Ada uang abang sayang
Tak ada uang abang kutendang
Memang pantas diriku melakukan itu...
Pagi-pagi benar, telingaku sudah dipaksa mendengar lagu dangdut yang keluar dari radio dua band milik tetangga. Meski suara lusy rahmawati merdu terdengar tapi jam lima pagi bukanlah saat yang tepat untuk mendengar lagu dangdut, maklumlah aku bukan dangdut mania. Semakin kulawan semakin memelekan mataku. Aku pun beranjak dari kasur. Duduk di kursi. Dan mendengarkan. Hmm... ternyata enak didengar, lagian tema lagunya menarik. Tentang cinta dan uang. Hmm...lagi-lagi uang.
Tidak dipungkiri, jaman sekarang, semua orang butuh uang. Dimana aja dan ngapain aja butuh uang. Beribadah di gereja butuh uang. Buang hajat butuh uang. Parkir kendaraan butuh uang. Jadi presiden butuh uang. Lahir butuh uang. Mati butuh uang. Cari uang pun harus keluar uang. Untung kentut gak butuh uang... tapi kalo gak bisa kentut malah butuh uang loh...
Memang tampaknya, uang yang pada awalnya diciptakan manusia sebagai alat untuk mempermudah pertukaran barang dan alat untuk mempermudah menyatakan nilai suatu barang yang hendak dipertukarkan, sudah berkembang pesat. Uang, tanpa disadari, telah berevolusi menjadi simbol kekuasaan. Kekuasaan politis maupun ekonomis.
Maka orang lalu berlomba-lomba menghasilkan uang. Semua hal dilakukan, dari kerja halal sampai kerja tidak halal, demi uang. Semakin banyak uang dimiliki maka semakin besar kekuasaannya. Malahan manusia kemudian dengan kesadarannya membunuh konsep ketuhanan demi uang. Manusia tidak lagi takut pada dosa. Manusia lebih takut tidak punya uang. Hal itu bisa kita lihat di media-media massa. Korupsi merajalela. Manusia tega saling membunuh. Manusia merusak alam. Manusia meninggalkan ibadah. Manusia pun semakin rakus melahap semua.
Lagu ada uang abang sayang pun berarkhir. Aku bangkit dari kursi. Bangkit pula dari lamunan. Mandi. Bersiap-siap kerja. Menghasilkan uang. Mengumpulkan uang sebanyak mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar