Malam ini, aku bertemu lagi dengan kematian. Seorang bocah kira-kira berumur 15 tahun mati setelah menderita sakit demam berdarah. Tiga hari sebelumnya seorang nenek berumur 85 tahun mati setelah sakit selama dua tahun. Kematian tidak mengenal usia.
Kemarin, seorang teman bertanya, “bila besok aku mati apakah aku bisa bertemu dengan suamiku ?” Seorang teman, yang sarjana teologi menjawab “Tidak ! Ketika kita di surga kita sudah tak ada ikatan suami istri lagi.” Lalu, temanku menangis. Mungkin sedih bakal tidak bisa jumpa dengan suaminya lagi. Kematian memisahkan.
Ah, memang kematian seorang saudara, sahabat, suami, istri, atau anak selalu menghadirkan tangis. Air mata kesedihan. Padahal, di medan perang kematian seorang musuh selalu diakhiri tawa. Sorakan kegembiraan. Kematian sebuah paradoks.
Lalu, seorang isa menebus dosa manusia dengan memilih mati di salib. Kematian sebuah pengorbanan, katanya.
Ups... membingungkan.
Tiada jawab. Lamunan panjang seterusnya. Wajah ibu. Wajah temanku Femi. Wajah Mbah Yuwono. Wajah Pak Barnabas Daud. Wajah orang-orang yang kukenal yang sudah mati. Terbayang satu demi satu.
Dimanakah yah sekarang mereka? Sedang apa yah mereka ? Sekali lagi cuma bertanya. Tanpa jawaban. Karena memang tidak tahu jawabnya apa.
Sekali lagi. Ups... membingungkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar