Tetapi, menurutku kebahagiaan terbesar malahan saat aku jadi guru-guruan. Sebetulnya bukan guru sungguhan tapi pendamping belajar tepatnya. Saat itu, aku mendampingi belajar anak-anak di Tempat Pembuangan Akhir [TPA] Piyungan dalam komunitas Sanggar Cakruk dan saat aku mendampingi belajar beberapa anak di dusun Pringgodani dalam komunitas BW3. Dan, momentum kebahagiaan itu adalah saat seorang anak dampinganku bisa membaca.
Membuat seorang anak bisa membaca di jaman ini ternyata bukan perkara mudah. Mereka terkepung banyak musuh tak terlihat. Televisi yang menawarkan hiburan 24 jam. Warnet yang menawarkan akses informasi tanpa batas. Warung game net yang memberi tawaran permainan dunia maya. Orang tua yang karena tekanan ekonomi terpaksa meninggalkan mereka belajar sendirian. Sekolah yang sudah menjelma mesin produksi massal siswa meninggalkan mereka yang dianggap bukan faktor produksi unggul. Tak bisa kubayangkan bagaimana para guru kelas satu SD, seperti ibu guruku dulu, ibu Marjiyem, bisa setia mengajari membaca banyak siswa dalam satu kelas.
Ada sebuah pengalaman menarik saat mengajari anak ini, sebut saja si Adi, membaca. Beberapa metode sudah dicoba pakai untuk mengajarinya membaca. Sejauh ini hasil yang didapatkan si Adi mulai mengenal huruf tapi belum bisa merangkainya menjadi sebuah kata. Lalu seorang kawan mengusulkan sebuah metode.“Coba kau kasih gambar lalu dibawahnya kau beri huruf berikut cara mengejanya”. Aku pun mengiyakan. Lalu, kucari gambar di majalah dan memilih gambar cabe merah.
“Iki huruf opo ?”
“ C...” jawab Adi mantap.
“Iki huruf opo ?”
“A...” jawab mantapnya lagi.
“Iki huruf opo ?”
“B...” jawabnya tambah mantap
“Iki huruf opo ?”
“E...” jawabnya sangat mantap. Aku senang ia bisa mengenal huruf-huruf.
“C...A...” Aku mengeja suku kata pertama. Ia menjawab mantap “CA...” Aku memujinya, “bagus...”
“B...E...” Aku mengeja suku kata kedua. Ia kembali menjawab mantap “BE..” Aku memuji lagi “bagus...”
“terus berarti C..A...CA... B...E...BE... muni ne opo ?” Dengan suara lantang ia berseru, “LOMBOK...” Aku tak bisa menahan diri untuk tertawa. Adi pun tertawa. Semua pun tertawa.
“Lah bener toh mas. Sing warnane abang jenenge lombok. Sing warnane ijo kui rawit !” Adi memberikan alasannya. Kuraih kepalanya lalu kucium kepalanya sambil berkata, “bener kowe di, aku sing keleru...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar