuk dengan sandaran yang diselimuti kain putih bersih. Mereka yang disana biasanya adalah mereka yang “agak” penting. Yang paling celaka biasanya yang paling belakang. Kursinya plastik. Makanan kotakan. Biasanya yang duduk di sini adalah mereka yang tergolong bukan siapa-siapa.

 Bahkan dalam dunia pendidikan, kita diajari berprilaku diskriminatif. Anak-anak yang pandai dikumpulkan di kelas unggulan atau bersekolah di sekolah unggulan yang dilabeli RSBI atau Sekolah National Plus. Para siswa diajari bahwa mereka berbeda dengan siswa lainnya. Mereka unggul sementara yang lain pecundang. Waduh kalau satu kelas bego semua terus siapa yang membantu mereka belajar. Bahkan adapula sekolah yang membedakan kelasnya dari sudut pandang kemampuan ekonomi. Yang bisa bayar lebih mahal maka kelasnya pakai AC plus fasilitas mewah lain.

Tidak cuma karena beda agama dan ras, atau karena beda kemampuan ekonomi, atau karena orang penting atau gak penting, kadang kala penyebab sederhana jadi alasan kita membedakan diri kita dengan orang lain misalnya karena tampilan biologis. Berambut keriting. Berkulit hitam. Berbadan gendut. Julukan diskriminatif lalu diberikan supaya perbedaan itu menjadi lebih jelas. Kita menjuluki si kriting pada orang tak berambut lurus. Atau, si hitam kepada orang yang tak berkulit putih. Atau, si gendut bila dalam kelompok kita terdapat seorang diri yang bertubuh gendut. Dan, masih banyak lainnya.

Bila kembali melihat pada peristiwa kerusuhan Mei 1998, Kebanyakan korban berasal dari etnis tionghoa. Alasan etnis tionghoa menjadi korban adalah : (1) mereka berbeda dengan pelaku kerusuhan, (2) mereka memegang kekuasaan ekonomi, (3) streotipe buruk orang cina misal orang cina itu licik, kikir, pelit. Padahal tidak sedikit orang pribumi yang lebih berkuasa, licik, kikir dan pelit dari orang cina tapi karena alasan (1) maka mereka menjadi korban.  Maka saat banyak orang-orang yang menulisi pagar rumah atau ruko-ruko dengan tulisan “Pribumi” untuk menunjukan bahwa mereka sama, tidak berbeda, dengan pelaku kerusuhan. Dan tidak jadi korban.

Demikian pula dengan keributan suku lampung dan suku bali di lampung selatan pun didasari karena alasan orang lampung berbeda, tidak sama, dengan orang lampung. Jika pun ada yang bilang penyebab kerusuhan disebabkan adanya oknum yang kurang ajar atau dendam berkepanjangan antar kedua suku, itu hanya bumbu pelengkap belaka.

Lalu mengapa perbedaan  harus menjadi persoalan ? Bukankah setiap orang terlahir berbeda. Tidak sama. Agaknya, membedakan seseorang yang berbeda dengan kebanyakan orang sudah mengadat dalam pergaulan masyarakat kita. Ataukah justru sebenarnya perilaku diskriminasi, membedakan orang yang berbeda, adalah naluri alami manusia ? jika hal itu adalah naluri maka perilaku diskriminasi tidak bisa dihilangkan.

Manusia sebagai mahluk sosial dan mahluk cerdas dengan akal budinya menciptakan etika dan moral. Etika dan moral inilah yang dipakai untuk membungkus dan menyimpan rapi naluri diskriminatif dan meletakkannya di dalam alam bawah sadar manusia. Bila manusia merasa terancam, dan ancaman itu berasal dari orang atau kelompok yang berbeda dengannya maka etika dan moral tidak bisa berlama-lama membungkusnya. Naluri diskriminatif segera bangkit dari alam tidak sadar manusia.

“Terus mesti gimana dong ?” tanya temanku usai aku bercerita panjang lebar. Sesaat aku diam.“Yah... harus pandai-pandai menyimpan naluri ini,” jawabku. Ia lalu bertanya lagi, “bagaimana caranya ?” Dengan bergaya sedikit filosofis aku menjawab, “boleh saja melihat sesuatu yang berbeda tetap sebagai perbedaan tapi kemudian tidak mempermasalahkan perbedaan itu.” Kulihat wajahnya masih kuat memancarkan ketidak puasaan tapi ia segera berlalu dariku. Yah, setiap orang punya cara masing-masing dalam menyikapi perbedaan, sepanjang sikap itu tidak kontraproduktif.

Senin, 26 November 2012

Pissbuk... oh alah pissbuk...

Pada suatu sore saat tengah bersantai di beranda depan, tampak tergopoh Nopi, seorang kawan semasa kecil, menghampiri. Dengan agak kesulitan mengatur nafas ia menyampaikan niatannya datang ke rumahku.
“Bro, kamu harus membantuku !”ujarnya tersengal-sengal.
“Wee... Ada apa gerangan seorang kawan lama tiba-tiba hadir membutuhkan bantuanku. Bantuan apa yang bisa kuberikan padamu kawan ?”tanyaku.
“Kau harus membuatkanku pis...pis...buk ya pissbuk,” sambungnya.
Gedubrak...kaget campur geli mendengarnya tapi tidak sampai jadi ketawa karena takut yang punya niatan jadi tersinggung. “Facebook... maksudnya...?” tanyaku.
“Iya betul itu... Pissbuk!” tegasnya.
“Ah... gampang itu. Nanti malam kubuatkan kau facebook. Tapi, jika boleh tahu gerangan apa yang membuat engkau ingin membuat facebook ?” ujarku ingin tahu.
“Kau tau Yoyok ?” tanyanya. Aku menganggukan kepala sebagai jawab.
“Kata teman-teman di menjelek-jelekan aku di situ. Di pissbuk...” Nopi menjelaskan kepadaku. Aku cuma tersenyum.
“O... gitu yah. Kukira kau mau mengembangkan usaha combromu lewat facebook” ujarku. Kami lalu mengobrol panjang lebar sampai larut malam. Karena lelah, maka Nopi pun pulang. Aku masih duduk di beranda. Diam. Temenung. Merenungi si pissbuk.

Rasa penasaran pada si pissbuk mulai menumbuhi benakku. Aku pernah membaca di situs web BBC Indonesia, bahwa dari Januari sampai Februari 2012 telah terjadi 21 kasus penjualan seksual komersial melalui facebook yang terjadi di Surabaya dan 11 kasus lainnya ada di Jakarta juga menggunakan facebook. Bahkan situs web BBC Indonesia juga melansir berita seorang anak remaja berusia 18 tahun divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Kota Bogor, Jawa Barat karena dianggap menghina temannya melalui jejaring sosial facebook. Mengapa begitu banyak persoalan yang ditimbulkan facebook ?

Lalu, dimulailah perburuan informasi-informasi tentang facebook di internet. Di situs web Wikipedia Indonesia, Andreas Kaplan dan Michael Haenlein (2010) dalam artikel karangan mereka di Horizon Bisnis, mengatakan bahwa facebook merupakan media sosial yang termasuk jenis situs jejaring sosial. Yang mana, situs jejaring sosial adalah suatu aplikasi yang mengizinkan user untuk dapat terhubung dengan cara membuat informasi pribadi sehingga dapat terhubung dengan orang lain. Informasi pribadi itu dapat berupa biodata, foto atau video. Sebenarnya facebook bukanlah satu-satunya situs jejaring sosial yang ada di dunia maya. Banyak jenis situs jejaring sosial lainnya seperti my space, friendster, Hi5, twitter, Linked in, Bebo, Koprol, dan Yahoo! Meme. Situs jejaring sosial yang kali pertama muncul adalah Sixdegree.com di tahun 1997. Facebook sendiri diluncurkan pertama kali pada tanggal 4 Februari 2004 oleh Mark Zuckerberg sebagai media untuk saling mengenal bagi para mahasiswa Harvard. Di Facebook para user dapat bergabung dalam berbagai komunitas seperti kota, tempat kerja, sekolah, dan daerah asal untuk berinteraksi dengan orang lain. User juga dapat menambahkan teman-teman mereka, mengirim pesan, dan memperbarui profil pribadi agar orang lain dapat melihat tentang dirinya. Ringkas cerita, semua informasi berkait dengan facebook kubaca, mulai dari pengertian media sosial, pengertian jejaring sosial, sejarah facebook, biografi pendiri, kasus-kasus kriminal yang berkait dengan facebook, ulasan para blogger tentang dampak facebook, perkembangan pengguna facebook di Indonesia, sampai tinjauan filosofi facebook.

Huh... ternyata tidak ada yang salah pada facebook ! Dengan facebook kita bisa silahturahmi dengan para sahabat dan sanak saudara di tempat yang jauh. Dengan facebook kita bisa menambah teman. Dengan facebook kita mengembangkan diri melalui tulisan dan foto yang kita buat. Dengan facebook kita bisa belajar memasarkan barang. Wah... banyak juga yah manfaatnya. Tapi, mengapa persoalan-persoalan di atas bisa terjadi yah?

Sebuah analisa sederhana, persoalan pelecehan seksual dan penghinaan berkait dengan facebook terjadi karena tidak adanya sikap ugahari. Sikap ugahari adalah sikap tahu batas. Kita kadang lupa membatasi diri dalam mengungkapkan perasaan hati kita. Kita kadang lupa membatasi diri membeberkan informasi (foto dan video) tentang kita. Kita kadang lupa membatasi diri mengakses facebook tanpa melihat waktu dan tempat. Kita jadi sangat tebuka. Kita jadi sangat narsis. Kita jadi sangat hedonis. Nah karena sikap kita yang lupa diri, tidak ugahari, maka dampak negatif pun muncul. Bukankah kasus seorang anak remaja berusia 18 tahun divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Kota Bogor, Jawa Barat karena dianggap menghina temannya melalui jejaring sosial facebook terjadi terjadi akibat ia tidak dapat membatasi dirinya dalam mengungkapkan rasa tidak senang pada temannya. Tidak menutup kemungkinan pula kasus penjualan seksual komersial melalui facebook pun terjadi karena korban tidak bisa membatasi dirinya. Terus bagaimana? Yah, menjadi user yang arif dan bisa membatasi diri, merupakan cara jempol untuk menangkal dampak negatif facebook. Dan facebook pun bisa benar-benar menjadi pisss...buk !



*) dimuat dalam tabloid sekolah TARA, Edisi 07/Thn IV September 2012.

Selasa, 13 November 2012

Belajar Bersyukur

Pada Harian KOMPAS edisi Jumat 10 Desember 2010, Penasehat KPK, Abdullah Hehamahua, mengatakan sekitar 60 persen dari 3,7 juta hingga 4 juta pegawai negeri sipil ( PNS ) melakukan praktik korupsi. Korupsi dapat dimengerti sebagai penyelewengan atau penggelapan harta (negara atau perusahaan) dengan tujuan keuntungan pribadi atau orang lain. Oleh karena itu, korupsi berarti merupakan bentuk kecurangan karena tujuannya keuntungan pribadi dengan merugikan orang lain. Lantas, mengapa sampai 60 persen dari 3,7 juta hingga 4 juta PNS melakukan hal itu? Salah satu jawaban yang muncul adalah kecilnya gaji sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup. Tetapi, jika diamati lebih lanjut mereka [para koruptor] hidup dalam bergelimangan harta maka bisa dikatakan bukan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka korupsi tetapi untuk memenuhi gaya hidup mewah. Selanjutnya, Abdullah Hehamahua berpendapat bahwa menjadi sangat penting pemberian materi pendidikan antikorupsi di lingkungan sekolah dan keluarga. Tetapi, bukankah sebelum seorang anak mengenal istilah korupsi dalam hidupnya, ia pasti sudah terlebih dahulu menerima pelajaran antikorupsi di keluarganya. Apalagi jika melihat latar belakang hidup para koruptor yang pasti beragama.
Pelajaran antikorupsi itu adalah bersyukur. Bersyukur merupakan bentuk apresiasi emosi yang positif. Suatu sikap mengakui manfaat yang sudah diterima. Bersyukur secara historis berasal dari dunia agama. Menurut agama Ibrani, bersyukur menjadi sangat penting karena segala sesuatu itu datang dari Allah. Di agama Kristen, syukur merupakan pengakuan atas kemurahan Tuhan. Dan dalam agama Islam, para pengikutnya didorong untuk mengucapkan terima kasih dan mengungkapkan kepada Tuhan dalam segala situasi.
Berkait dengan syukur, ada dua peristiwa sederhana tapi cukup menggetarkan hati boleh kualami beberapa waktu ini. Pertama, saat makan siang dengan seorang teman di sebuah warung makan. Seorang perempuan tua berpakaian kumal mendatangi meja makan kami memohon sedekah. Karena merasa kasihan maka kuulurkan selembar uang seribuan ke hadapannya. Setelah menerimanya perempuan itu segera berterima kasih lantas berujar panjang lebar, intinya kurang lebih agar Tuhan mencurahkan rahmat murah rejeki kepadaku. Meski sebentar tertegun lalu peristiwa itu kuanggap lumrah. Rapalan mantera belaka dari pengemis agar pemberi nafkahnya menjadi senang.
Kedua, saat aku berada di sebuah rental video. Ketika sedang berkonsentarasi memilih judul film yang ingin kusewa, tiba-tiba menyeruak suara nyanyian,  jeritan lebih tepatnya, dari seorang perempuan di luar rental. Diiringi gemericing alat musik perkusi sederhana, seorang perempuan berbaju merah kumal dan berkaca mata hitam bernyanyi dan menari. Gaduh, namun cukup lucu. Apalagi ditambah dandanannya nyentrik, cenderung berlebihan malah hingga orang langsung beranggapan ia seorang perempuan kurang waras. Aku bersama beberapa pengunjung dan para penjaga rental tertawa melihatnya. Kuulurkan uang koin lima ratusan ke perempuan itu. Ia menerima uangku, tak kusangka ia langsung berujar panjang lebar yang intinya agar Tuhan memberikanku kemurahan rejeki. Hal yang membuatku bergetar ada nada suka cita dalam ujarannya. Dan kemudian, menyusul perasaan penyesalan karena hanya memberi lima ratus rupiah.
Di suatu kesempatan. Kucoba mengingat-ingat semua peristiwa terkait perjumpaan dan pemberian uang kepada kaum papa (pengemis, pengamen, anak jalanan, tukang parkir dan gelandangan). Memang tidak besar, cuma berkisar lima ratus sampai dua ribu rupiah. Tetapi tidak semua dari mereka mengucapkan terima kasih sesudah menerimanya. Terkadang hanya dibalas dengan anggukan kepala. Malah ada yang mengganggap pemberian yang didapatnya terlalu kecil. Berarti, kedua perempuan itu sungguh luar biasa. Keduanya, tidak cuma berterimakasih malahan menimpali dengan doa agar orang-orang yang sudah berbaik hati ke mereka diberikan kemurahan rejeki oleh Tuhan.
Ternyata, pengalaman ini pun dialami oleh Isa Almasih, yang di dalam perjalananNya menyusuri perbatasan samaria dan galilea, mengalami perjumpaan dengan sepuluh orang kusta yang memohon ditahirkan dari kusta. Lalu, mereka pun menjadi tahir. Tetapi, dari kesepuluh orang hanya satu orang yang kembali dan mengucap syukur [Lukas 17:11-19].
Uuh.. terasa sungguh tersindir habis-habisan. Sebagai seseorang yang sejak kecil dibesarkan dalam tradisi agama maka saya percaya bahwa Tuhan selalu memberi makanan saat kelaparan. Minuman saat kehausan. Kesembuhan saat kesakitan. Bahkan, kebutuhan yang tidak atau lupa diminta pun dipenuhi oleh Nya. Tapi, kita kerapkali terlupa untuk mengucapkan terima kasih, bahkan terkadang rentetan umpatan ketidakpuasan yang keluar. “Ah, makan siangnya cuma pakai lauk tempe...” “Wah... Gajiku kecil !”. “Sialan...Pagi-pagi kok hujan !” dan masih banyak lagi wujud ketidakpuasan atau ketidakbersyukuran atas apa yang kita terima.
Sebuah analisa sederhana, ramainya kasus korupsi di negara ini mungkin dapat diselesaikan jika dari awal seorang manusia ditanamkan nilai-nilai bersyukur. Dan, dilatih mulai dari kecil secara sadar diajarkan untuk bersyukur dalam segala hal, atas apapun dan berapapun yang diperoleh. Bersyukur atas kedudukan yang dicapai. Bersyukur atas income yang diperoleh. Bersyukur karena dipercaya oleh orang lain. Karena ketidakbersyukuran merupakan hulu dari ketidakpuasan. Ketidakpuasan berbuah keserakahan dan ketamakan. Manifestasi dari ketamakan adalah perilaku korupsi. Sehingga, tanpa malu mengambil apa yang bukan menjadi hak. Mungkin, saya harus belajar dari dua perempuan yang pernah saya jumpai.

Minggu, 21 Oktober 2012

Kampanye...

Pada suatu hari minggu, karena diminta ayah untuk mengantar dan menemani ke pesta pernikahan anak rekanan kerjanya maka aku pun hadir di pesta pernikahan. Padahal, menurutku hadir di pesta pernikahan adalah salah satu hal yang membosankan di dunia. Membosankan karena hanya berisi rangkaian panjang pidato penuh basa basi. Mulai dari pidato wakil keluarga. Wakil besan. Wakil tamu undangan. Formalitas belaka. Tanpa ketulusan. Satu-satunya yang paling menarik dan kutunggu-tunggu dari pesta pernikahan hanya makan siang. Itu pun kadang tidak serasi dengan selera lidah.
Tampaknya pesta pernikahan kali ini agak berbeda dengan kebanyakan. Aneh. Menjadi aneh karena di sela-sela acara dijejali kampanye terselubung kepala daerah calon gubernur dan bupati. Alasanya klise, calonnya masih keluarga sendiri. Buset... sempet-sempetnya. Apa gak ada waktu lain bos?
Tampaknya yang kurang sreg dengan acara kampanye itu bukan aku saja. Seorang bapak yang didaulat memimpin doa makan, sebelum memimpin doanya sempat berkelakar, katanya “bapak dan ibu tahu tidak bedanya Pilkada dan Pil KB ?” Semua hadirin menggeleng. “Kalau Pil KB, jika lupa makan pil KB maka jadi ( jadi anak maksudnya ) tapi kalau Pilkada sebaliknya, jika sudah jadi maka lupa ( lupa janji maksudnya )!” Seluruh hadirin terpingkal-pingkal. Beberapa tampak mengangguk-anggukkan kepala sebagai tanda sepakat. Cuma tim sukses sang calon gubernur dan bupati yang tampak cemberut. Malu kali... Pesta nikahan kok untuk kampanye.

Jumat, 12 Oktober 2012

Sakit Gigi

Ada sebuah ungkapan menarik dari sebuah lagu yang dilantunkan oleh Meggy Z, seorang biduan dangdut, ujarnya bahwa daripada sakit hati lebih baik sakit gigi. Menurutku, dulu, hal  itu tidak tepat. Aku tidak tahu mengapa sang biduan mengungkapkan itu. Apakah karena sang biduan belum pernah sakit gigi ataukah karena aku yang belum pernah sakit hati? Yang jelas, menurutku pasti lebih sakit rasanya sakit gigi daripada sakit hati.
Suatu tempo, dulu,  kala terkena pemutusan hubungan sepihak [PHS] oleh tunanganku, baru aku tahu rasanya sakit hati. Menderita. Merana. Tidak enak makan. Tidak nyenyak tidur. Saat itu untuk kali pertama aku sepakat jika sakit hati rasanya lebih sakit daripada sakit gigi.
Ternyata kesimpulanku tidak bertahan lama. Dua bulan pasca terkena PHS, gigiku sakit. Gigiku ternyata berlubang. Gede banget lubangnya. Infeksi. Gusi membengkak. Sudah tiga hari ngenyut-ngenyut. Tidak enak makan. Tidak nyenyak tidur. Hendak dicabut tapi dokter tak bernyali. Uuuh... menderita sekali. Merana. Saat dalam penderitaan inilah aku terpaksa memformat ulang pendapatku. Sakit gigi tak kalah menderita dan sama merana dengan sakit hati.
Kesimpulan ini tampaknya bertahan lama, karena setelah itu aku lebih sering sakit gigi daripada sakit hati. Berarti lebih sering pula aku menderita dan merana karena sakit gigi.

Kamis, 11 Oktober 2012

Generasi yang Terkepung

Pada sebuah perbincangan kecil, salah seorang teman berujar bahwa ia merasa bahagia dilahirkan empat puluh tahun lebih dulu, ujarnya kemudian jika ia dilahirkan saat ini ia merasa tidak tahu apa jadi dirinya. Lalu tanyaku, “kok bisa ?”
Ia menjawab, “coba kamu lihat lagi ke masa 40 sampai 20 tahun lalu, ada apa saja disana ? Internet...? Black Berry...? Play Station...? Mall...?”
“Motor dan televisi pun masih langka...”, tambahnya.
Lalu ujarku menanggapi, “Emang sih semuanya itu belum ada dan masih langka lantas ada apa dengan semua itu? Salahkah?”
“Bukan salah, tapi itu yang membuat generasi saat ini menjadi generasi terkepung. Terkepung dengan hedonisme dan kapitalisme !” ujarnya.
Ia lalu meneruskan, “Belum lagi mereka terkepung dengan hal-hal lain misalnya kekerasan, perilaku korupsi para pejabat negara, kecurangan ujian nasional dan masih banyak lagi lah...” Temanku diam sesaat.
“Aku cuma tidak tahu bagaimana aku bisa bertahan bila mudaku hidup di jaman ini.” Ujar temanku menegaskan.
Aku selanjutnya cuma terbahak-bahak lalu berkata “masing-masing jaman punya tantangan sendiri-sendiri, dan masing-masing generasi punya cara beradaptasi.”

Rabu, 10 Oktober 2012

Ups... membingungkan !

Malam ini, aku bertemu lagi dengan kematian. Seorang bocah kira-kira berumur 15 tahun mati setelah menderita sakit demam berdarah. Tiga hari sebelumnya seorang nenek berumur 85 tahun mati setelah sakit selama dua tahun. Kematian tidak mengenal usia.
Kemarin, seorang teman bertanya, “bila besok aku mati apakah aku bisa bertemu dengan suamiku ?” Seorang teman, yang sarjana teologi menjawab “Tidak ! Ketika kita di surga kita sudah tak ada ikatan suami istri lagi.” Lalu, temanku menangis. Mungkin sedih bakal tidak bisa jumpa dengan suaminya lagi. Kematian memisahkan.
Ah, memang kematian seorang saudara, sahabat, suami, istri, atau anak selalu menghadirkan tangis. Air mata kesedihan. Padahal, di medan perang kematian seorang musuh selalu diakhiri tawa. Sorakan kegembiraan. Kematian sebuah paradoks.
Lalu, seorang isa menebus dosa manusia dengan memilih mati di salib. Kematian sebuah pengorbanan, katanya.
Ups... membingungkan.
Tiada jawab. Lamunan panjang seterusnya. Wajah ibu. Wajah temanku Femi. Wajah Mbah Yuwono. Wajah Pak Barnabas Daud. Wajah orang-orang yang kukenal yang sudah mati. Terbayang satu demi satu.
Dimanakah yah sekarang mereka? Sedang apa yah mereka ? Sekali lagi cuma bertanya. Tanpa jawaban. Karena memang tidak tahu jawabnya apa.
Sekali lagi. Ups... membingungkan.

Senin, 08 Oktober 2012

Belajar Membaca

Delapan tahun bukanlah waktu yang singkat menjalani pilihan menjadi seorang guru. Tetapi, bukan pula waktu yang sangat panjang jika dibandingkan dengan waktu yang sudah dijalani oleh bapak dan ibu guruku. Delapan tahun menjadi guru bukan pula waktu yang dipenuhi dengan goresan-goresan kisah penuh penderitaan. Ada pula kisah-kisah kebahagiaan yang tergores. Bahkan lebih banyak goresan kebahagiaan di perjalananku sebagai guru.
Tetapi, menurutku kebahagiaan terbesar malahan saat aku jadi guru-guruan. Sebetulnya bukan guru sungguhan tapi pendamping belajar tepatnya. Saat itu, aku mendampingi belajar anak-anak di Tempat Pembuangan Akhir [TPA] Piyungan dalam komunitas Sanggar Cakruk dan saat aku mendampingi belajar beberapa anak di dusun Pringgodani dalam komunitas BW3. Dan, momentum kebahagiaan itu adalah saat seorang anak dampinganku bisa membaca.
Membuat seorang anak bisa membaca di jaman ini ternyata bukan perkara mudah. Mereka terkepung banyak musuh tak terlihat. Televisi yang menawarkan hiburan 24 jam. Warnet yang menawarkan akses informasi tanpa batas. Warung game net yang memberi tawaran permainan dunia maya. Orang tua yang karena tekanan ekonomi terpaksa meninggalkan mereka belajar sendirian. Sekolah yang sudah menjelma mesin produksi massal siswa meninggalkan mereka yang dianggap bukan faktor produksi unggul. Tak bisa kubayangkan bagaimana para guru kelas satu SD, seperti ibu guruku dulu, ibu Marjiyem, bisa setia mengajari membaca banyak siswa dalam satu kelas.
Ada sebuah pengalaman menarik saat mengajari anak ini, sebut saja si Adi, membaca. Beberapa metode sudah dicoba pakai untuk mengajarinya membaca. Sejauh ini hasil yang didapatkan si Adi mulai mengenal huruf tapi belum bisa merangkainya menjadi sebuah kata. Lalu seorang kawan mengusulkan sebuah metode.“Coba kau kasih gambar lalu dibawahnya kau beri huruf berikut cara mengejanya”. Aku pun mengiyakan. Lalu, kucari gambar di majalah dan memilih gambar cabe merah.
“Iki huruf opo ?”
“ C...” jawab Adi mantap.
“Iki huruf opo ?”
“A...” jawab mantapnya lagi.
“Iki huruf opo ?”
“B...” jawabnya tambah mantap
“Iki huruf opo ?”
“E...” jawabnya sangat mantap. Aku senang ia bisa mengenal huruf-huruf.
“C...A...” Aku mengeja suku kata pertama. Ia menjawab mantap “CA...” Aku memujinya, “bagus...”
“B...E...” Aku mengeja suku kata kedua. Ia kembali menjawab mantap “BE..” Aku memuji lagi “bagus...”
“terus berarti C..A...CA... B...E...BE... muni ne opo ?” Dengan suara lantang ia berseru, “LOMBOK...” Aku tak bisa menahan diri untuk tertawa. Adi pun tertawa. Semua pun tertawa.
“Lah bener toh mas. Sing warnane abang jenenge lombok. Sing warnane ijo kui rawit !” Adi memberikan alasannya. Kuraih kepalanya lalu kucium kepalanya sambil berkata, “bener kowe di, aku sing keleru...”

Minggu, 07 Oktober 2012

Ada Uang Abang Sayang

Ada uang abang sayang
Tak ada uang abang kutendang
Memang pantas diriku melakukan itu...


Pagi-pagi benar, telingaku sudah dipaksa mendengar lagu dangdut yang keluar dari radio dua band milik tetangga. Meski suara lusy rahmawati merdu terdengar tapi jam lima pagi bukanlah saat yang tepat untuk mendengar lagu dangdut, maklumlah aku bukan dangdut mania. Semakin kulawan semakin memelekan mataku. Aku pun beranjak dari kasur. Duduk di kursi. Dan mendengarkan. Hmm... ternyata enak didengar, lagian tema lagunya menarik. Tentang cinta dan uang. Hmm...lagi-lagi uang.
Tidak dipungkiri, jaman sekarang, semua orang butuh uang. Dimana aja dan ngapain aja butuh uang. Beribadah di gereja butuh uang. Buang hajat butuh uang. Parkir kendaraan butuh uang. Jadi presiden butuh uang. Lahir butuh uang. Mati butuh uang. Cari uang pun harus keluar uang. Untung kentut gak butuh uang... tapi kalo gak bisa kentut malah butuh uang loh...
Memang tampaknya, uang yang pada awalnya diciptakan manusia sebagai alat  untuk mempermudah pertukaran barang dan alat untuk mempermudah menyatakan nilai suatu barang yang hendak dipertukarkan, sudah berkembang pesat. Uang, tanpa disadari, telah berevolusi menjadi simbol kekuasaan. Kekuasaan politis maupun ekonomis.
Maka orang lalu berlomba-lomba menghasilkan uang. Semua hal dilakukan, dari kerja halal sampai kerja tidak halal, demi uang. Semakin banyak uang dimiliki maka semakin besar kekuasaannya. Malahan manusia kemudian dengan kesadarannya membunuh konsep ketuhanan demi uang. Manusia tidak lagi takut pada dosa. Manusia lebih takut tidak punya uang. Hal itu bisa kita lihat di media-media massa. Korupsi merajalela. Manusia tega saling membunuh. Manusia merusak alam. Manusia meninggalkan ibadah. Manusia pun semakin rakus melahap semua.  
Lagu ada uang abang sayang pun berarkhir. Aku bangkit dari kursi. Bangkit pula dari lamunan. Mandi. Bersiap-siap kerja. Menghasilkan uang. Mengumpulkan uang sebanyak mungkin.

Kamis, 04 Oktober 2012

Ledi gaga oh... Ledi gaga

Sore-sore kayak gini paling enak nongkrong di angkringan bareng temenku Broto. Sambil klepas klepus rokok dan ngemil gorengan, kami ngobrol ngalur kidul. Tak sengaja mataku tersangkut di koran pembungkus sego kucing. Kumakan sego kucingnya lalu kubaca beritanya.
“Bro, ledi gaga tuh sapa toh?” tanyaku pada temanku si Broto yang duduk di kananku.
“ Huusss... jangan sembarangan kamu menyebut namanya !” Broto memelototiku.
“Lah emang kenapa toh bro ?” tanyaku.
“Mosok kamu gak kenal dengan dia !” dia balik bertanya
“ Gimana mau kenal. Denger namanya aja baru karena ini.” Aku menyodorkan kertas pembungkus sego kucing.
“Dia itu penyanyi. Cantik wajahnya. Tapi, dia seorang pemuja iblis. Dia dijuluki ibunya iblis,” terang si Broto.
“Mosok toh bro,” tanyaku lalu menyeruput kopi.
“Eh... ini orang dibilangin gak percaya! Kalo dia sudah menari-nari dan bernyanyi di depanmu maka kamu bisa jadi anaknya iblis. Setan.” Broto menerangkan sekali lagi
“Kok bisa ?” Tubuhku merapati Broto.
“Lah yah bisa lah... Ledi gaga itu kan kalo sudah menari dan menyanyi cuma pakai beha dan kancut aja. Bahkan, lama-lama telanjang bulat. Selain dari itu, dia dan para penarinya memeragakan hubungan seksual sesama jenis. Jika kamu melihatnya maka lama-lama kamu terbuai. Langsung jadi iblis” Wajah Broto tampak serius sekali menerangkan.
“Kok kamu tahu bro ?” Tanyaku untuk kesekian kali.
“Ya aku tahu karena diceritain ama tetanggaku. Kemarin dia ikut demo di Jakarta. Demo menolak kehadiran si Ledi gaga.” Broto lalu meneguk es tehnya.
“Emang si Ledi gaga mau ke negara kita bro ?” temanku cuma mengangguk.
“Buset... bisa jadi setan semua kita nanti bro !” Ucapku khawatir. Broto menghisap dalam rokoknya. Menghembuskan sambil manggut-manggut. Lalu aku bertanya lagi,“berarti tetanggamu udah jadi setan bro?”
Langsung si Broto menatapi tajam, “huss... jangan sembarangan kamu. Dia itu orang baik. Rajin berdoa.”
“Tapi kok tahu yah kalo si Ledi gaga suka menari dan menyanyi hanya memakai beha dan kancut aja.” Ungkapku.
“Dia tuh gak nonton. Dia cuma diceritain. Diceritain ama temennya. Temennya yang cerita itu tahu dari tetangganya. Tetangga yang cerita ke temannya temenku tadi tahunya dari orang sakti” Broto meruntutkan sumber informasinya.
“Kalau gitu kita datengin aja orang sakti itu bro. Kita tanya-tanya tentang ledi gaga. Siapa nama orang sakti itu bro ?”
Broto menggaruk hidungnya sambil mengingat-ingat, “kalo gak salah dengernya sih namanya mbah... sebentar... mbah gugel. Yah, mbah gugel.” Lalu Broto menatapku lesu, “lagian mbah gugel itu tinggalnya di jakarta. Tetangga temannya temenku kenal mbah gugel waktu ikut demo BBM di Jakarta.”
Aku menyeruput kopi. Mencomot tahu bunting goreng. Mengunyah pelan-pelan. Demikian pula Broto. Klepas-klepus menghabisi rokoknya. Tanpa suara. Entah apa yang dipikirkannya. Kalo aku masih penasaran pada Ledi gaga. Ledi gaga oh... Ledi gaga.

Rabu, 03 Oktober 2012

Maling Ayam vs Koruptor

Sebuah diskusi kecil terbentuk di sebuah warung angkringan sesaat setelah makan siang usai. Diskusi dihadiri para pejabat teras, teras masjid, dan wakil rakyat kecil-kecilan. Di bangku ujung, duduklah Ujang, seorang debt collector bank plecit. Lalu di bangku tengah, duduklah Amir, seorang tukang ojek. Dan sebagai moderator, Kang Sur, sang pemilik angkringan. Mereka bertiga populer dijuluki politisi senayan, sepanjang jalan ahmad yani. Tempat biasa mereka mangkal.
Terlontar wacana di diskusi itu bahwa perbuatan mengambil hak orang lain [ dibaca: nyolong ] jika dalam skala kecil, maksudnya jika yang dicolong jemuran, mangga, ayam, atau sandal jepit, maka pencuri tersebut adalah musuh negara. Sementara jika yang dicolong uang ratusan juta atau milyaran rupiah maka pencuri tersebut adalah sekutu negara.
Ketika para politisi senayan hendak memufakatkan hasil diskusi. Seorang mahasiswa yang dari tadi tampak asik makan. Mengiterupsi jalannya diskusi.
“ Mengapa nyolong jemuran malah jadi musuh negara ?” ungkapnya.
“Nyolong jemuran itu perbuatan memalukan !” tukas Amir.
“Kan sama memalukan dengan korupsi” ungkapnya kembali.
“Ya beda mas !” sambung Ujang emosional.
“Kok bisa beda? Kedua-duanya nyolong. Kedua-duanya memalukan !” Sang mahasiswa mendengus tak puas.
“Nyolong jemuran itu memalukan. Itu menunjukan jika negara ini belum makmur. Masih kere. Pakaian aja dicolong !” jelas Amir. Ia batuk sebentar lalu menyambung lagi “lah kalau korupsi itu kan menunjukan negara ini kaya. Semakin banyak uang yang dikorupsi. Semakin banyak yang korupsi. Semakin kelihatan kaya negara ini !”
Amir kemudian mengangkat tangannya layaknya bung Tomo dengan berapi-api ia berujar, “berarti korupsi mengharumkan nama negara ini. Karena menunjukan bahwa Indonesia adalah negara kaya. Makmur !”
Kang Sur tak mau kalah, “selain itu saudara-saudara. Yang perlu saudara-saudara ingat bahwa korupsi hanya bisa dilakukan oleh orang pintar. Orang berpendidikan. Lulusan universitas. Jadi makin banyak korupsi berarti makin banyak orang pintar di negeri ini. Sementara nyolong ayam dilakukan oleh orang goblok. Orang tidak berpendidikan. Jebolan SD. Jadi makin banyak orang nyolong jemuran maka makin banyak orang goblok di negeri ini.”
Sang mahasiswa cuma manggut-manggut. Berdiri. Membayar makan. Lalu pergi.

Selasa, 02 Oktober 2012

Intel Rebus vs Program Diet

Salah satu hal yang tersulit untuk mengatakan “tidak” adalah saat ditawari semangkuk intel rebus alias indomi telur rebus. Selalu saja tersedia alasan untuk mengiyakan tawaran menyantap intel rebus yang datang. Gratis pula.
“ah, kan cuma satu mangkok saja...”
“kan cuma malem ini doang. Besok gak lagi kok...”
Dan, masih banyak stok alasan lainnya. Kalau pun alasannya habis bisa dicari-cari.
Persoalannya sekarang adalah aku sudah telanjur mendeklarasikan program diet. Maka menyantap intel rebus di malam hari menjadi haram. Hari pertama, kuat. Hari ke dua, kuat. Hari ke tiga, kuat. Hari ke empat, nyicip sesendok aja. Tombo pengen. Hari ke lima, titip pesen. Sisain sedikit aja. Seiklasnya aja. Hari ke enam, bikin sebungkus tapi bagi dua yah. Dan, hari ke tujuh. Membongkar sendiri bungkus mi. Membuat sendiri. Menghabiskan sendiri. Sambil menyeka keringat berkata “kan cuma sebungkus aja.” Lalu mulai rusaklah program diet yang sudah dideklarasikan. Meski tanpa jumpa pers. Tapi semua orang tahu.
Pun sisa-sisa kenikmatan [ bisa dibaca: lemak, tapi jangan keras-keras membacanya ] tebal menumpuki lingkar pinggangku, tapi tampaknya intel rebus vs program diet kali ini kembali dimenangkan oleh intel rebus.  Menang Telak. TKO.

Senin, 01 Oktober 2012

Mati yang Keren...

Sepulang menguburkan jenazah salah seorang tetangga yang mati. Terjadi perbincangan kecil antar dua orang pelayat.
“Orang kaya mah matinya keren”, ujar ujang membuka percakapan.
“Maksud lu ?” tanya teman disebelahnya.
“Lah orang kaya meninggal biasanya karena kolesterol, stroke, atau hipertensi”, jawab ujang.
“Maksud lu...  Nama penyakitnya yang keren namanya?” temannya bertanya lagi.
“Bukan cuma sekedar namanya yang keren. Tapi, penyebabnya juga. Karena kebanyakan makan enak. Lah kalau kita orang kan biasanya mati karena diare. Demam berdarah. Paling keren yah karena kena kanker. Itu aja mati karena gak bisa ngobatin,” jelas ujang panjang lebar.
Tiba-tiba seorang bapak yang dari tadi mengamati perbincangan kedua pemuda ini menyeletuk,”berarti keren dong yang kemarin mati karena kecelakaan pesawat ?”
“Boleh juga tuh pak,” ujar ujang tangkas. Lalu sambungnya, “daripada mati karena minum baygon, ya kan !”
Aku pun geleng-geleng mendengarkannya. Perbincangan yang aneh. Tapi lucu. Pernah dengar ada pepatah yang berbunyi harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan sejarah. Jadi kalau manusia mati ia juga akan meninggalkan cerita bagaimana kematiannya. Aih... emang susah jadi manusia !

Minggu, 30 September 2012

Pedagang Es Tebu

Karena hari yang sangat panas maka aku dan ayahku sepulang berbelanja keperluan sehari-hari dari pasar mampir dulu membeli es tebu di pinggir jalan. Selepas aku memarkir motor di samping gerobak es tebu, ayah segera memesan dua gelas besar es tebu.
“Oh... hari yang sangat panas !” keluhnya pada sang pedagang es.
“Iya pak,” jawabnya sambil melayani.
“Tapi bukankah cuaca panas begini yang jadi harapan para pedagang es” ujar ayah bercanda.
“Wuih ya gak gitu lah pak. Kalo panas begini terus ya pohon tebunya pada mati. Kalo tanaman tebu pada mati ya gak jadi jualan es tebu dong pak” seloroh sang pedagang. Ayahku langsung menjawabnya dengan tawa yang berderai.
Aneh bin ajaib. Seorang pedagang es ternyata membutuhkan hujan. Padahal bila hujan turun belum tentu dagangannya bisa laku terjual. Tapi ternyata hujan diperlukan juga agar tanaman tebu dapat terus tumbuh. Jika tanaman tebu terus tumbuh maka ia pun dapat terus berjualan es tebu.
Sama halnya dalam hidup kita. Sesuatu peristiwa buruk yang terjadi, kadang kala dianggap sebagai kegagalan, atau sesuatu yang tidak berguna. Kadang kala malahan peristiwa tersebut menjadi batu pijakan kita agar bisa terus berdiri.
He...he.... betul juga.... Terima kasih abang tukang es tebu...

Kamis, 27 September 2012

Air Mana yang Lebih Baik


Beberapa orang teman mulai membuka perbincangan sesaat setelah  melihat demonstrasi alat untuk mencek kandungan mineral dalam air kemasan.
"Ternyata air merk A lebih baik dari merk B," ujar seorang teman di sampingku.
"Tapi, tetep lebih baik air merk C," teman di depanku tak mau kalah.
"Ah, semua air jaman sekarang sama aja. sudah terkontaminasi polusi," tambah seseorang lagi.
"Lebih baik air sumur," seseorang lagi menambahi.
Seorang teman lantas bercerita bahwa ia mengkonsumsi air mineral yang untuk mendapatkannya harus merogoh kocek dalam-dalam. Tapi dijamin 100% sehat katanya.
"Wah... malah bisa bikin kanker tuh... Kantong kering ", seloroh temanku.
Wah... kalau dipikir-pikir betul juga yah. Sudah teramat susah mendapatkan air yang berkategori sehat di jaman berbalut polusi seperti sekarang. Polusi dimana-mana. Termasuk di air tentunya.
Hal ini lalu dilihat sebagai sebuah peluang bisnis. Industri pun lalu berlomba-lomba memproduksi air kemasan. Agar laku di pasar maka air kemasan pun dilabeli. Sehat. Segar. Alami. Dan label-label provokatif lainnya.
Ah, daripada pusing-pusing harus mikir minum air apa atau air yang mana yang sehat. Lebih baik asumsikan saja semua air sehat. Bukankah dengan keyakinan (iman) seorang Yesus mampu mengubah air menjadi anggur. Kita pun pasti dengan keyakinan kita juga bisa mengubah air biasa menjadi air sehat. Asalkan air yang kita minum memenuhi syarat air sehat. Tidak berbau. Tidak berwarna. Tidak berasa. Lalu, jika ternyata air yang kita minum malah bikin sakit bahkan kematian maka yah anggap aja udah nasib. Ya gak...?????