Seorang teman kerja yang kukenal pendiam tiba-tiba saja siang ini bercerita panjang lebar tentang hidupnya. Hidup sebagai orang katolik yang tinggal di tengah-tengah masyarakat minang yang islam kental. Hidup sebagai orang yang berbeda dari kebanyakan orang lainnya. Ujarnya suatu saat, “ aku pernah hampir diusir dari kost saat pemilik kost dan penghuni kost yang lain tahu aku berbeda dengan mereka. Dan untuk menjalankan ibadah pun aku tidak berani secara terang-terangan. Banyak alasan kupakai supaya kepergianku ke gereja tidak diketahui orang banyak”.
“Aku juga pernah,” balasku kemudian. “Saat aku bekerja di sebuah sekolah swasta kristen yang banyak orang cinanya” ujarku. Di sana secara tak kasat mata terjadi pelapisan kelas sosial para karyawan berdasar diskriminasi ras dan agama. Kelompok cina dan kristen berada pada lapis pertama. Pada lapis selanjutnya adalah mereka yang cina dan apa pun agamanya. Lapisan ke tiga adalah mereka yang kristen apapun rasnya. Lapis selanjutnya adalah kelompok katolik dan non cina. Yah yang paling apes jika dia jawa dan islam pula.
Aku lalu bercerita tentang seorang mantan muridku yang bekerja di salah satu pusat perbelanjaan terkemuka di Bandarlampung. Ia pernah mengeluh padaku. Ia pernah mengalami pembedaan soal gaji dan pekerjaan hanya karena ia orang jawa yang bekerja di tengah-tengah orang cina. “Gajiku lebih rendah dan pekerjaanku lebih banyak dari karyawan selevelku tapi cina,” keluhnya.
Dalam bidang perekonomian, praktik pembedaan sungguh jelas dijalankan. Bila kita menggunakan jasa transportasi, menginap di hotel, menonton di stadion, adanya pembedaan kelas menurut kemampuan ekonomi. Kelas VIP yang menyediakan berbagai fasilitas mewah tersedia bagi mereka yang bisa membayar mahal. Sementara bagi yang tidak bisa membayar mahal maka cukup menikmati fasilitas yang seadanya.
Bila datang ke pesta pernikahan atau ulang tahun, maka biasanya kursi bagian depan berupa sofa empuk dan berbagai kudapan tersedia dalam pinggan-pinggan elok. Dan mereka yang duduk di sana adalah para pemangku jabatan penting baik ekonomis maupun politis, pokoknya berbau strategis. Baris selanjutnya biasanya kursi empuk dengan sandaran yang diselimuti kain putih bersih. Mereka yang disana biasanya adalah mereka yang “agak” penting. Yang paling celaka biasanya yang paling belakang. Kursinya plastik. Makanan kotakan. Biasanya yang duduk di sini adalah mereka yang tergolong bukan siapa-siapa.
Bahkan dalam dunia pendidikan, kita diajari berprilaku diskriminatif. Anak-anak yang pandai dikumpulkan di kelas unggulan atau bersekolah di sekolah unggulan yang dilabeli RSBI atau Sekolah National Plus. Para siswa diajari bahwa mereka berbeda dengan siswa lainnya. Mereka unggul sementara yang lain pecundang. Waduh kalau satu kelas bego semua terus siapa yang membantu mereka belajar. Bahkan adapula sekolah yang membedakan kelasnya dari sudut pandang kemampuan ekonomi. Yang bisa bayar lebih mahal maka kelasnya pakai AC plus fasilitas mewah lain.
Tidak cuma karena beda agama dan ras, atau karena beda kemampuan ekonomi, atau karena orang penting atau gak penting, kadang kala penyebab sederhana jadi alasan kita membedakan diri kita dengan orang lain misalnya karena tampilan biologis. Berambut keriting. Berkulit hitam. Berbadan gendut. Julukan diskriminatif lalu diberikan supaya perbedaan itu menjadi lebih jelas. Kita menjuluki si kriting pada orang tak berambut lurus. Atau, si hitam kepada orang yang tak berkulit putih. Atau, si gendut bila dalam kelompok kita terdapat seorang diri yang bertubuh gendut. Dan, masih banyak lainnya.
Bila kembali melihat pada peristiwa kerusuhan Mei 1998, Kebanyakan korban berasal dari etnis tionghoa. Alasan etnis tionghoa menjadi korban adalah : (1) mereka berbeda dengan pelaku kerusuhan, (2) mereka memegang kekuasaan ekonomi, (3) streotipe buruk orang cina misal orang cina itu licik, kikir, pelit. Padahal tidak sedikit orang pribumi yang lebih berkuasa, licik, kikir dan pelit dari orang cina tapi karena alasan (1) maka mereka menjadi korban. Maka saat banyak orang-orang yang menulisi pagar rumah atau ruko-ruko dengan tulisan “Pribumi” untuk menunjukan bahwa mereka sama, tidak berbeda, dengan pelaku kerusuhan. Dan tidak jadi korban.
Demikian pula dengan keributan suku lampung dan suku bali di lampung selatan pun didasari karena alasan orang lampung berbeda, tidak sama, dengan orang lampung. Jika pun ada yang bilang penyebab kerusuhan disebabkan adanya oknum yang kurang ajar atau dendam berkepanjangan antar kedua suku, itu hanya bumbu pelengkap belaka.
Lalu mengapa perbedaan harus menjadi persoalan ? Bukankah setiap orang terlahir berbeda. Tidak sama. Agaknya, membedakan seseorang yang berbeda dengan kebanyakan orang sudah mengadat dalam pergaulan masyarakat kita. Ataukah justru sebenarnya perilaku diskriminasi, membedakan orang yang berbeda, adalah naluri alami manusia ? jika hal itu adalah naluri maka perilaku diskriminasi tidak bisa dihilangkan.
Manusia sebagai mahluk sosial dan mahluk cerdas dengan akal budinya menciptakan etika dan moral. Etika dan moral inilah yang dipakai untuk membungkus dan menyimpan rapi naluri diskriminatif dan meletakkannya di dalam alam bawah sadar manusia. Bila manusia merasa terancam, dan ancaman itu berasal dari orang atau kelompok yang berbeda dengannya maka etika dan moral tidak bisa berlama-lama membungkusnya. Naluri diskriminatif segera bangkit dari alam tidak sadar manusia.
“Terus mesti gimana dong ?” tanya temanku usai aku bercerita panjang lebar. Sesaat aku diam.“Yah... harus pandai-pandai menyimpan naluri ini,” jawabku. Ia lalu bertanya lagi, “bagaimana caranya ?” Dengan bergaya sedikit filosofis aku menjawab, “boleh saja melihat sesuatu yang berbeda tetap sebagai perbedaan tapi kemudian tidak mempermasalahkan perbedaan itu.” Kulihat wajahnya masih kuat memancarkan ketidak puasaan tapi ia segera berlalu dariku. Yah, setiap orang punya cara masing-masing dalam menyikapi perbedaan, sepanjang sikap itu tidak kontraproduktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar