Selasa, 13 November 2012

Belajar Bersyukur

Pada Harian KOMPAS edisi Jumat 10 Desember 2010, Penasehat KPK, Abdullah Hehamahua, mengatakan sekitar 60 persen dari 3,7 juta hingga 4 juta pegawai negeri sipil ( PNS ) melakukan praktik korupsi. Korupsi dapat dimengerti sebagai penyelewengan atau penggelapan harta (negara atau perusahaan) dengan tujuan keuntungan pribadi atau orang lain. Oleh karena itu, korupsi berarti merupakan bentuk kecurangan karena tujuannya keuntungan pribadi dengan merugikan orang lain. Lantas, mengapa sampai 60 persen dari 3,7 juta hingga 4 juta PNS melakukan hal itu? Salah satu jawaban yang muncul adalah kecilnya gaji sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup. Tetapi, jika diamati lebih lanjut mereka [para koruptor] hidup dalam bergelimangan harta maka bisa dikatakan bukan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka korupsi tetapi untuk memenuhi gaya hidup mewah. Selanjutnya, Abdullah Hehamahua berpendapat bahwa menjadi sangat penting pemberian materi pendidikan antikorupsi di lingkungan sekolah dan keluarga. Tetapi, bukankah sebelum seorang anak mengenal istilah korupsi dalam hidupnya, ia pasti sudah terlebih dahulu menerima pelajaran antikorupsi di keluarganya. Apalagi jika melihat latar belakang hidup para koruptor yang pasti beragama.
Pelajaran antikorupsi itu adalah bersyukur. Bersyukur merupakan bentuk apresiasi emosi yang positif. Suatu sikap mengakui manfaat yang sudah diterima. Bersyukur secara historis berasal dari dunia agama. Menurut agama Ibrani, bersyukur menjadi sangat penting karena segala sesuatu itu datang dari Allah. Di agama Kristen, syukur merupakan pengakuan atas kemurahan Tuhan. Dan dalam agama Islam, para pengikutnya didorong untuk mengucapkan terima kasih dan mengungkapkan kepada Tuhan dalam segala situasi.
Berkait dengan syukur, ada dua peristiwa sederhana tapi cukup menggetarkan hati boleh kualami beberapa waktu ini. Pertama, saat makan siang dengan seorang teman di sebuah warung makan. Seorang perempuan tua berpakaian kumal mendatangi meja makan kami memohon sedekah. Karena merasa kasihan maka kuulurkan selembar uang seribuan ke hadapannya. Setelah menerimanya perempuan itu segera berterima kasih lantas berujar panjang lebar, intinya kurang lebih agar Tuhan mencurahkan rahmat murah rejeki kepadaku. Meski sebentar tertegun lalu peristiwa itu kuanggap lumrah. Rapalan mantera belaka dari pengemis agar pemberi nafkahnya menjadi senang.
Kedua, saat aku berada di sebuah rental video. Ketika sedang berkonsentarasi memilih judul film yang ingin kusewa, tiba-tiba menyeruak suara nyanyian,  jeritan lebih tepatnya, dari seorang perempuan di luar rental. Diiringi gemericing alat musik perkusi sederhana, seorang perempuan berbaju merah kumal dan berkaca mata hitam bernyanyi dan menari. Gaduh, namun cukup lucu. Apalagi ditambah dandanannya nyentrik, cenderung berlebihan malah hingga orang langsung beranggapan ia seorang perempuan kurang waras. Aku bersama beberapa pengunjung dan para penjaga rental tertawa melihatnya. Kuulurkan uang koin lima ratusan ke perempuan itu. Ia menerima uangku, tak kusangka ia langsung berujar panjang lebar yang intinya agar Tuhan memberikanku kemurahan rejeki. Hal yang membuatku bergetar ada nada suka cita dalam ujarannya. Dan kemudian, menyusul perasaan penyesalan karena hanya memberi lima ratus rupiah.
Di suatu kesempatan. Kucoba mengingat-ingat semua peristiwa terkait perjumpaan dan pemberian uang kepada kaum papa (pengemis, pengamen, anak jalanan, tukang parkir dan gelandangan). Memang tidak besar, cuma berkisar lima ratus sampai dua ribu rupiah. Tetapi tidak semua dari mereka mengucapkan terima kasih sesudah menerimanya. Terkadang hanya dibalas dengan anggukan kepala. Malah ada yang mengganggap pemberian yang didapatnya terlalu kecil. Berarti, kedua perempuan itu sungguh luar biasa. Keduanya, tidak cuma berterimakasih malahan menimpali dengan doa agar orang-orang yang sudah berbaik hati ke mereka diberikan kemurahan rejeki oleh Tuhan.
Ternyata, pengalaman ini pun dialami oleh Isa Almasih, yang di dalam perjalananNya menyusuri perbatasan samaria dan galilea, mengalami perjumpaan dengan sepuluh orang kusta yang memohon ditahirkan dari kusta. Lalu, mereka pun menjadi tahir. Tetapi, dari kesepuluh orang hanya satu orang yang kembali dan mengucap syukur [Lukas 17:11-19].
Uuh.. terasa sungguh tersindir habis-habisan. Sebagai seseorang yang sejak kecil dibesarkan dalam tradisi agama maka saya percaya bahwa Tuhan selalu memberi makanan saat kelaparan. Minuman saat kehausan. Kesembuhan saat kesakitan. Bahkan, kebutuhan yang tidak atau lupa diminta pun dipenuhi oleh Nya. Tapi, kita kerapkali terlupa untuk mengucapkan terima kasih, bahkan terkadang rentetan umpatan ketidakpuasan yang keluar. “Ah, makan siangnya cuma pakai lauk tempe...” “Wah... Gajiku kecil !”. “Sialan...Pagi-pagi kok hujan !” dan masih banyak lagi wujud ketidakpuasan atau ketidakbersyukuran atas apa yang kita terima.
Sebuah analisa sederhana, ramainya kasus korupsi di negara ini mungkin dapat diselesaikan jika dari awal seorang manusia ditanamkan nilai-nilai bersyukur. Dan, dilatih mulai dari kecil secara sadar diajarkan untuk bersyukur dalam segala hal, atas apapun dan berapapun yang diperoleh. Bersyukur atas kedudukan yang dicapai. Bersyukur atas income yang diperoleh. Bersyukur karena dipercaya oleh orang lain. Karena ketidakbersyukuran merupakan hulu dari ketidakpuasan. Ketidakpuasan berbuah keserakahan dan ketamakan. Manifestasi dari ketamakan adalah perilaku korupsi. Sehingga, tanpa malu mengambil apa yang bukan menjadi hak. Mungkin, saya harus belajar dari dua perempuan yang pernah saya jumpai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar