Jika boleh meminjam istilah biduan Syahrini, maka aku akan mengatakan bahwa pecah ban atau dalam bahasa jawanya kebanan benar-benar merupakan suatu peristiwa yang sesuatu banget... Apanya yang sesuatu banget ? Yah sesuatu yang terasa sangat menjengkelkan. Dimana kita merasa tiba-tiba menjadi seseorang yang paling sial. Plus paling menderita karena harus mendorong jauh motor kita. Apalagi bila sudah sekian jauh tak kunjung menemukan tukang tambal ban. Ditambah lagi bila terjadinya di tengah siang bolong. Sungguh perasaan paling sial dan paling menderita bertubi-tubi menghujami hati seiring keringat yang deras mengalir.
Pernah kejadian, di suatu saat setelah pulang dari gereja. Di parkiran gereja aku mendapati ban motorku kempis. Dan manalagi dalam dua hari ini terhitung sudah lebih dari tiga kali aku mendapati ban motorku kempis. Uuh... rasanya hendak misuh-misuh tapi kok yah gak pantes karena baru aja pulang dari gereja. Tapi kalo gak misuh-misuh, malahan lalu bersyukur kok yah gak wajar juga jadi manusia... akhirnya cuma bisa ndongkol di hati. Kusurung motor ke sana-sini. Kok gak ada bengkel tambal ban yang buka? Bingung. Mau terus ke kiri atau balik ke kanan. Ntar milih kanan jebule tukang tambal ban di kiri. Milih kiri jebule ntar gak ada tukang tambal ban di sana. Inilah penderitaan tersendiri yang tadi kukatakan... sesuatu banget.
Dan, hingga pada suatu ketika, waktu masih pagi-pagi benar sudah nungguin tukang tambal ban menggelar bengkelnya. Aku mendapat sebuah pencerahan. Penemuan hakikat dari pecah ban. Filosofi yang tersembunyi di balik peristiwa pecah ban. Mau tau ???
Pecah ban berarti belajar melayani. Maksudnya? Bayangkan sudah berapa kilometer motormu sudah kau tunggangi. Kesana-kesini. Melayani tanpa ada keluhan. Dan, tanpa ada ptotes. Nah dengan adanya kejadian pecah ban ini, sekali-kali lah gantian kita melayani motor kita. Dengan telaten menuntunnya. Dengan sabar jalan hilir mudik. Ke sana-kesini. Mencari-cari si tukang tambal ban.
Pecah ban berarti belajar sabar. Kita harus berhenti sebentar. Melihat gerangan apa yang menyebabkannya. Bila ban kempis karena kecucuk paku maka cabutlah dulu paku itu. Lalu, dengan telaten menuntun motor. Bila tidak, lalu kita paksa terus menungganginya menuju tempat tambal ban. Akibatnya akan lebih fatal. Paku akan mengoyak-ngoyak ban dalam. Atau, ban dalam jadi sobek dekat pentilnya. Akhirnya ban dalam pun tidak bisa ditambal, harus diganti. Bila menambal cukup dengan membayar delapan ribu rupiah, tidak dengan ganti ban dalam. Isi kantong akan dirogoh lebih dalam. Lenyaplah kocek lebih banyak. Kira-kira tiga puluh enam ribu rupiah banyaknya. Apalagi bila dipentung harga oleh si tukung tambal ban bisa lebih banyak kocek yang dilkeluarkan. Efek lain dari kita memaksa menunggangi motor kita yang sedang menderita itu adalah pelek ban bisa jadi peyok. Dan jika peyok maka harus setel pelek dan jari-jari. Dan itu bisa menghabiskan dana kira-kira tujuh puluh ribu. Lebih fatal dan mahal bukan ?
Pecah ban itu menyehatkan. Kok bisa sih? Lah jaman sekarang kita kalau hendak pergi kemana-mana terbiasa naik motor. Dekat, naik motor. Apalagi pergi jauh. Jadi gak kebiasa jalan kaki. Padahal jalan kaki itu sehat loh... Lah dengan mendorong motor kita jadi terpaksa jalan. Kesana-sini nyari tukang tambal ban. Lalu keringatan. Jadi sehatkan?
Hmm... ternyata ada makna tersembunyi di balik ban motor yang pecah. Yah tapi tetaplah boleh misuh-misuh bila tahu ban kempis. Tapi sebentar aja yah... karena dengan misuh-misuh, itu menandakan bila kita masih jadi manusia.Tombo ndongkol dab !!!
hanya untuk kesenangan belaka semua ini ditulis, bila menemukan makna di dalamnya maka ambillah namun bila tiada maka berlalulah segera...
Minggu, 17 November 2013
Rabu, 30 Oktober 2013
sampai tetes darah terakhir
Pada suatu kesempatan aku berbincang dengan Nopi, temanku, tentang seputar kehidupan. “Pernah dengar kisah Senapati Kumbakarna bro ?” ujarku membuka bincang. Nopi menggeleng. Aku tersenyum. Melihat senyumku lalu ia berkata “itu cerita pewayangan kan ? Gak mudeng aku yang kayak begituan.” Aku tersenyum lagi. Ia melirik. “Kalau orang gak mudeng tuh yah diceritain. Gak cuma diketawain,” ujarnya. Aku sekali lagi tersenyum. “Ciyus mau diceritai ?” ledekku. Kali ini, ia mengangguk. “Oke deh kalo begitu !” ucapku.
“Dalam epos ramayana, dikenal seorang ksatria yang mengemban tugasnya sampai pada tetes darah terakhir. Sang ksatria adalah Kumbakarna. Kumbakarna adalah seorang senapati Kerajaan Alengka. Ia merupakan adik dari Rahwana, raja Kerajaan Alengka. Meskipun, sang ksatria ini terlahir dengan wujud raksasa tetapi ia berwatak jujur, berani karena benar dan bersifat satria. Ini yang membedakannya dengan sang kakak.”
“Kisah kepahlawanan Kumbakarna diawali ketika kerajaan Alengka diserbu oleh pasukan kera yang dipimpin oleh Sri Rama. Dimana, Sri Rama bertujuan merebut Dewi Shinta yang diculik oleh Rahwana. Kumbakarna menolak untuk ikut campur dalam perang. Menurutnya, perang tersebut dapat dihentikan dengan cara mengembalikan Shinta ke pelukan Sri Rama. Tapi Rahwana ogah melakukan itu. Ia terlanjur cinta pada shinta. Date line pun berakhir. Sri Rama dibantu oleh pasukan kera menyerbu Kerajaan Alengka. Rahwana lalu memanfaatkan situasi ini sebagai alasan menyeret Kumbakarna maju ke medan perang. Kumbakarna pun bangkit berperang. Bukan demi Rahwana, sang kakak, ia berperang. Tapi demi kerajaan Alengka, negeri tempat ia dilahirkan, hidup, dan mengabdi.”
“Dalam peperangan ini dikisahkan Kumbakarna bertempur habis-habisan. Tanpa gentar sedikit pun. Ketika panah Sri Rama membuntungi kedua tangannya, ia pun berperang dengan kedua kakinya. Ketika kedua kakinya juga dibuntungi, ia terus bertempur dengan tubuhnya. Mengelinding ke sana ke mari. Menghancurkan tanpa ampun bala tentara Sri Rama. Akhirnya, dikisahkan Kumbakarna pun gugur dalam peperangan ini sesudah panah Sri Rama memenggal lehernya. Tetapi, ia gugur sebagai ksatria. Ksatria yang menjalankan tugas dan kewajibannya sampai tetes darah penghabisan. Kumbakarna gugur sebagai ksatria yang memegang teguh prinsip dan bertanggung jawab, sampai tetes darah penghabisan.”
“Gile bener tuh orang !” ujar Nopi. “Tapi sayang cuma dongeng doang. Coba kalau beneran.” tambahnya.
“Weee... Jangan salah bro ! Kisah Kumbakarna ini bukan cuma sekedar epos. Epos yang berisi keindahan karya sastra belaka. Kisah ini dilahirkan untuk menjadi teladan di ruang dan waktu yang nyata. Lalu menghidupi ruang dan waktu itu.” Ujarku sedikit berfilosofi.
“Tapi dalam dunia nyata, ada gak orang yang kayak gitu. Orang yang memegang teguh prinsip dan bertanggung jawab, sampai tetes darah penghabisan. Ada gak ?” tanyanya kemudian.
“Pernah denger kisah mbah Maridjan ?” Aku ganti bertanya. “Pernah. Sedikit tapi,” ujarnya.
“Kalau begitu aku akan bercerita tentang Mbah Maridjan, bagaimana ?” Aku menawarkan pada Nopi. Ia menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. Aku lalu bercerita. Kali ini tentang Mbah Maridjan.
“Tersebutlah kisah lain.” ujarku untuk membuka cerita. “Kisah dari seorang lelaki tua. Lelaki tua ini bukan seorang panglima perang. Ia pun tidak bertubuh kekar layaknya panglima perang yang dikisahkan dalam epos. Ia hanya seorang abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta. Lelaki tua ini bernama Mas Penewu Surakso Hargo, nama bekennya yakni Mbah Maridjan. Mbah Maridjan diangkat menjadi abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta saat Sultan HB IX berkuasa di tahun 1970. Mbah Maridjan diberi jabatan sebagai wakil juru kunci. Pangkatnya Mantri Juru Kunci. Ia mendampingi ayahnya yang menjabat sebagai juru kunci Gunung Merapi. Lalu, setelah ayahnya wafat pada 1982, Mbah Maridjan pun diangkat menjadi juru kunci.”
“Kisah kepahlawanan ini berawal saat Gunung Merapi meletus di tahun 2006. Saat itu, ia bertahan untuk tidak ikut mengungsi meski Merapi berstatus “AWAS”. Ia menunjukkan kesetiaannya menjaga Gunung Merapi. Sri Sultan HB X, kabarnya, sampai-sampai menjemputnya. Namun, Mbah Maridjan teguh pada prinsip.”
“Kisah ini berulang saat Gunung Merapi Meletus lagi di tahun 2010. Mbah Maridjan kembali teguh pada prinsip tidak mau mengungsi. "Saya masih betah tinggal di tempat ini. Jika saya pergi mengungsi, lalu siapa yang mengurus tempat ini," ucap Mbah Maridjan. Ia tetap tinggal di kediamannya. Sekali lagi Ia menunjukkan kesetiaannya menjaga Gunung Merapi. Mbah Maridjan, akhirnya, gugur. Gugur tersapu oleh awan panas. Gugur sebagai ksatria yang memegang teguh prinsip dan bertanggung jawab, sampai tetes darah penghabisan.”
Nopi geleng-geleng, “sayang yah senapati kumbakarna itu cuma dongeng dan orang-orang kayak mbah Maridjan amat sangat langka.”
“Maksudnya ?” tanyaku.
“Begini...” ujar Nopi “lihat aja... Banyak sekali orang yang sudah tidak bisa lagi memegang teguh prinsip dan bertanggungjawab pada tugasnya, bahkan sampai tetes darah penghabisan layaknya Senapati Kumbakarna dan Mbah Maridjan.” Ia memaparkan pikirannya.
“Maksudnya ?” tanyaku sekali lagi.
“Contoh kecil. Di jalan tuh... banyak polisi lalu lintas yang sengaja menyetop motor atau mobil. lalu sengaja mencari-cari kesalahan sang pengemudi. Untuk apa? Untuk dapat duit. Atau, Pak RT atau Pak RW atau perangkat desa lain pura-pura melayani mengurus KTP ato KK lalu buntut-buntutnya minta duit. Alasannya untuk transport kek... Biar cepet jadi kek... Contoh besar, lihat tuh pejabat-pejabat kita banyak yang kena kasus korupsi. Ada yang korupsi daging sapi kek... Ada yang Korupsi pengadaan Al Quran. Gile bener ampe kitab suci aja berani dikorupsi. Lalu lihat juga banyak jalan yang selalu rusak... Dan herannya cuma setiap deket-deket pemilu atau pilkada aja perbaikannya. Itu aja jalannya belum ada sebulan udah rusak lagi. Huh, bikin jalan aja gak becus. Lihat sekali lagi, harga kedele yang mahal. Atau, cabe dan jengkol yang barusan kemarin dulu harganya gila-gilaan. Padahal kan orang Indonesia kan gemar betul makan tempe goreng, sambal dan gulai jengkol.” Ujar Nopi panjang lebar. Sambil membetulkan duduknya, ia menyambung kembali pemaparannya “Itu... itu kan contoh bahwa mereka para pemangku jabatan tidak berusaha menjalankan tugasnya sampai tetes darah penghabisan. Malahan punya prinsip jangan sampai darah gue menetes. Gue gak boleh rugi.”
“Terus bagaimana ?” tanya Nopi tampak jadi bingung sendiri.
“Begini bro... kayaknya simpel jawaban dari pertanyaanmu itu. Ketulusan. Yah semua itu harus dilandasi ketulusan. Jika semua pekerjaan dilandasi ketulusan maka aku pikir semua orang bisa jadi seperti Senapati Kumbakarna dan Mbah Maridjan. Menjalankan tugas yang dipercayakan padanya sampai tetes darah terakhir. Menjalankan tugas itu dengan bertanggungjawab. Tapi tentu saja bukan dengan cara mati di medan perang dan mati kena awan panas loh...” kutepuk bahu temanku yang dilanda kegusaran.
Entah Nopi puas atas jawabanku atau tidak, kami selanjutnya meneruskan berbincang ringan. Sambil sesekali menyeruputi kopi dan menghabiskan malam.
*) Dimuat dalam Majalah Sekolah Xaverius 1 Teluk Betung "Jenius" Edisi 8/IV, Juli-Des 2013
“Dalam epos ramayana, dikenal seorang ksatria yang mengemban tugasnya sampai pada tetes darah terakhir. Sang ksatria adalah Kumbakarna. Kumbakarna adalah seorang senapati Kerajaan Alengka. Ia merupakan adik dari Rahwana, raja Kerajaan Alengka. Meskipun, sang ksatria ini terlahir dengan wujud raksasa tetapi ia berwatak jujur, berani karena benar dan bersifat satria. Ini yang membedakannya dengan sang kakak.”
“Kisah kepahlawanan Kumbakarna diawali ketika kerajaan Alengka diserbu oleh pasukan kera yang dipimpin oleh Sri Rama. Dimana, Sri Rama bertujuan merebut Dewi Shinta yang diculik oleh Rahwana. Kumbakarna menolak untuk ikut campur dalam perang. Menurutnya, perang tersebut dapat dihentikan dengan cara mengembalikan Shinta ke pelukan Sri Rama. Tapi Rahwana ogah melakukan itu. Ia terlanjur cinta pada shinta. Date line pun berakhir. Sri Rama dibantu oleh pasukan kera menyerbu Kerajaan Alengka. Rahwana lalu memanfaatkan situasi ini sebagai alasan menyeret Kumbakarna maju ke medan perang. Kumbakarna pun bangkit berperang. Bukan demi Rahwana, sang kakak, ia berperang. Tapi demi kerajaan Alengka, negeri tempat ia dilahirkan, hidup, dan mengabdi.”
“Dalam peperangan ini dikisahkan Kumbakarna bertempur habis-habisan. Tanpa gentar sedikit pun. Ketika panah Sri Rama membuntungi kedua tangannya, ia pun berperang dengan kedua kakinya. Ketika kedua kakinya juga dibuntungi, ia terus bertempur dengan tubuhnya. Mengelinding ke sana ke mari. Menghancurkan tanpa ampun bala tentara Sri Rama. Akhirnya, dikisahkan Kumbakarna pun gugur dalam peperangan ini sesudah panah Sri Rama memenggal lehernya. Tetapi, ia gugur sebagai ksatria. Ksatria yang menjalankan tugas dan kewajibannya sampai tetes darah penghabisan. Kumbakarna gugur sebagai ksatria yang memegang teguh prinsip dan bertanggung jawab, sampai tetes darah penghabisan.”
“Gile bener tuh orang !” ujar Nopi. “Tapi sayang cuma dongeng doang. Coba kalau beneran.” tambahnya.
“Weee... Jangan salah bro ! Kisah Kumbakarna ini bukan cuma sekedar epos. Epos yang berisi keindahan karya sastra belaka. Kisah ini dilahirkan untuk menjadi teladan di ruang dan waktu yang nyata. Lalu menghidupi ruang dan waktu itu.” Ujarku sedikit berfilosofi.
“Tapi dalam dunia nyata, ada gak orang yang kayak gitu. Orang yang memegang teguh prinsip dan bertanggung jawab, sampai tetes darah penghabisan. Ada gak ?” tanyanya kemudian.
“Pernah denger kisah mbah Maridjan ?” Aku ganti bertanya. “Pernah. Sedikit tapi,” ujarnya.
“Kalau begitu aku akan bercerita tentang Mbah Maridjan, bagaimana ?” Aku menawarkan pada Nopi. Ia menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. Aku lalu bercerita. Kali ini tentang Mbah Maridjan.
“Tersebutlah kisah lain.” ujarku untuk membuka cerita. “Kisah dari seorang lelaki tua. Lelaki tua ini bukan seorang panglima perang. Ia pun tidak bertubuh kekar layaknya panglima perang yang dikisahkan dalam epos. Ia hanya seorang abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta. Lelaki tua ini bernama Mas Penewu Surakso Hargo, nama bekennya yakni Mbah Maridjan. Mbah Maridjan diangkat menjadi abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta saat Sultan HB IX berkuasa di tahun 1970. Mbah Maridjan diberi jabatan sebagai wakil juru kunci. Pangkatnya Mantri Juru Kunci. Ia mendampingi ayahnya yang menjabat sebagai juru kunci Gunung Merapi. Lalu, setelah ayahnya wafat pada 1982, Mbah Maridjan pun diangkat menjadi juru kunci.”
“Kisah kepahlawanan ini berawal saat Gunung Merapi meletus di tahun 2006. Saat itu, ia bertahan untuk tidak ikut mengungsi meski Merapi berstatus “AWAS”. Ia menunjukkan kesetiaannya menjaga Gunung Merapi. Sri Sultan HB X, kabarnya, sampai-sampai menjemputnya. Namun, Mbah Maridjan teguh pada prinsip.”
“Kisah ini berulang saat Gunung Merapi Meletus lagi di tahun 2010. Mbah Maridjan kembali teguh pada prinsip tidak mau mengungsi. "Saya masih betah tinggal di tempat ini. Jika saya pergi mengungsi, lalu siapa yang mengurus tempat ini," ucap Mbah Maridjan. Ia tetap tinggal di kediamannya. Sekali lagi Ia menunjukkan kesetiaannya menjaga Gunung Merapi. Mbah Maridjan, akhirnya, gugur. Gugur tersapu oleh awan panas. Gugur sebagai ksatria yang memegang teguh prinsip dan bertanggung jawab, sampai tetes darah penghabisan.”
Nopi geleng-geleng, “sayang yah senapati kumbakarna itu cuma dongeng dan orang-orang kayak mbah Maridjan amat sangat langka.”
“Maksudnya ?” tanyaku.
“Begini...” ujar Nopi “lihat aja... Banyak sekali orang yang sudah tidak bisa lagi memegang teguh prinsip dan bertanggungjawab pada tugasnya, bahkan sampai tetes darah penghabisan layaknya Senapati Kumbakarna dan Mbah Maridjan.” Ia memaparkan pikirannya.
“Maksudnya ?” tanyaku sekali lagi.
“Contoh kecil. Di jalan tuh... banyak polisi lalu lintas yang sengaja menyetop motor atau mobil. lalu sengaja mencari-cari kesalahan sang pengemudi. Untuk apa? Untuk dapat duit. Atau, Pak RT atau Pak RW atau perangkat desa lain pura-pura melayani mengurus KTP ato KK lalu buntut-buntutnya minta duit. Alasannya untuk transport kek... Biar cepet jadi kek... Contoh besar, lihat tuh pejabat-pejabat kita banyak yang kena kasus korupsi. Ada yang korupsi daging sapi kek... Ada yang Korupsi pengadaan Al Quran. Gile bener ampe kitab suci aja berani dikorupsi. Lalu lihat juga banyak jalan yang selalu rusak... Dan herannya cuma setiap deket-deket pemilu atau pilkada aja perbaikannya. Itu aja jalannya belum ada sebulan udah rusak lagi. Huh, bikin jalan aja gak becus. Lihat sekali lagi, harga kedele yang mahal. Atau, cabe dan jengkol yang barusan kemarin dulu harganya gila-gilaan. Padahal kan orang Indonesia kan gemar betul makan tempe goreng, sambal dan gulai jengkol.” Ujar Nopi panjang lebar. Sambil membetulkan duduknya, ia menyambung kembali pemaparannya “Itu... itu kan contoh bahwa mereka para pemangku jabatan tidak berusaha menjalankan tugasnya sampai tetes darah penghabisan. Malahan punya prinsip jangan sampai darah gue menetes. Gue gak boleh rugi.”
“Terus bagaimana ?” tanya Nopi tampak jadi bingung sendiri.
“Begini bro... kayaknya simpel jawaban dari pertanyaanmu itu. Ketulusan. Yah semua itu harus dilandasi ketulusan. Jika semua pekerjaan dilandasi ketulusan maka aku pikir semua orang bisa jadi seperti Senapati Kumbakarna dan Mbah Maridjan. Menjalankan tugas yang dipercayakan padanya sampai tetes darah terakhir. Menjalankan tugas itu dengan bertanggungjawab. Tapi tentu saja bukan dengan cara mati di medan perang dan mati kena awan panas loh...” kutepuk bahu temanku yang dilanda kegusaran.
Entah Nopi puas atas jawabanku atau tidak, kami selanjutnya meneruskan berbincang ringan. Sambil sesekali menyeruputi kopi dan menghabiskan malam.
*) Dimuat dalam Majalah Sekolah Xaverius 1 Teluk Betung "Jenius" Edisi 8/IV, Juli-Des 2013
Senin, 26 Agustus 2013
Pamer
Saat kuliah ada seorang teman, yang dari keluarga berada, gemar sekali memamerkan hartanya yang baru dimiliki ke kami dengan segala cara yang kami anggap lucu. Pernah pada suatu kali, ketika ia berganti motor dari supra ke tiger, ia membawa tigernya masuk lorong kostku dan tepat berhenti di depan pintu kamar lalu menggeber gas kencang-kencang. Motor 200 cc itu pun meraung bukan kepalang. Sontak seisi kamar kostku, yang kala itu sedang ramai pengunjung, tumpah ke luar. Kebrebegan. Berhambur mendekati sumber suara. Dan, temanku tadi, sambil prengas-prenges di atas motor menyambuti umpatan bercampur puja puji pada motor barunya. Pernah pula, ia datang ke kost mengendarai mobil kijang jantannya. Aku dan beberapa kawan segera mengetahui kedatangannya dari kejauhan melihat kereta kencananya, “juraganne teko” lalu ujar salah seorang dari kami. Mobil pun parkir di samping kost. Tapi si penunggang tak keluar. Lama berselang. Tak kunjung keluar pula. Kami segera beranjak menggeruduk. Kaca mobil diketoki. Seiring kaca mobil terbuka menyeruak raungan grup metallica dari dalam mobil. Bising. Keras sungguh. Si pemilik mobil, dengan berlepot senyum penuh kemenangan, berkata “apik gak audio mobilku ?” Gubrak...
Perilaku pamer tidak dapat disalahkan. Pamer merupakan bagian tidak terpisahkan dari manusia. Pamer merupakan sebuah kebutuhan. Bahkan Maslow, dalam hirarki kebutuhannya, menempatkan penghargaan dari sesama pada lapis keempat di hirarki kebutuhan manusia. Setelah manusia bisa bertahan hidup dengan mencukupi kebutuhan fisik, makan dan minum, manusia akan beranjak ke level kebutuhan yang lebih tinggi, yakni rasa aman dan nyaman. Lalu lebih tinggi lagi, yakni dicintai. Dan lebih tinggi lagi, yakni dihargai oleh orang lain. Penghargaan dari orang lain ini bisa atas kompetensi, prestasi, status atau bisa pula karna harta yang dimiliki. Efek domino dari dihargai oleh orang lain ini adalah aktualisasi diri. Akhirnya, kebutuhan manusia yang tak terbatas berpuncak pada pengakuan dari sesama. Semua kebutuhan yang sudah dicapai manusia menjadi tidak berarti jika tidak ada pengakuan dari orang lain. Buat apa memiliki mobil mewah jika tanpa perkataan “wuuih... bagus bener mobilnya.” Untuk apa punya rumah jika tanpa ungkapan “wah rumahnya bagus, keren.” Jadi pamer merupakan salah satu cara jitu agar kebutuhan pengakuan dari sesama bisa terpenuhi.
Bangsa Indonesia pun, pada masanya, juga pernah menjadi bangsa yang suka pamer. Bahkan monumen-monumen pameran masih kokoh berdiri. Tengok saja tugu monas, stadion utama gelora bung karno, dan jembatan ampera. Bukan sembarang hendak berpamer ria tapi ada udangnya di balik batu, alias ada maksudnya... Selain hendak menunjukkan, “ini loh Bangsa Indonesia”, Presiden Soekarno saat itu juga hendak menyampaikan maksud, “Wahai bangsa-bangsa di kawasan selatan ayo bangkit. Ini buktinya... Bangsa Indonesia mampu bangkit dari penjajahan dan membuat bangunan-bangunan yang megah!” Dan konon ceritanya, Stadion Utama Gelora Bung Karno saat itu merupakan stadion olahraga termegah pertama di kawasan Asia, yang setara dengan stadion-stadion di Amerika Serikat, Uni Soviet dan Eropa. Lalu tugu Monas dibangun untuk menyaingi menara Eiffel di Perancis. Juga jembatan Ampera dibangun untuk menyaingi Golden Bridge di San Fransisco.
Orang-orang di Indonesia, saat ini, masih suka pamer ke dunia cuma yang dipamerkan beda. Kebanyakan mereka memamerkan perasaan hatinya. Aktivitasnya. Makan siang atau makan malamnya. Anaknya, yang mau sekolah kek... sedang sakit kek... jatuh dari sepeda kek... ulang tahun kek... maka tak heran bila di status Facebook ada status “Tuhan... Aku mumet” atau “mau beol nih” atau “lagi masak gule jengki”.
Jadi tidak salah dong jika mau pamer... Gak salah sih tapi jangan mengorbankan kebutuhan lain yang lebih fundamental. Kalau laper ya butuh makan, ya makan... tapi jangan terus beli makannya di KFC atau Pizza Hut biar dibilang wuih tajir... Jangan juga hal-hal gak penting terus semuanya dipamerin lewat facebook. Beol lah... Pusing lah... Bokek lah... Masak lah... Makan lah... Bete lah... Sakit jiwa itu namanya !!!
Perilaku pamer tidak dapat disalahkan. Pamer merupakan bagian tidak terpisahkan dari manusia. Pamer merupakan sebuah kebutuhan. Bahkan Maslow, dalam hirarki kebutuhannya, menempatkan penghargaan dari sesama pada lapis keempat di hirarki kebutuhan manusia. Setelah manusia bisa bertahan hidup dengan mencukupi kebutuhan fisik, makan dan minum, manusia akan beranjak ke level kebutuhan yang lebih tinggi, yakni rasa aman dan nyaman. Lalu lebih tinggi lagi, yakni dicintai. Dan lebih tinggi lagi, yakni dihargai oleh orang lain. Penghargaan dari orang lain ini bisa atas kompetensi, prestasi, status atau bisa pula karna harta yang dimiliki. Efek domino dari dihargai oleh orang lain ini adalah aktualisasi diri. Akhirnya, kebutuhan manusia yang tak terbatas berpuncak pada pengakuan dari sesama. Semua kebutuhan yang sudah dicapai manusia menjadi tidak berarti jika tidak ada pengakuan dari orang lain. Buat apa memiliki mobil mewah jika tanpa perkataan “wuuih... bagus bener mobilnya.” Untuk apa punya rumah jika tanpa ungkapan “wah rumahnya bagus, keren.” Jadi pamer merupakan salah satu cara jitu agar kebutuhan pengakuan dari sesama bisa terpenuhi.
Bangsa Indonesia pun, pada masanya, juga pernah menjadi bangsa yang suka pamer. Bahkan monumen-monumen pameran masih kokoh berdiri. Tengok saja tugu monas, stadion utama gelora bung karno, dan jembatan ampera. Bukan sembarang hendak berpamer ria tapi ada udangnya di balik batu, alias ada maksudnya... Selain hendak menunjukkan, “ini loh Bangsa Indonesia”, Presiden Soekarno saat itu juga hendak menyampaikan maksud, “Wahai bangsa-bangsa di kawasan selatan ayo bangkit. Ini buktinya... Bangsa Indonesia mampu bangkit dari penjajahan dan membuat bangunan-bangunan yang megah!” Dan konon ceritanya, Stadion Utama Gelora Bung Karno saat itu merupakan stadion olahraga termegah pertama di kawasan Asia, yang setara dengan stadion-stadion di Amerika Serikat, Uni Soviet dan Eropa. Lalu tugu Monas dibangun untuk menyaingi menara Eiffel di Perancis. Juga jembatan Ampera dibangun untuk menyaingi Golden Bridge di San Fransisco.
Orang-orang di Indonesia, saat ini, masih suka pamer ke dunia cuma yang dipamerkan beda. Kebanyakan mereka memamerkan perasaan hatinya. Aktivitasnya. Makan siang atau makan malamnya. Anaknya, yang mau sekolah kek... sedang sakit kek... jatuh dari sepeda kek... ulang tahun kek... maka tak heran bila di status Facebook ada status “Tuhan... Aku mumet” atau “mau beol nih” atau “lagi masak gule jengki”.
Jadi tidak salah dong jika mau pamer... Gak salah sih tapi jangan mengorbankan kebutuhan lain yang lebih fundamental. Kalau laper ya butuh makan, ya makan... tapi jangan terus beli makannya di KFC atau Pizza Hut biar dibilang wuih tajir... Jangan juga hal-hal gak penting terus semuanya dipamerin lewat facebook. Beol lah... Pusing lah... Bokek lah... Masak lah... Makan lah... Bete lah... Sakit jiwa itu namanya !!!
Minggu, 14 Juli 2013
Tinju
Emang kenapa sih harus nonton
tinju ? Apa coba menariknya tinju ? Orang gebuk-gebukan gitu ditonton. Selalu
pertanyaan dan pernyataan itu yang terus kumunculkan saat entah teman,
tetangga, pakde, paklik, kakak ipar, bapakku, atau bapak mertua, atau siapa saja memilih
nonton siaran langsung pertandingan tinju di televisi. Lalu, jika pertanyaan
dan pernyataan yang kulempari itu tetap saja membuat sang penguasa remote control bergeming maka lebih baik
bagiku berlalu, mencari kegiatan lain.
Dan, kenapa juga tinju mesti diakui
sebagai salah satu bentuk olahraga ? Kan mestinya olah raga itu gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan
tubuh. Apakah tinju membuat tubuh seseorang jadi sehat ? Yah, ketika berlatih
saat mempersiapkan pertandingan. Tapi, ketika bertanding ? Tidak. Muka jadi
babak belur. Pelipis sobek. Mata bengep-bengep.
Bibir pecah, berlumur darah. Kemudian jatuh tersungkur tak sadarkan diri, KO atau
TKO. Bahkan mati. Wikipedia mencatat sudah banyak petinju yang mati. Di
Indonesia saja, dari tahun 1948 sampai 2013 tercatat sudah 30 orang petinju
mati. Belum lagi para petinju terancam akan mengalami kerusakan ginjal, gejala sindrom
parkinson, atau kerusakan selaput membran otak karena terlalu banyak mengalami pukulan,
jadi kayak Muhammad Ali tuh... Coba dibandingkan dengan cabang olah raga yang
lain semisal renang, senam, lari, atau bila dibandingkan dengan olah raga bela
diri yang lain semacam kempo, judo, atau pencak silat. Ada petarungan tapi
tanpa saling menyakiti. Tanpa kekerasan. Dan, tanpa darah yang berceceran.
Tinju tuh lebih tepatnya disebut
hiburan. Mengapa ? Karena nggak ada bedanya dengan sabung ayam ? Atau dengan
adu cupang ? Lihat aja ketika kedua petinju saling bertukar pukulan. Saling
melempar jab. Membalasi dengan saling
straight. Lalu memberikan hook yang bertubi-tubi. Bergantian menguppercut . Penonton pun bersorak. Jadi histeris.
Semakin ramai jual beli pukulan. Semakin keras sorak-sorai. Dan, ketika salah
satu petinju mulai berdarah. Terhuyung. Lalu ambruk. Sorak-sorai itu kian
menjadi-jadi. Sang pemenang pun disambut bak pahlawan. Bergembira karena petarung
jagoannya tetap berdiri sementara petarung satunya lagi ambruk bersimbah darah.
Atau malah mati. Sama kan dengan sabung ayam ? Ada darah. Ada yang terluka atau
mati. Ada sorak sorai. Ada kepuasan. Ada kegembiraan. Ada hiburan. Kenapa petinju
yang kalah gak dibeleh aja sekalian,
lalu dimasak jadi gulai kayak ayam yang kalah.
Bila dipikir-pikir kok jadinya
lebih berharga ayam daripada manusia. Bila ada arena sabung ayam, polisi atau
organisasi masyarakat yang sok agamawi segera menggerebek. Menangkap para
pelaku. Kadang pula menyita ayam-ayam untuk jadi barang bukti. Dan,
memberitakannya di televisi sebagai sebuah kriminalitas. Tapi, ketika ada
pertandingan tinju, mengapa polisi atau organisasi masyarakat yang sok agamawi
itu kok tidak menggerebek ? Kenapa kok mereka tidak menangkapi para penonton
dan promotor ? Lalu menyita sarung tinju atau ring tinjunya sekalian untuk dijadiin
barang bukti ? Apakah alasannya karena di dalam sabung ayam jadi arena
perjudian ? Jika begitu alasannya, dalam tinju ada pula judi. Barangkali para
penggerebek itu kecipratan rejeki
ketika pertandingan tinju digelar. Bila begitu, bukankah bisa diartikan bahwa adu
ayam itu tidak boleh, tapi adu manusia boleh. Kan, bisa berarti pula bahwa ayam
lebih berharga dari manusia dong ?
Mengapa masih saja ada orang
yang menggemari nonton tinju ? Mengapa mereka begitu bersorak-sorai ketika
semakin banyak pukulan yang terjadi ? Mengapa mereka sangat terhibur saat ada
salah satu petinju yang jatuh tersungkur, KO atau TKO ? Apakah berarti mereka
menyukai kekerasan ? Apakah berarti sebetulnya manusia tidak bisa lepas dari kekerasan
? Lalu, untuk menghaluskan citra kekerasan pada tinju manusia memanipulasinya
sebagai olah raga dan hiburan ?
Jumat, 21 Juni 2013
cita-cita
Aku memiliki seorang keponakan, mario namanya. Seorang bocah yang menggemaskan layaknya bocah-bocah seusianya. Tapi, ada satu hal yang menarik dari tingkah polahnya keseharian, yakni cita-citanya. Yah, ia memiliki cita-cita yang lucu, tidak tinggi dan tidak keren, seperti kebanyakan anak-anak sebayanya.
Pernah suatu kali, ia kesana kemari mendorong-dorong kursi roda eyang kakungnya. Ketika kutanya, “adek tuh ngapo ?” lalu dia menjawab, “adek nih nak jadi tukang becak”. Gubrak... Sontak, aku tertawa terpingkal-pingkal. Cita-cita kok jadi tukang becak. Lalu kutanya, “ngapo kok nak jadi tukang becak ?” Ia pun menjawab, “adek seneng naik becak.”
Pernah pula, ia memakai baju eyang kakungnya. Kalungan rosario. Berjalan membawa gelas. Lalu, berhenti di depan orang-orang yang ia jumpai lalu berujar “ubuh kistus” Ha... Ha... Ha... Rupanya, sekarang, ia hendak jadi seorang pastor. Lumayan pikirku.
Pernah lagi, ia kembali mendorong-dorong kembali kursi roda eyang kakungnya. Kali ini, tidak cuma kursi roda tapi dilengkapi tutup panci bekas, sendok, dan beberapa keranjang mainan. Kemudian, dengan aksen cadelnya, nyaring berteriak sambil memukuli tutup panci bekas, “eis kim... eis kim...” Untuk kedua kalinya, gubrak...
Biasanya, setiap anak, selalu menjawab cita-cita yang tinggi dan keren bila ditanya apa cita-citanya. Jadi astronout. Pilot. Dokter. Insinyur. Polisi. Atau, menjadi tentara. Jawaban-jawaban itu sesuai sungguh dengan hakikat kata cita-cita itu sendiri, yakni suatu tujuan yang sempurna yang akan dicapai atau dilaksanakan. Bahkan, ada sebuah ungkapan yang mengatakan agar kita mengantungkan cita-cita setinggi bintang-bintang di langit.
Tapi, biasanya, meski tak semua, cita-cita seorang anak merupakan “paksaan” dari orang tuanya. Orang tua mendoktrin bahwa jadi tentara itu gagah karena bawa senjata. Jadi dokter itu mulia karena bisa ngobatin orang. Jadi dosen itu bergengsi karena kerjanya lebih pakek otak daripada okol. Ini itulah deh pokoknya... Atau, bisa juga anak menjadi tumbal kegagalan orang tuanya. Orang tua gagal jadi tentara terus anaknya didandani layaknya tentara.
Lalu, hal-hal tersebut ditanamkan terus-menerus dalam alam bawah sadar. Yah, semacam cuci otak. Bahkan ada pula orang tua yang sampai benar-benar memaksa si anak untuk menjadi seperti kehendak mereka. Yah seperti itu tadi, memakaikan baju tentara supaya besok anaknya jadi tentara. Ada pula yang mengeleskan anaknya piano supaya anaknya jadi musisi. Memaksa anaknya kuliah di fakultas ekonomi padahal anaknya senang bermusik.
Apakah suatu cita-cita harus tinggi, atau keren, atau sempurna ? Atau, haruskah selalu dijawab oleh anak-anak, ketika ditanya apa cita-citamu, menjadi dokter. Atau insinyur, atau tentara ? Mengapa tidak dibiarkan anak-anak memiliki cita-cita berdasarkan kesukaannya.
Aku memiliki kawan yang keluar dari kuliahnya di fakultas ekonomi. Gara-gara, ia ingin jadi aktor teater. Sementara, orang tuanya berharap ia memiliki gelar S1. Cita-cita itu membuatnya kemudian tak lagi mendapat uang kiriman bulanan. Untuk tidur, ia harus menumpang di kamar kost teman-temannya. Untuk makan, ia harus mendapat dari belas kasih teman-temannya. Nyatanya, berkat totalitas, kegigihan, dan bondho nekat, ia sukses. Selayaknya tidak perlu mempersoalkan cita-cita seorang anak, yang terlebih penting adalah memberikan jalan dan membantunya mewujudkan cita-citanya.
Pernah suatu kali, ia kesana kemari mendorong-dorong kursi roda eyang kakungnya. Ketika kutanya, “adek tuh ngapo ?” lalu dia menjawab, “adek nih nak jadi tukang becak”. Gubrak... Sontak, aku tertawa terpingkal-pingkal. Cita-cita kok jadi tukang becak. Lalu kutanya, “ngapo kok nak jadi tukang becak ?” Ia pun menjawab, “adek seneng naik becak.”
Pernah pula, ia memakai baju eyang kakungnya. Kalungan rosario. Berjalan membawa gelas. Lalu, berhenti di depan orang-orang yang ia jumpai lalu berujar “ubuh kistus” Ha... Ha... Ha... Rupanya, sekarang, ia hendak jadi seorang pastor. Lumayan pikirku.
Pernah lagi, ia kembali mendorong-dorong kembali kursi roda eyang kakungnya. Kali ini, tidak cuma kursi roda tapi dilengkapi tutup panci bekas, sendok, dan beberapa keranjang mainan. Kemudian, dengan aksen cadelnya, nyaring berteriak sambil memukuli tutup panci bekas, “eis kim... eis kim...” Untuk kedua kalinya, gubrak...
Biasanya, setiap anak, selalu menjawab cita-cita yang tinggi dan keren bila ditanya apa cita-citanya. Jadi astronout. Pilot. Dokter. Insinyur. Polisi. Atau, menjadi tentara. Jawaban-jawaban itu sesuai sungguh dengan hakikat kata cita-cita itu sendiri, yakni suatu tujuan yang sempurna yang akan dicapai atau dilaksanakan. Bahkan, ada sebuah ungkapan yang mengatakan agar kita mengantungkan cita-cita setinggi bintang-bintang di langit.
Tapi, biasanya, meski tak semua, cita-cita seorang anak merupakan “paksaan” dari orang tuanya. Orang tua mendoktrin bahwa jadi tentara itu gagah karena bawa senjata. Jadi dokter itu mulia karena bisa ngobatin orang. Jadi dosen itu bergengsi karena kerjanya lebih pakek otak daripada okol. Ini itulah deh pokoknya... Atau, bisa juga anak menjadi tumbal kegagalan orang tuanya. Orang tua gagal jadi tentara terus anaknya didandani layaknya tentara.
Lalu, hal-hal tersebut ditanamkan terus-menerus dalam alam bawah sadar. Yah, semacam cuci otak. Bahkan ada pula orang tua yang sampai benar-benar memaksa si anak untuk menjadi seperti kehendak mereka. Yah seperti itu tadi, memakaikan baju tentara supaya besok anaknya jadi tentara. Ada pula yang mengeleskan anaknya piano supaya anaknya jadi musisi. Memaksa anaknya kuliah di fakultas ekonomi padahal anaknya senang bermusik.
Apakah suatu cita-cita harus tinggi, atau keren, atau sempurna ? Atau, haruskah selalu dijawab oleh anak-anak, ketika ditanya apa cita-citamu, menjadi dokter. Atau insinyur, atau tentara ? Mengapa tidak dibiarkan anak-anak memiliki cita-cita berdasarkan kesukaannya.
Aku memiliki kawan yang keluar dari kuliahnya di fakultas ekonomi. Gara-gara, ia ingin jadi aktor teater. Sementara, orang tuanya berharap ia memiliki gelar S1. Cita-cita itu membuatnya kemudian tak lagi mendapat uang kiriman bulanan. Untuk tidur, ia harus menumpang di kamar kost teman-temannya. Untuk makan, ia harus mendapat dari belas kasih teman-temannya. Nyatanya, berkat totalitas, kegigihan, dan bondho nekat, ia sukses. Selayaknya tidak perlu mempersoalkan cita-cita seorang anak, yang terlebih penting adalah memberikan jalan dan membantunya mewujudkan cita-citanya.
Minggu, 16 Juni 2013
BG 1912 E
Ada sebuah kebiasaan baru yang dalam beberapa bulan terakhir ini, baik secara sadar maupun secara spontan, kerap kulakukan yakni memandangi pelat nomor mobil. Entah saat mengendarai motor atau saat duduk manis di dalam mobil. Mataku selalu menjadi liar berburu saat berada di antara keramaian jalan. Hinggap di satu mobil dan cepat beralih ke mobil-mobil lainnya. Perburuanku terutama menargetkan mobil-mobil berwarna hitam, lebih khususnya lagi mobil yang bermerek terios. Yah, buruanku adalah sebuah mobil terios hitam.
Kebiasaan ini timbul bukan karena kegemaranku pada mobil terios. Bukan pula karena keinginanku memiliki mobil jenis tersebut. Tetapi, karena aku mencari mobil terios hitam milik ayahku yang hilang.
Ada yang mau tahu kenapa mobil itu bisa hilang ?
Begini ceritanya. Pada awal 2009, seorang bekas murid ayah menawarkan sebuah bisnis investasi, bertani uang katanya saat kali pertama menawarkan bisnis tersebut. Orang itu bernama eka efri saputra ( boleh dibaca bajingan tengik ). Saat itu, Ia memiliki sebuah perusahaan investasi berbentuk CV yang dinamai eka pioner. Dalam pemaparan, dijanjikan bila menginvestasikan sejumlah uang, minimal 10 juta rupiah, maka akan mendapatkan bunga 4% pada bulan ke tiga. Dan, bila bisa mengajak orang lain menjadi investor maka akan mendapat bagian bunga 1%. Lalu, bila bisa menginvestasikan minimal 300 juta rupiah maka dijanjikan akan beroleh bonus berupa mobil terios.
Karena bunga yang menjanjikan plus iming-iming bonus mobil maka ayah memutuskan menginvestasikan seluruh tabungannya. Beliau pun giat mencari down line untuk memenuhi target memperoleh mobil. Bahkan tak cuma itu beliau pun nekat meminjam uang di bank, dengan menggadaikan SK PNS-nya, untuk ditanamkan di bisnis investasi tersebut. Total uang yang terinvestasi sudah mencapai 170 juta rupiah, masih jauh panggang dari api. Tapi, karena sang bos adalah mantan muridnya maka perlakuan khusus pun diberikan. Ayah dijanjikan mendapat sebuah mobil terios, segera setelah mengurus syarat administrasi.
Sebuah kejanggalan yang kutemui saat ayah mengurusi syarat administrasi. Ternyata, mobil yang dijadikan bonus diperoleh dengan cara kredit, bukan dibeli tunai, yang lebih fatalnya semua dokumen kredit mengatasnamakan ayah. Jadi, dengan kata lain ayah lah yang mengredit mobil.
“Loh, mobilnya kreditan toh kung? Loh, kok semua dokumen ini pake nama kung? Kan ini hadiah jadi harusnya pake nama eka dong. Kalo ntar ada apa-apa gimana?” ujarku menegur kejanggalan ini.
“Cuma untuk administrasi tok,” jawab ayah, singkat tapi sedikit dinadai jengkel. Mungkin karena saat itu beliau tengah terbakar semangat memiliki mobil, yang selama ini tak pernah dimiliki oleh keluarga kami. Pun, karena watak keras kepala ayah, aku memutuskan tidak untuk meneruskan pertanyaan-pertanyaan.
Sekitar awal Januari 2012, mobil pun datang. Mobil terios hitam. Ayah tersenyum bahagia. Dan juga kedua keponakanku, Laura dan Mario, bukan kepalang gembira bak menyambut kedatangan anggota keluarga baru. Tiap saat selalu saja mereka minta naik mobil. Dan, ayah serta aku dan mbakku turut pula naik mobil. Hidupkan mesin. Hidupkan AC. Hidupkan radio. Mobilnya gak jalan gak masalah. Hmmm... beramai-ramai menghirup aroma kemewahan.
Satu minggu setelah kedatangan mobil aku pun dipaksa ayah kursus setir mobil. Siapa yang tidak mau. Aku lalu belajar nyopir di kursus setir dekat GOR Gelora Serame. Juga belajar nyopir dengan om Samiyo. Setelah mahir, kami sekeluarga hampir tiap hari selalu berkeliling kota menikmati kemewahan.
Bulan berganti. Hari pun berlalu. Setelah kurang lebih mobil sudah delapan bulan bertengger di garasi, pembayaran cicilan dari Eka Pioner mulai seret. Malahan pernah ayah harus merogoh dari kocek sendiri. Sama halnya dengan pembayaran profit kepada investor.
Sampai pada suatu hari di bulan oktober, eka efri saputra menelepon ayah. Ia bermaksud meminjam mobil untuk akomodasi dalam rangka memperluas jaringan bisnis di Lampung. Orang itu berjanji mengembalikan mobil dua bulan kemudian. Atas dassar percaya, ayah lalu memberikan dengan sukarela.
“kagek idak dibaleke loh kung,” ujar mbakku, saat itu, mengingatkan ayah. Ayah cuma diam. Dan, tetap memberikan kunci mobil. Sampai tulisan ini dibuat. Mobil belum kembali. Dan, entah dimana mobil itu berada. Padahal segala cara sudah ditempuh untuk mencari. Mulai dari minta tolong teman yang seorang polisi. Sampai menyewa buser. Terakhir, enam bulan setelah mobil dipinjam, ayah melaporkannya ke kepolisian sebagai mobil hilang.
Entah sampai kapan mataku ini tidak lagi jadi liar saat di jalanan. Berburu. Hinggap dari satu mobil ke mobil yang lain. Mengincari mobil-mobil berwarna hitam. Tepatnya, terios hitam bernomor polisi BG 1912 E.
Kebiasaan ini timbul bukan karena kegemaranku pada mobil terios. Bukan pula karena keinginanku memiliki mobil jenis tersebut. Tetapi, karena aku mencari mobil terios hitam milik ayahku yang hilang.
Ada yang mau tahu kenapa mobil itu bisa hilang ?
Begini ceritanya. Pada awal 2009, seorang bekas murid ayah menawarkan sebuah bisnis investasi, bertani uang katanya saat kali pertama menawarkan bisnis tersebut. Orang itu bernama eka efri saputra ( boleh dibaca bajingan tengik ). Saat itu, Ia memiliki sebuah perusahaan investasi berbentuk CV yang dinamai eka pioner. Dalam pemaparan, dijanjikan bila menginvestasikan sejumlah uang, minimal 10 juta rupiah, maka akan mendapatkan bunga 4% pada bulan ke tiga. Dan, bila bisa mengajak orang lain menjadi investor maka akan mendapat bagian bunga 1%. Lalu, bila bisa menginvestasikan minimal 300 juta rupiah maka dijanjikan akan beroleh bonus berupa mobil terios.
Karena bunga yang menjanjikan plus iming-iming bonus mobil maka ayah memutuskan menginvestasikan seluruh tabungannya. Beliau pun giat mencari down line untuk memenuhi target memperoleh mobil. Bahkan tak cuma itu beliau pun nekat meminjam uang di bank, dengan menggadaikan SK PNS-nya, untuk ditanamkan di bisnis investasi tersebut. Total uang yang terinvestasi sudah mencapai 170 juta rupiah, masih jauh panggang dari api. Tapi, karena sang bos adalah mantan muridnya maka perlakuan khusus pun diberikan. Ayah dijanjikan mendapat sebuah mobil terios, segera setelah mengurus syarat administrasi.
Sebuah kejanggalan yang kutemui saat ayah mengurusi syarat administrasi. Ternyata, mobil yang dijadikan bonus diperoleh dengan cara kredit, bukan dibeli tunai, yang lebih fatalnya semua dokumen kredit mengatasnamakan ayah. Jadi, dengan kata lain ayah lah yang mengredit mobil.
“Loh, mobilnya kreditan toh kung? Loh, kok semua dokumen ini pake nama kung? Kan ini hadiah jadi harusnya pake nama eka dong. Kalo ntar ada apa-apa gimana?” ujarku menegur kejanggalan ini.
“Cuma untuk administrasi tok,” jawab ayah, singkat tapi sedikit dinadai jengkel. Mungkin karena saat itu beliau tengah terbakar semangat memiliki mobil, yang selama ini tak pernah dimiliki oleh keluarga kami. Pun, karena watak keras kepala ayah, aku memutuskan tidak untuk meneruskan pertanyaan-pertanyaan.
Sekitar awal Januari 2012, mobil pun datang. Mobil terios hitam. Ayah tersenyum bahagia. Dan juga kedua keponakanku, Laura dan Mario, bukan kepalang gembira bak menyambut kedatangan anggota keluarga baru. Tiap saat selalu saja mereka minta naik mobil. Dan, ayah serta aku dan mbakku turut pula naik mobil. Hidupkan mesin. Hidupkan AC. Hidupkan radio. Mobilnya gak jalan gak masalah. Hmmm... beramai-ramai menghirup aroma kemewahan.
Satu minggu setelah kedatangan mobil aku pun dipaksa ayah kursus setir mobil. Siapa yang tidak mau. Aku lalu belajar nyopir di kursus setir dekat GOR Gelora Serame. Juga belajar nyopir dengan om Samiyo. Setelah mahir, kami sekeluarga hampir tiap hari selalu berkeliling kota menikmati kemewahan.
Bulan berganti. Hari pun berlalu. Setelah kurang lebih mobil sudah delapan bulan bertengger di garasi, pembayaran cicilan dari Eka Pioner mulai seret. Malahan pernah ayah harus merogoh dari kocek sendiri. Sama halnya dengan pembayaran profit kepada investor.
Sampai pada suatu hari di bulan oktober, eka efri saputra menelepon ayah. Ia bermaksud meminjam mobil untuk akomodasi dalam rangka memperluas jaringan bisnis di Lampung. Orang itu berjanji mengembalikan mobil dua bulan kemudian. Atas dassar percaya, ayah lalu memberikan dengan sukarela.
“kagek idak dibaleke loh kung,” ujar mbakku, saat itu, mengingatkan ayah. Ayah cuma diam. Dan, tetap memberikan kunci mobil. Sampai tulisan ini dibuat. Mobil belum kembali. Dan, entah dimana mobil itu berada. Padahal segala cara sudah ditempuh untuk mencari. Mulai dari minta tolong teman yang seorang polisi. Sampai menyewa buser. Terakhir, enam bulan setelah mobil dipinjam, ayah melaporkannya ke kepolisian sebagai mobil hilang.
Entah sampai kapan mataku ini tidak lagi jadi liar saat di jalanan. Berburu. Hinggap dari satu mobil ke mobil yang lain. Mengincari mobil-mobil berwarna hitam. Tepatnya, terios hitam bernomor polisi BG 1912 E.
Selasa, 11 Juni 2013
Masyarakat Bergunjing
Tanpa disadari kita hidup dalam masyarakat yang sangat menggemari bergunjing. Memperbincangkan orang lain. Mulai dari model rambut. Make up yang terlalu tebal. Kaca mata yang terlalu mencolok. Pakaian yang norak. Cara berjalan yang lebay. Apa saja. Selalu saja ada hal dan orang yang dipergunjingkan.
Dan, di mana saja selalu bertemu dengan orang-orang yang sangat suka menggunjing orang lain. Tidak di kantor. Tidak di arisan. Tidak di rumah. Tidak saat bekerja. Tidak saat bersantai. Tidak saat memasak. Bergunjing sungguh tidak mengenal ruang dan waktu.
Gunjingan mengalir deras seperti aliran sungai. Dari mulut bergincu tebal sampai mulut beraroma rokok. Hinggap di telinga satu ke telinga lain. Cepat. Bahkan kabarnya lebih cepat dari membuat teh celup.
Gunjingan juga seperti jelangkung. Datang tak diundang pergi tak diantar. Selalu muncul hal menarik yang digunjingkan. Muncul lagi. Padahal masalah yang lama sebelum sempat diverifikasi dan klarifikasi.
Memang harus diakui bila menggunjingkan orang lain digemari banyak orang karena merupakan perpaduan antara jadi detektif sekaligus wartawan. Membongkar sebuah misteri. Top Secret. Lalu jadi hakim. Mengatakan ini bener dan ini gak bener. Lalu jadi ustad. Harusnya begini dan harusnya begitu.
Bahkan, lalu kesukaan bergunjing ini terbaca oleh bisnis, terutama bisnis hiburan, selanjutnya dikemas jadi produk andalan. Lihatlah di televisi, beragam tayangan yang bergunjing. Ada cek & ricek, silet, Kiss, insert dan masih banyak lainnya. Bisnis, sepertinya, berlomba-lomba mengajari dan memprovokasi masyarakat bergujing.
Artis yang berulang tahun. Digunjingkan, mulai dari pesta ulang tahun yang terlalu foya-foya, menghambur-hamburkan uang. Hadiah mewah yang didapat. Atau, karena perilaku hedonisnya. Seorang artis yang makan siang. Digunjingkan, makan dengan siapa. Dimana? Makan apa aja. Emang penting ! Lalu, artis yang jalan-jalan. Juga digunjingkan. Artis yang putus cinta. Digunjingkan lagi. Artis yang hendak menikah. Digunjingkan pula. Semua digunjingkan. Semua dikemas jadi berita. Berita heboh. Semua diungkap. Semua ditelajangi. Tanpa batas. Huh... lama-lama ada artis yang beol juga digunjingkan pula. Wuuu... Wesenya keren. Wuuu... tainya wangi. Wuuu... ini ! Wuuu... itu ! pokoknya wuuu... deh !
Kadang kala terasa jenuh. Sebal. Bila masalah kecil dan gak penting mulai dipergunjingkan seolah-olah hal itu penting. Tapi kadang kala tanpa disadari terjebur juga. Basah kuyub di kedalaman pergunjingan. Hingga pada suatu titik, tersembul sebuah pertanyaan. Mengapa kita bergunjing ?
Bergunjing, menurut KBBI, berarti berbicara ( beromong-omong ) tentang kejelekan ( kekurangan ) seseorang dan sebagainya. Bila dianalisa secara sederhana, manusia adalah mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial, manusia hidup di antara atau bersama-sama dengan manusia lain. Dalam kebersamaannya dengan manusia lain, seorang manusia pasti akan berelasi. Relasi tersebut salah satunya dengan cara berbicara. Berbicara apa saja. Bisa tentang keluarga. Atau, tentang kebiasaan. Atau, tentang pengalaman. Semakin komplek kehidupan manusia semakin komplek pula hal yang dibicarakan. Nah, bisa jadi salah satu yang dibicarakan tentang kejelekan orang lain.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa dia, aku, mereka, atau semua menyukai bergunjing ?
Seseorang merasa dirinya diakui oleh orang lain saat dirinya up date. Saat ia mengerti informasi terbaru ini-itu tentang seseorang yang tidak diketahui oleh orang lainnya. Bukankah bila kita melihat hirarki kebutuhan maslow, pengakuan orang lain dan aktualisasi diri merupakan kebutuhan puncak seseorang. Di saat makanan, pakaian dan tempat tinggal bukan lagi masalah maka seseorang akan memenuhi kebutuhannya akan pengakuan dari orang lain. Dan, jika kebutuhan tersebut terpenuhi maka manusia mencapai kepuasan. Itulah yang membuat orang suka bergunjing.
Lalu, apakah bergunjing itu salah ?
Bila berdasar pada pemikiran Aristoteles (384-322 SM), bahwa manusia adalah binatang yang rasional (rational animal). Hal yang membedakan manusia dari hewan adalah kemampuannya untuk menggunakan akal budi, guna membuat keputusan dan memahami dunia tempat tinggalnya. Selanjutnya, manusia bisa menjadi manusia seutuhnya, karena ia mampu berpikir, dan bertindak seturut dengan pikirannya itu (Reza AA Watimena). Maka, bergunjing bisa menyebabkan manusia salah membuat keputusan dan memahami dunia tempat tinggalnya. Mengapa ? Karena keputusan tidak dibuat berdasarkan akal budi tetapi karena menjadikan pergunjingan sebagai data dalam mengambil keputusan. Dan, ketika seorang manusia salah membuat keputusan dan memahami dunia tempat tinggalnya, relasi dengan manusia lain atau masyarakatnya bisa terganggu. Oleh karena itu kerap dijumpai ada pertengkaran antar anggota masyarakat yang awalnya disebabkan oleh bergunjing.
Nah... makanya jangan suka bergunjing. Ngomong apa adanya. Ngobrolin hal-hal yang baik aja dari orang lain. By the way tahu gak kalau bela, tetangga sebelah, ternyata simpenan om-om loh ?
Dan, di mana saja selalu bertemu dengan orang-orang yang sangat suka menggunjing orang lain. Tidak di kantor. Tidak di arisan. Tidak di rumah. Tidak saat bekerja. Tidak saat bersantai. Tidak saat memasak. Bergunjing sungguh tidak mengenal ruang dan waktu.
Gunjingan mengalir deras seperti aliran sungai. Dari mulut bergincu tebal sampai mulut beraroma rokok. Hinggap di telinga satu ke telinga lain. Cepat. Bahkan kabarnya lebih cepat dari membuat teh celup.
Gunjingan juga seperti jelangkung. Datang tak diundang pergi tak diantar. Selalu muncul hal menarik yang digunjingkan. Muncul lagi. Padahal masalah yang lama sebelum sempat diverifikasi dan klarifikasi.
Memang harus diakui bila menggunjingkan orang lain digemari banyak orang karena merupakan perpaduan antara jadi detektif sekaligus wartawan. Membongkar sebuah misteri. Top Secret. Lalu jadi hakim. Mengatakan ini bener dan ini gak bener. Lalu jadi ustad. Harusnya begini dan harusnya begitu.
Bahkan, lalu kesukaan bergunjing ini terbaca oleh bisnis, terutama bisnis hiburan, selanjutnya dikemas jadi produk andalan. Lihatlah di televisi, beragam tayangan yang bergunjing. Ada cek & ricek, silet, Kiss, insert dan masih banyak lainnya. Bisnis, sepertinya, berlomba-lomba mengajari dan memprovokasi masyarakat bergujing.
Artis yang berulang tahun. Digunjingkan, mulai dari pesta ulang tahun yang terlalu foya-foya, menghambur-hamburkan uang. Hadiah mewah yang didapat. Atau, karena perilaku hedonisnya. Seorang artis yang makan siang. Digunjingkan, makan dengan siapa. Dimana? Makan apa aja. Emang penting ! Lalu, artis yang jalan-jalan. Juga digunjingkan. Artis yang putus cinta. Digunjingkan lagi. Artis yang hendak menikah. Digunjingkan pula. Semua digunjingkan. Semua dikemas jadi berita. Berita heboh. Semua diungkap. Semua ditelajangi. Tanpa batas. Huh... lama-lama ada artis yang beol juga digunjingkan pula. Wuuu... Wesenya keren. Wuuu... tainya wangi. Wuuu... ini ! Wuuu... itu ! pokoknya wuuu... deh !
Kadang kala terasa jenuh. Sebal. Bila masalah kecil dan gak penting mulai dipergunjingkan seolah-olah hal itu penting. Tapi kadang kala tanpa disadari terjebur juga. Basah kuyub di kedalaman pergunjingan. Hingga pada suatu titik, tersembul sebuah pertanyaan. Mengapa kita bergunjing ?
Bergunjing, menurut KBBI, berarti berbicara ( beromong-omong ) tentang kejelekan ( kekurangan ) seseorang dan sebagainya. Bila dianalisa secara sederhana, manusia adalah mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial, manusia hidup di antara atau bersama-sama dengan manusia lain. Dalam kebersamaannya dengan manusia lain, seorang manusia pasti akan berelasi. Relasi tersebut salah satunya dengan cara berbicara. Berbicara apa saja. Bisa tentang keluarga. Atau, tentang kebiasaan. Atau, tentang pengalaman. Semakin komplek kehidupan manusia semakin komplek pula hal yang dibicarakan. Nah, bisa jadi salah satu yang dibicarakan tentang kejelekan orang lain.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa dia, aku, mereka, atau semua menyukai bergunjing ?
Seseorang merasa dirinya diakui oleh orang lain saat dirinya up date. Saat ia mengerti informasi terbaru ini-itu tentang seseorang yang tidak diketahui oleh orang lainnya. Bukankah bila kita melihat hirarki kebutuhan maslow, pengakuan orang lain dan aktualisasi diri merupakan kebutuhan puncak seseorang. Di saat makanan, pakaian dan tempat tinggal bukan lagi masalah maka seseorang akan memenuhi kebutuhannya akan pengakuan dari orang lain. Dan, jika kebutuhan tersebut terpenuhi maka manusia mencapai kepuasan. Itulah yang membuat orang suka bergunjing.
Lalu, apakah bergunjing itu salah ?
Bila berdasar pada pemikiran Aristoteles (384-322 SM), bahwa manusia adalah binatang yang rasional (rational animal). Hal yang membedakan manusia dari hewan adalah kemampuannya untuk menggunakan akal budi, guna membuat keputusan dan memahami dunia tempat tinggalnya. Selanjutnya, manusia bisa menjadi manusia seutuhnya, karena ia mampu berpikir, dan bertindak seturut dengan pikirannya itu (Reza AA Watimena). Maka, bergunjing bisa menyebabkan manusia salah membuat keputusan dan memahami dunia tempat tinggalnya. Mengapa ? Karena keputusan tidak dibuat berdasarkan akal budi tetapi karena menjadikan pergunjingan sebagai data dalam mengambil keputusan. Dan, ketika seorang manusia salah membuat keputusan dan memahami dunia tempat tinggalnya, relasi dengan manusia lain atau masyarakatnya bisa terganggu. Oleh karena itu kerap dijumpai ada pertengkaran antar anggota masyarakat yang awalnya disebabkan oleh bergunjing.
Nah... makanya jangan suka bergunjing. Ngomong apa adanya. Ngobrolin hal-hal yang baik aja dari orang lain. By the way tahu gak kalau bela, tetangga sebelah, ternyata simpenan om-om loh ?
Jumat, 31 Mei 2013
Digigit nyamuk
Suatu waktu saat mengikuti sebuah misa kudus, karena misa tersebut diadakan di ruangan terbuka dan menjelang malam hari maka serbuan nyamuk yang luar biasa menjadi sebuah persoalan. Dan, mungkin pula karena bau badanku yang agak berbeda dari kebanyakan orang maka aku pun menjadi pilihan favorit santapan malam para nyamuk. Selanjutnya konsentrasi pun mesti dibagi, separuh untuk Tuhan lalu separuh lagi untuk nyamuk. Ada maksud tertahan untuk membunuh nyamuk mengingat menjadi hal yang paradoks bila membunuh nyamuk yang mahluk Tuhan di tengah merayakan misa kudus untuk bersyukur pada Tuhan. Jurus-jurus ringan lalu dipakai untuk mengusir mereka. Dan, terlebih jangan sampai mematikan mahluk tersebut.
Tapi, kata pepatah sedalam-dalamnya laut berdasar, setinggi-tingginya gunung berpuncak. Kesabaran pun ada batas. Kejengkelan yang sudah meluap mencapai ubun-ubun memaksaku untuk mengeluarkan jurus pamungkas yang mematikan dan dengan secepat kilat, teplok...!!! Mampuslah nyamuk yang tengah menikmati darahku di sekitar punuk.
Dan tiba-tiba pula teman disebelahku wuuusss... berubah, menjelma jadi malaikat, lalu ia bersabda “misa kudus kok membunuh nyamuk. Kontra Produktif tau !” Aku melongo. Keheranan. Ada lingkaran putih terang melingkari di kepalanya. Wajahnya bersinar terang pula.
“Ups, tunggu dulu. Bukan sembarang maksud aku membunuh nyamuk,” ujarku membela diri. “Lalu...?” sahutnya.
“Aku justru menyelamatkan orang banyak dari api neraka.” Aku menjelaskan padanya. “Maksud lo ?” sahutnya lagi.
“Yah kamu bayangin deh. Dari sekian banyak orang di sini berapa orang yang terpaksa tidak konsentrasi karena gigitan nyamuk. Bila di asumsikan di sekitar tempat ini ada sepuluh nyamuk masing-masing menggigit sepuluh orang berarti ada seratus orang yang digigit. Berarti pula ada seratus orang yang tidak konsentrasi mengikuti misa. Berarti pula ada seratus calon penghuni neraka.” Ucapku panjang lebar sampai berbusa.
“Itu yang pertama. Ini yang kedua, dengan nyamuk itu mati berarti ia mati mulia. Ia akan bereinkarnasi menjadi mahluk yang lebih tinggi derajatnya. Nah... berarti aku membantunya memangkas lingkar karmanya dan mengangkat derajat kemuliaannya.” Ucapku kembali panjang lebar sampai memuncratkan air liur.
“Tapi kamu lupa saudaraku.” Jawabnya singkat. Aku menyahuti, “apa itu ?”
“ Yang bisa ia lakukan cuma bisa menggigit. Dengan menggigit, ia bisa makan. Dengan menggigit, ia mempertahankan hidup. Kalau bisa bicara maka pasti ia akan mengemis darah padamu. Kalau bisa bekerja ia akan bekerja lalu dapat uang lalu beli darah di PMI.” Ujarnya. Lalu ia berkata lagi, “lagian kan gak rugi juga darahmu disedot setitik aja kan kamu gendut. Pasti, banyak darahnya. ”
“Asem kau...”
Tapi betul juga yah kalau dipikir-pikir. Kadang kita menyalahkan orang lain atas apa yang ia kerjakan atau lakukan padahal hal itu adalah keterbatasanya, misalnya “hoi...kalau dibilangin orang tua jangan melotot matanya!” tapi ternyata emang orang itu matanya belok. Hmmm... memang kadang kita berprilaku tidak adil pada orang lain.
“Mas mbok tenang saat misa kudus ! Udah usreg terus. Ngomong terus pula.” Buset bapak disebelahku sewot karena terganggu pembicaraan kami. Lagi-lagi aku tidak adil pada orang lain. Yang digigit nyamuk aku, orang lain yang jadi terganggu.
Tapi, kata pepatah sedalam-dalamnya laut berdasar, setinggi-tingginya gunung berpuncak. Kesabaran pun ada batas. Kejengkelan yang sudah meluap mencapai ubun-ubun memaksaku untuk mengeluarkan jurus pamungkas yang mematikan dan dengan secepat kilat, teplok...!!! Mampuslah nyamuk yang tengah menikmati darahku di sekitar punuk.
Dan tiba-tiba pula teman disebelahku wuuusss... berubah, menjelma jadi malaikat, lalu ia bersabda “misa kudus kok membunuh nyamuk. Kontra Produktif tau !” Aku melongo. Keheranan. Ada lingkaran putih terang melingkari di kepalanya. Wajahnya bersinar terang pula.
“Ups, tunggu dulu. Bukan sembarang maksud aku membunuh nyamuk,” ujarku membela diri. “Lalu...?” sahutnya.
“Aku justru menyelamatkan orang banyak dari api neraka.” Aku menjelaskan padanya. “Maksud lo ?” sahutnya lagi.
“Yah kamu bayangin deh. Dari sekian banyak orang di sini berapa orang yang terpaksa tidak konsentrasi karena gigitan nyamuk. Bila di asumsikan di sekitar tempat ini ada sepuluh nyamuk masing-masing menggigit sepuluh orang berarti ada seratus orang yang digigit. Berarti pula ada seratus orang yang tidak konsentrasi mengikuti misa. Berarti pula ada seratus calon penghuni neraka.” Ucapku panjang lebar sampai berbusa.
“Itu yang pertama. Ini yang kedua, dengan nyamuk itu mati berarti ia mati mulia. Ia akan bereinkarnasi menjadi mahluk yang lebih tinggi derajatnya. Nah... berarti aku membantunya memangkas lingkar karmanya dan mengangkat derajat kemuliaannya.” Ucapku kembali panjang lebar sampai memuncratkan air liur.
“Tapi kamu lupa saudaraku.” Jawabnya singkat. Aku menyahuti, “apa itu ?”
“ Yang bisa ia lakukan cuma bisa menggigit. Dengan menggigit, ia bisa makan. Dengan menggigit, ia mempertahankan hidup. Kalau bisa bicara maka pasti ia akan mengemis darah padamu. Kalau bisa bekerja ia akan bekerja lalu dapat uang lalu beli darah di PMI.” Ujarnya. Lalu ia berkata lagi, “lagian kan gak rugi juga darahmu disedot setitik aja kan kamu gendut. Pasti, banyak darahnya. ”
“Asem kau...”
Tapi betul juga yah kalau dipikir-pikir. Kadang kita menyalahkan orang lain atas apa yang ia kerjakan atau lakukan padahal hal itu adalah keterbatasanya, misalnya “hoi...kalau dibilangin orang tua jangan melotot matanya!” tapi ternyata emang orang itu matanya belok. Hmmm... memang kadang kita berprilaku tidak adil pada orang lain.
“Mas mbok tenang saat misa kudus ! Udah usreg terus. Ngomong terus pula.” Buset bapak disebelahku sewot karena terganggu pembicaraan kami. Lagi-lagi aku tidak adil pada orang lain. Yang digigit nyamuk aku, orang lain yang jadi terganggu.
Rabu, 29 Mei 2013
mimpi
Banyak hal yang bisa ditafsirkan dari mimpi. Pertama, mimpi secara harafiah berarti sesuatu yang terlihat atau dialami dalam tidur, misalnya mimpi dikejar hantu atau mimpi mendapat undian berhadiah. Orang kerap berkata bila mimpi seperti ini sebagai kembang tidur.
Kedua, mimpi bisa pula diartikan sebagai angan-angan atau cita. Suatu tujuan ideal yang akan dicapai atau dilaksanakan, misalnya seorang bocah bermimpi jadi dokter atau pilot. Para motivator bilang mimpi seperti ini merupakan modal dasar untuk berusaha mencapai kesuksesan. Karena katanya orang sukses itu berawal dari mimpi.
Ketiga, mimpi pun bisa diartikan sebagai khayalan, berangan yang bukan-bukan, misalnya seorang yang malas bekerja lalu bermimpi jadi orang kaya. Biasanya, kebanyakan orang lalu akan ramai-ramai berteriak “ngimpi...”
Selanjutnya, percayakah anda pada mimpi ?
Harus percaya menurutku, bukankah pesawat terbang merupakan perwujudan dari mimpi-mimpi Wright bersaudara. Indonesia merdeka pun buah dari mimpi Soekarno dan para pemuda saat itu. Greg S. Reid, seorang penulis best seller yang juga seorang wirausaha dan CEO beberapa perusahaan pernah mengatakan “bermimpilah yang besar, dan jangan berhenti sebelum mencapai puncak”.
Mimpi adalah misteri. Meskipun, mimpi hadir dalam sejarah panjang kehidupan manusia. Banyak diantaranya yang mencoba menyelidiki. Berbagai usaha dilakukan untuk memahami mimpi, baik fungsi maupun artinya. Mulai dari meramal arti mimpi seperti Yusuf yang menjelaskan arti mimpi Firaun. Sampai menciptakan mesin poligraf untuk mencatat gelombang otak.
Beberapa diantaranya mencoba merumuskan apa itu mimpi, antara lain Aristoteles (384-322 SM), menurutnya mimpi merupakan aktivitas mental ketika seseorang tidur. Sementara dalam buku The Interpretation of Dream, Sigmund Freud (1856-1939) menyatakan bahwa mimpi adalah penghubung antara kondisi bangun dan tidur. Mimpi merupakan ekpresi yang terdistrosi atau yang sebenarnya dari keinginan-keinginan yang terlarang diungkapkan dalam keadaan terjaga. Dan, Carl Gustav Jung (1875-1961) dalam bukunya Memories, Dreams, Reflections berpendapat bahwa mimpi merupakan cara berkomunikasi yang membawa informasi dari tahap bawah sadar ke tahap sadar.
Ilmu pengetahuan baru pun lalu terlahir, oneirologi. Menurut Wikipedia, oneirologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang meneliti tentang mimpi. Cabang ilmu pengetahuan ini juga mencoba mencari korelasi antara mimpi dengan fungsi otak, serta pemahaman tentang bagaimana cara kerja otak selama seseorang sedang bermimpi dan kaitannya dengan pembentukan memori dan gangguan mental. Studi tentang oneirologi berbeda dengan studi tentang analisis mimpi, tujuan dari studi oneirologi adalah untuk mempelajari proses terjadinya sebuah mimpi dan cara kerja sebuah mimpi bukannya menganalisis makna sebuah mimpi.
Omong-omong soal mimpi, aku punya seorang teman yang begitu sangat percaya dengan mimpi. Setiap pagi, selalu ia bertanya pada orang yang dijumpai kali pertama, “mimpi apa kau semalam ?” Segera setelah itu, ia segera disibukkan menafsir mimpi, lalu memanipulasinya menjadi data kuantitaif tiga digit angka togel. Tidak tahu bagaimana hasilnya, tembus atau tidak. Tapi ia begitu percaya pada mimpi-mimpi orang lain dalam rangka mewujudkan mimpi dirinya jadi orang berduit.
Aku jadi ingat saat negeri ini melegalkan perjudian lewat SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). Saat itu ada sebuah buku tebal yang dikitabsucikan oleh para penggemar berat SDSB. Buku tebal itu berisi tafsir mimpi. Jadi misal bermimpi monyet berarti angka yang keluar 32. Bila bermimpi babi berarti angka yang keluar 40. Bagaimana jika bermimpi babi betina beranak lima ekor, tiga betina warna hitam, dua lagi warna belang-belang, dua anak babi warna hitam jantan, sedang sisanya betina. Berapa yah angka yang keluar ?
Kedua, mimpi bisa pula diartikan sebagai angan-angan atau cita. Suatu tujuan ideal yang akan dicapai atau dilaksanakan, misalnya seorang bocah bermimpi jadi dokter atau pilot. Para motivator bilang mimpi seperti ini merupakan modal dasar untuk berusaha mencapai kesuksesan. Karena katanya orang sukses itu berawal dari mimpi.
Ketiga, mimpi pun bisa diartikan sebagai khayalan, berangan yang bukan-bukan, misalnya seorang yang malas bekerja lalu bermimpi jadi orang kaya. Biasanya, kebanyakan orang lalu akan ramai-ramai berteriak “ngimpi...”
Selanjutnya, percayakah anda pada mimpi ?
Harus percaya menurutku, bukankah pesawat terbang merupakan perwujudan dari mimpi-mimpi Wright bersaudara. Indonesia merdeka pun buah dari mimpi Soekarno dan para pemuda saat itu. Greg S. Reid, seorang penulis best seller yang juga seorang wirausaha dan CEO beberapa perusahaan pernah mengatakan “bermimpilah yang besar, dan jangan berhenti sebelum mencapai puncak”.
Mimpi adalah misteri. Meskipun, mimpi hadir dalam sejarah panjang kehidupan manusia. Banyak diantaranya yang mencoba menyelidiki. Berbagai usaha dilakukan untuk memahami mimpi, baik fungsi maupun artinya. Mulai dari meramal arti mimpi seperti Yusuf yang menjelaskan arti mimpi Firaun. Sampai menciptakan mesin poligraf untuk mencatat gelombang otak.
Beberapa diantaranya mencoba merumuskan apa itu mimpi, antara lain Aristoteles (384-322 SM), menurutnya mimpi merupakan aktivitas mental ketika seseorang tidur. Sementara dalam buku The Interpretation of Dream, Sigmund Freud (1856-1939) menyatakan bahwa mimpi adalah penghubung antara kondisi bangun dan tidur. Mimpi merupakan ekpresi yang terdistrosi atau yang sebenarnya dari keinginan-keinginan yang terlarang diungkapkan dalam keadaan terjaga. Dan, Carl Gustav Jung (1875-1961) dalam bukunya Memories, Dreams, Reflections berpendapat bahwa mimpi merupakan cara berkomunikasi yang membawa informasi dari tahap bawah sadar ke tahap sadar.
Ilmu pengetahuan baru pun lalu terlahir, oneirologi. Menurut Wikipedia, oneirologi adalah cabang ilmu pengetahuan yang meneliti tentang mimpi. Cabang ilmu pengetahuan ini juga mencoba mencari korelasi antara mimpi dengan fungsi otak, serta pemahaman tentang bagaimana cara kerja otak selama seseorang sedang bermimpi dan kaitannya dengan pembentukan memori dan gangguan mental. Studi tentang oneirologi berbeda dengan studi tentang analisis mimpi, tujuan dari studi oneirologi adalah untuk mempelajari proses terjadinya sebuah mimpi dan cara kerja sebuah mimpi bukannya menganalisis makna sebuah mimpi.
Omong-omong soal mimpi, aku punya seorang teman yang begitu sangat percaya dengan mimpi. Setiap pagi, selalu ia bertanya pada orang yang dijumpai kali pertama, “mimpi apa kau semalam ?” Segera setelah itu, ia segera disibukkan menafsir mimpi, lalu memanipulasinya menjadi data kuantitaif tiga digit angka togel. Tidak tahu bagaimana hasilnya, tembus atau tidak. Tapi ia begitu percaya pada mimpi-mimpi orang lain dalam rangka mewujudkan mimpi dirinya jadi orang berduit.
Aku jadi ingat saat negeri ini melegalkan perjudian lewat SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). Saat itu ada sebuah buku tebal yang dikitabsucikan oleh para penggemar berat SDSB. Buku tebal itu berisi tafsir mimpi. Jadi misal bermimpi monyet berarti angka yang keluar 32. Bila bermimpi babi berarti angka yang keluar 40. Bagaimana jika bermimpi babi betina beranak lima ekor, tiga betina warna hitam, dua lagi warna belang-belang, dua anak babi warna hitam jantan, sedang sisanya betina. Berapa yah angka yang keluar ?
Kamis, 09 Mei 2013
Sang Guru : Suatu refleksi dari sang murid...
Menjadi guru pada awalnya bukan suatu cita-cita. Mengapa ? Karena bapak dan ibuku adalah seorang guru. Meski boleh dibilang keluarga kami tidak hidup berkekurangan tapi hidup kami tidak berkelebihan tapi tidak lantas bisa dibilang berkecukupan karena bapak dan ibuku juga seringkali berhutang di sana-sini. Hal ini lah yang membuatku tidak ingin menjadi guru karena guru identik dengan kekurangan secara ekonomis. Tapi, mengapa sekarang bisa berprofesi sebagai guru?
Ini yang kusebut sebagai kecelakaan sejarah hidup. Akan kuceritakan mengapa ini kusebut kecelakaan sejarah, aku kuliah mengambil ilmu akuntansi murni (Fak. Ekonomi) bukan keguruan (FKIP) keputusan ini menjadi penanda bahwa aku memang tidak berniat jadi guru dan merajut kisahku sebagai guru.
Berawal setelah selesai kuliah, dengan status baru yaitu seorang pengangguran yang mencari kerja, aku pun mengirimkan banyak surat lamaran kerja ke berbagai perusahaan tapi tidak satu pun menanggapi. Dalam penantian panjang dan digumuli keputusasaan kemudian terujar kata dalam doa novenaku bahwa aku akan menerima apa pun kerja yang ditawarkan kali pertama, menjadi guru pun gak masalah daripada jadi pengangguran. Tapi, tetap pula tiada kunjung datang panggilan kerja. Lantas, almarhum ibu menasehati untuk mengikuti program akta empat. Menurut beliau, siapa tahu gak bisa kerja di perusahaan mungkin bisa kerja di sekolahan, jadi guru. Uuuhhh... yah terpaksa aku ambil juga tawaran ini tetapi bukan karena aku sudah membuka hati untuk profesi guru tapi itung-itung bisa deket dengan pacarku yang masih kuliah. Dan, aku pun mendaftar program akta 4 di UNY. Tetapi ternyata Bapa di surga berpendapat lain, sepulang mendaftar dari UNY, salah seorang teman SMPku menelepon menawarkan menjadi guru di Lampung, menggantikannya karena ia diterima jadi pegawai negeri. Singkat kata, aku mengambil tawaran itu dan aku pun lantas jadi guru.
Dalam perjalananku menjadi guru banyak kegelisahan yang bertubi-tubi menancapi hati dan pikiranku, ternyata menjadi guru tidak mudah, bukan sekedar suatu profesi untuk mengumpulkan pundi-pundi rejeki belaka, ada tanggung jawab moral di dalamnya, bahkan sangat besar. Maka tulisan ini kubuat setelah beberapa tahun dipaksa oleh nasib harus nyemplung bergelimpangan dalam keguruan. Pun, tulisan ini lahir sebagai salah satu dari buah refleksi tak henti di dalam perjalanan (belum) panjangku saat memilih profesi guru. Dan, tulisan ini terinspirasi setelah mengikuti seminar sehari “Sang Guru Sang Peziarah” yang dibawakan oleh A. Mintara Sufiyanta S. J. atau kerap disapa Romo Min. Dalam seminar tersebut, ada kalimat menarik yang terungkap oleh Romo Min yaitu “...pada awalnya kita tidak dipanggil sebagai seorang guru tetapi pertama-tama kita dipanggil sebagai seorang murid...” Sebuah kalimat sederhana tapi tak terduga dan tidak pernah disadari sebelumnya. Oleh karena itu, refleksi ini kuawali dari fase ketika menjadi seorang murid.
Masa kanak-kanakku kuhabiskan di TK dan SD Santo Yosef Lahat . Tidak ada sosok para guru yang terasa begitu spesial dan membuatku menempatkan salah satu dari mereka menjadi guru favorit selama kurun waktu dari taman kanak-kanak sampai sekolah dasar. Ada tiga alasan yang mendasarinya yaitu pertama, aku adalah salah satu dari beberapa anak yang tidak suka sekolah. Kedua, almarhum ibu selalu menasehatiku untuk lebih menyukai pelajaran dari pada gurunya. Dan ketiga , para guru-guru itu adalah anggota lingkar komunitas sosialku alias tetangga-tetanggaku jadi setiap hari kujumpai jadi bosan aku liatnya, di sekolah lihat mereka dan sepulang sekolah juga liat mereka. Meskipun tidak memiliki guru favorit, tapi ada beberapa sosok guru yang tersangkut dalam kenanganku sebagai murid.
Pertama, adalah almarhum suster Ursina C.B., beliau adalah sosok guru yang selalu hadir dalam kenanganku sebagai murid karena beliau adalah satu-satunya guru yang pernah kugigit. Berawal dari ibuku terlambat mengantarkan ke sekolah karena beliau sedang banyak tugas di sekolah dan sifat pemaluku membuat aku tidak mau masuk sekolah saat melihat teman-teman sudah berbaris rapi di depan kelas. Karena melihat aku mutung tidak mau sekolah, maka suster Ursina membopongku, aku meronta-meronta sekuat tenaga, semakin kuat pula beliau membekapku, dan senjata terakhir pun kuhunus, dengan sekuat tenaga kugigit tangannya dengan gigi geripisku. Satu kalimat yang terungkap yang masih kuingat, beliau berteriak kesakitan “woo... anakmu nyokot... “.
Kedua, adalah ibu Marjiem, lengkapnya Martina Marjiyem, beliau adalah guruku kelas satu SD, beliau sosok yang lemah lembut dalam tutur kata dan tindakan. Beliau tidak memarahi dan menghukumku saat aku membolos sekolah selama satu minggu. Begini ceritanya, bagiku sekolah merupakan beban karena setiap hari selalu ada PR dan aku malas mengerjakannya maka ketika seorang teman mengajak membolos aku pun mengiyakan. Bermula dari kejadian ini, selalu selepas ibuku mengantarkan sampai gerbang sekolah aku lalu mengendap-endap pulang ke rumah. Dan, ini menjadi kegemaran baruku. Genap satu minggu aku menjalani kegemaran baru ini, Ibu Marjiyem menemui ibuku menanyakan alasan ketidakhadiranku di sekolah. Dan sepulang kerja ibu langsung memberikan sarapan tebah, sapu lidi untuk membersihkan kasur, ke pantatku.
Ketiga, adalah pak Daud. Beliau adalah guru bahasa indonesiaku. Dua hal yang kusukai dari beliau adalah (1) beliau tidak pernah memberi PR sesudah mengajar dan (2) beliau sangat suka bercerita dengan mimik wajah dan gerak-gerik yang lucu. Itulah sosok guru yang memiliki kenangan tersendiri dan tanpa mengurangi rasa hormat kepada bapak dan ibu guruku lainnya yang sekuat tenaga dan pikiran sudah mendidikku dari taman kanak-kanak sampai sekolah dasar, kalian tetap hidup dalam kenanganku.
Ketika menginjak SMP, aku bersekolah di SMP Santo Yosef. Kuawali bersekolah disini dengan hal yang kurang menyenangkan, ibuku didiagnosis menderita kanker payudara dan harus mengalami perawatan panjang, salah satunya di Yogyakarta. Hal itu yang membuatku merasakan bersekolah di SMP Stella Duce 1 Yogyakarta meski cuma satu semester untuk menemani ibuku yang dirawat di RS Panti Rapih. Tetapi itu sekaligus jadi anugerah karena membawaku pada petualangan baru sekaligus bisa mengenali banyak orang-orang baru. Saat bersekolah di SMP Stella Duce 1, ada seorang ibu guru yang sangat sabar mengajariku bahasa jawa. Namanya lupa aku tapi wajahnya samar-samar masih kuingat. Beliau, begitu lemah lembut dan telaten, mengajariku meski aku tidak bisa-bisa. Maklumlah susah dan tidak terbiasa menggunakan bahasa jawa.
Selanjutnya, sisa waktu yang lain aku habiskan belajar kembali di SMP Santo Yosef Lahat. Semasa bersekolah di SMP Santo Yosef, tidak ada guru yang aku posisikan jadi guru favorit. Ya kalau sekedar suka sih ada satu dua tapi, ambil saja contohnya bapak Leo Supardi. Beliau mengajar agama. Aku menyukainya karena beliau senang sekali bercerita tentang petualangan di masa mudanya dan satu hal yang menyenangkan yaitu beliau jarang sekali memberiku tugas rumah alias PR. Lalu, guru selanjutnya yang aku sukai yaitu ibu Ririn, nama lengkapnya adalah Asteria Rinawati. Aku menyukainya karena wajahnya yang cantik, suaranya merdu, lemah lembut, dan sabar. Beliau adalah wali kelasku di kelas 2B sekaligus mengajar bahasa Indonesia. Oh yah, di SMP ini aku diajar oleh ayahku sendiri. Tapi, tahu tidak ? Aku tidak suka diajar oleh beliau karena beliau selalu tak mengacuhkanku bila aku menunjuk jari untuk menjawab pertanyaannya. Menyebalkan bukan.
Ah, meski begitu ada beberapa guru yang melekatkan kesan misalnya pak Bani Ismail yang bila mengajar fisika ia selalu berteriak-teriak, melucu, bahkan pura-pura berantem bila mengajar bersebelahan dengan pak Sulham, atau ibu Yeni yang bisa mengenali tulisan semua muridnya, atau ibu Lastri yang senang sekali berkata “goblok kok dipelihara...”, atau ibu Christin yang selalu menyebutkan Indonesia dengan tidak sempurna, Indonesa... ujarnya.
Sewaktu bersekolah di SMA Pangudi Luhur Van Lith, sama dengan masa SMP, aku pun tidak memiliki guru favorit. Ada beberapa guru malahan yang kurang kusukai, dan kuberi cap tebal-tebal, menyebalkan. Beliau adalah bapak Arif, A. Arif Budianto nama lengkapnya. Beliau mengajar matematika sekaligus wali kelasku di kelas 1A. Badannya tinggi besar, alisnya tebal, jika berbicara suaranya menggelegar bikin mental menjadi ciut. Dan, beliau suka betul memberi pekerjaan rumah. Padahal, saat awal-awal tinggal di asrama aku membutuhkan adaptasi luar biasa dari kebiasaan hidup di luar asrama yang semau gue berubah jadi kebiaasan hidup asrama yang serba teratur dan terjadwal. Belum lagi harus beradaptasi dengan lingkungan sosialku, teman baru dan budaya baru. Sungguh merepotkan. Ada satu lagi kesukaan dari bapak Arif yaitu berkata “Telo...” bila muridnya tidak bisa mengerjakan tugas yang diberikan.
Selanjutnya, guru yang kurang kusukai, dan juga dapat cap menyebalkan adalah bapak Wahyu, nama lengkapnya adalah A.M. Wahyu Hendranata. Hal yang menyebabkan aku kurang menyukai beliau adalah pertama, karena pilih kasih. Senang sekali pak Wahyu memberikan pertanyaan lalu menunjuk siswi yang cantik padahal aku sudah menunjuk jari tinggi sekali. Kedua, susah sekali aku memahami caranya mengajar. Emang sih aku termasuk siswa yang kurang pandai, tapi menurutku bagaimana bisa pandai dan memahami pelajaran jika gurunya tidak pandai menerangkan. Bukan berarti para guru di masa SMA ku dulu tidak menyenangkan semua. Ada pula guru yang patut diberi jempol sebut saja bapak Agung, Ibu Cosma, Bapak Ratin, dan Ibu Biyanti.
Semasa SMA ini, aku punya guru yang super cantik, aduhai pokoknya, sebut saja Ibu Roli dan Ibu Eni Sugiarni. Ada pula pak Toro yang suka melawak walau kadang harus diakui sedikit jayus tapi kami senang sekali menertawai terbahak-bahak, lumayan agar nilai geografi jadi bagus. Ada bapak Agung yang senang sekali bernyanyi lagu-lagu klasik rock seusai jam pelajaran bahasa inggris. Ada guru yang kami juluki kimpul karena tubuhnya yang pendek dan gemuk. Ada yang kami juluki si otong karena tinggi tubuhnya setengah dari rata-rata tinggi kami saat itu. Ada yang kami juluki perbakin (persatuan batuk kinclong) karena jidatnya yang licin dan mengkilap.
Ah... tapi semua itu dulu. Saat aku menjadi murid dan masih kanak-kanak. Saat aku menjadi guru, kusadari bahwa guru adalah manusia biasa yang tak luput dari kelemahan. Ternyata juga kusadari bahwa sosokku sebagai guru rupanya begitu dekat dengan sosok guru yang kurang kusukai alias menyebalkan.
Sebagai murid, aku sangat menyukai sosok guru yang lemah lembut, sabar, tidak mudah marah seperti Ibu Marjiyem, Ibu Ririn, dan guru bahasa jawaku. Seorang murid juga sangat menyukai guru yang pandai bercerita, menceritakan apa saja tentang pengalaman dan kehidupan, layaknya Bapak Daud dan Bapak Leo Supardi. Seorang murid tidaklah menyukai sosok guru yang suka marah-marah, dan menakuti murid.
Tulisan ini dibuat bukan untuk mengurangi rasa hormatku atas peran besar mereka memberikan pengetahuan padaku. Tapi, sebagai refleksi seorang guru takala jadi seorang murid.
Ini yang kusebut sebagai kecelakaan sejarah hidup. Akan kuceritakan mengapa ini kusebut kecelakaan sejarah, aku kuliah mengambil ilmu akuntansi murni (Fak. Ekonomi) bukan keguruan (FKIP) keputusan ini menjadi penanda bahwa aku memang tidak berniat jadi guru dan merajut kisahku sebagai guru.
Berawal setelah selesai kuliah, dengan status baru yaitu seorang pengangguran yang mencari kerja, aku pun mengirimkan banyak surat lamaran kerja ke berbagai perusahaan tapi tidak satu pun menanggapi. Dalam penantian panjang dan digumuli keputusasaan kemudian terujar kata dalam doa novenaku bahwa aku akan menerima apa pun kerja yang ditawarkan kali pertama, menjadi guru pun gak masalah daripada jadi pengangguran. Tapi, tetap pula tiada kunjung datang panggilan kerja. Lantas, almarhum ibu menasehati untuk mengikuti program akta empat. Menurut beliau, siapa tahu gak bisa kerja di perusahaan mungkin bisa kerja di sekolahan, jadi guru. Uuuhhh... yah terpaksa aku ambil juga tawaran ini tetapi bukan karena aku sudah membuka hati untuk profesi guru tapi itung-itung bisa deket dengan pacarku yang masih kuliah. Dan, aku pun mendaftar program akta 4 di UNY. Tetapi ternyata Bapa di surga berpendapat lain, sepulang mendaftar dari UNY, salah seorang teman SMPku menelepon menawarkan menjadi guru di Lampung, menggantikannya karena ia diterima jadi pegawai negeri. Singkat kata, aku mengambil tawaran itu dan aku pun lantas jadi guru.
Dalam perjalananku menjadi guru banyak kegelisahan yang bertubi-tubi menancapi hati dan pikiranku, ternyata menjadi guru tidak mudah, bukan sekedar suatu profesi untuk mengumpulkan pundi-pundi rejeki belaka, ada tanggung jawab moral di dalamnya, bahkan sangat besar. Maka tulisan ini kubuat setelah beberapa tahun dipaksa oleh nasib harus nyemplung bergelimpangan dalam keguruan. Pun, tulisan ini lahir sebagai salah satu dari buah refleksi tak henti di dalam perjalanan (belum) panjangku saat memilih profesi guru. Dan, tulisan ini terinspirasi setelah mengikuti seminar sehari “Sang Guru Sang Peziarah” yang dibawakan oleh A. Mintara Sufiyanta S. J. atau kerap disapa Romo Min. Dalam seminar tersebut, ada kalimat menarik yang terungkap oleh Romo Min yaitu “...pada awalnya kita tidak dipanggil sebagai seorang guru tetapi pertama-tama kita dipanggil sebagai seorang murid...” Sebuah kalimat sederhana tapi tak terduga dan tidak pernah disadari sebelumnya. Oleh karena itu, refleksi ini kuawali dari fase ketika menjadi seorang murid.
Masa kanak-kanakku kuhabiskan di TK dan SD Santo Yosef Lahat . Tidak ada sosok para guru yang terasa begitu spesial dan membuatku menempatkan salah satu dari mereka menjadi guru favorit selama kurun waktu dari taman kanak-kanak sampai sekolah dasar. Ada tiga alasan yang mendasarinya yaitu pertama, aku adalah salah satu dari beberapa anak yang tidak suka sekolah. Kedua, almarhum ibu selalu menasehatiku untuk lebih menyukai pelajaran dari pada gurunya. Dan ketiga , para guru-guru itu adalah anggota lingkar komunitas sosialku alias tetangga-tetanggaku jadi setiap hari kujumpai jadi bosan aku liatnya, di sekolah lihat mereka dan sepulang sekolah juga liat mereka. Meskipun tidak memiliki guru favorit, tapi ada beberapa sosok guru yang tersangkut dalam kenanganku sebagai murid.
Pertama, adalah almarhum suster Ursina C.B., beliau adalah sosok guru yang selalu hadir dalam kenanganku sebagai murid karena beliau adalah satu-satunya guru yang pernah kugigit. Berawal dari ibuku terlambat mengantarkan ke sekolah karena beliau sedang banyak tugas di sekolah dan sifat pemaluku membuat aku tidak mau masuk sekolah saat melihat teman-teman sudah berbaris rapi di depan kelas. Karena melihat aku mutung tidak mau sekolah, maka suster Ursina membopongku, aku meronta-meronta sekuat tenaga, semakin kuat pula beliau membekapku, dan senjata terakhir pun kuhunus, dengan sekuat tenaga kugigit tangannya dengan gigi geripisku. Satu kalimat yang terungkap yang masih kuingat, beliau berteriak kesakitan “woo... anakmu nyokot... “.
Kedua, adalah ibu Marjiem, lengkapnya Martina Marjiyem, beliau adalah guruku kelas satu SD, beliau sosok yang lemah lembut dalam tutur kata dan tindakan. Beliau tidak memarahi dan menghukumku saat aku membolos sekolah selama satu minggu. Begini ceritanya, bagiku sekolah merupakan beban karena setiap hari selalu ada PR dan aku malas mengerjakannya maka ketika seorang teman mengajak membolos aku pun mengiyakan. Bermula dari kejadian ini, selalu selepas ibuku mengantarkan sampai gerbang sekolah aku lalu mengendap-endap pulang ke rumah. Dan, ini menjadi kegemaran baruku. Genap satu minggu aku menjalani kegemaran baru ini, Ibu Marjiyem menemui ibuku menanyakan alasan ketidakhadiranku di sekolah. Dan sepulang kerja ibu langsung memberikan sarapan tebah, sapu lidi untuk membersihkan kasur, ke pantatku.
Ketiga, adalah pak Daud. Beliau adalah guru bahasa indonesiaku. Dua hal yang kusukai dari beliau adalah (1) beliau tidak pernah memberi PR sesudah mengajar dan (2) beliau sangat suka bercerita dengan mimik wajah dan gerak-gerik yang lucu. Itulah sosok guru yang memiliki kenangan tersendiri dan tanpa mengurangi rasa hormat kepada bapak dan ibu guruku lainnya yang sekuat tenaga dan pikiran sudah mendidikku dari taman kanak-kanak sampai sekolah dasar, kalian tetap hidup dalam kenanganku.
Ketika menginjak SMP, aku bersekolah di SMP Santo Yosef. Kuawali bersekolah disini dengan hal yang kurang menyenangkan, ibuku didiagnosis menderita kanker payudara dan harus mengalami perawatan panjang, salah satunya di Yogyakarta. Hal itu yang membuatku merasakan bersekolah di SMP Stella Duce 1 Yogyakarta meski cuma satu semester untuk menemani ibuku yang dirawat di RS Panti Rapih. Tetapi itu sekaligus jadi anugerah karena membawaku pada petualangan baru sekaligus bisa mengenali banyak orang-orang baru. Saat bersekolah di SMP Stella Duce 1, ada seorang ibu guru yang sangat sabar mengajariku bahasa jawa. Namanya lupa aku tapi wajahnya samar-samar masih kuingat. Beliau, begitu lemah lembut dan telaten, mengajariku meski aku tidak bisa-bisa. Maklumlah susah dan tidak terbiasa menggunakan bahasa jawa.
Selanjutnya, sisa waktu yang lain aku habiskan belajar kembali di SMP Santo Yosef Lahat. Semasa bersekolah di SMP Santo Yosef, tidak ada guru yang aku posisikan jadi guru favorit. Ya kalau sekedar suka sih ada satu dua tapi, ambil saja contohnya bapak Leo Supardi. Beliau mengajar agama. Aku menyukainya karena beliau senang sekali bercerita tentang petualangan di masa mudanya dan satu hal yang menyenangkan yaitu beliau jarang sekali memberiku tugas rumah alias PR. Lalu, guru selanjutnya yang aku sukai yaitu ibu Ririn, nama lengkapnya adalah Asteria Rinawati. Aku menyukainya karena wajahnya yang cantik, suaranya merdu, lemah lembut, dan sabar. Beliau adalah wali kelasku di kelas 2B sekaligus mengajar bahasa Indonesia. Oh yah, di SMP ini aku diajar oleh ayahku sendiri. Tapi, tahu tidak ? Aku tidak suka diajar oleh beliau karena beliau selalu tak mengacuhkanku bila aku menunjuk jari untuk menjawab pertanyaannya. Menyebalkan bukan.
Ah, meski begitu ada beberapa guru yang melekatkan kesan misalnya pak Bani Ismail yang bila mengajar fisika ia selalu berteriak-teriak, melucu, bahkan pura-pura berantem bila mengajar bersebelahan dengan pak Sulham, atau ibu Yeni yang bisa mengenali tulisan semua muridnya, atau ibu Lastri yang senang sekali berkata “goblok kok dipelihara...”, atau ibu Christin yang selalu menyebutkan Indonesia dengan tidak sempurna, Indonesa... ujarnya.
Sewaktu bersekolah di SMA Pangudi Luhur Van Lith, sama dengan masa SMP, aku pun tidak memiliki guru favorit. Ada beberapa guru malahan yang kurang kusukai, dan kuberi cap tebal-tebal, menyebalkan. Beliau adalah bapak Arif, A. Arif Budianto nama lengkapnya. Beliau mengajar matematika sekaligus wali kelasku di kelas 1A. Badannya tinggi besar, alisnya tebal, jika berbicara suaranya menggelegar bikin mental menjadi ciut. Dan, beliau suka betul memberi pekerjaan rumah. Padahal, saat awal-awal tinggal di asrama aku membutuhkan adaptasi luar biasa dari kebiasaan hidup di luar asrama yang semau gue berubah jadi kebiaasan hidup asrama yang serba teratur dan terjadwal. Belum lagi harus beradaptasi dengan lingkungan sosialku, teman baru dan budaya baru. Sungguh merepotkan. Ada satu lagi kesukaan dari bapak Arif yaitu berkata “Telo...” bila muridnya tidak bisa mengerjakan tugas yang diberikan.
Selanjutnya, guru yang kurang kusukai, dan juga dapat cap menyebalkan adalah bapak Wahyu, nama lengkapnya adalah A.M. Wahyu Hendranata. Hal yang menyebabkan aku kurang menyukai beliau adalah pertama, karena pilih kasih. Senang sekali pak Wahyu memberikan pertanyaan lalu menunjuk siswi yang cantik padahal aku sudah menunjuk jari tinggi sekali. Kedua, susah sekali aku memahami caranya mengajar. Emang sih aku termasuk siswa yang kurang pandai, tapi menurutku bagaimana bisa pandai dan memahami pelajaran jika gurunya tidak pandai menerangkan. Bukan berarti para guru di masa SMA ku dulu tidak menyenangkan semua. Ada pula guru yang patut diberi jempol sebut saja bapak Agung, Ibu Cosma, Bapak Ratin, dan Ibu Biyanti.
Semasa SMA ini, aku punya guru yang super cantik, aduhai pokoknya, sebut saja Ibu Roli dan Ibu Eni Sugiarni. Ada pula pak Toro yang suka melawak walau kadang harus diakui sedikit jayus tapi kami senang sekali menertawai terbahak-bahak, lumayan agar nilai geografi jadi bagus. Ada bapak Agung yang senang sekali bernyanyi lagu-lagu klasik rock seusai jam pelajaran bahasa inggris. Ada guru yang kami juluki kimpul karena tubuhnya yang pendek dan gemuk. Ada yang kami juluki si otong karena tinggi tubuhnya setengah dari rata-rata tinggi kami saat itu. Ada yang kami juluki perbakin (persatuan batuk kinclong) karena jidatnya yang licin dan mengkilap.
Ah... tapi semua itu dulu. Saat aku menjadi murid dan masih kanak-kanak. Saat aku menjadi guru, kusadari bahwa guru adalah manusia biasa yang tak luput dari kelemahan. Ternyata juga kusadari bahwa sosokku sebagai guru rupanya begitu dekat dengan sosok guru yang kurang kusukai alias menyebalkan.
Sebagai murid, aku sangat menyukai sosok guru yang lemah lembut, sabar, tidak mudah marah seperti Ibu Marjiyem, Ibu Ririn, dan guru bahasa jawaku. Seorang murid juga sangat menyukai guru yang pandai bercerita, menceritakan apa saja tentang pengalaman dan kehidupan, layaknya Bapak Daud dan Bapak Leo Supardi. Seorang murid tidaklah menyukai sosok guru yang suka marah-marah, dan menakuti murid.
Tulisan ini dibuat bukan untuk mengurangi rasa hormatku atas peran besar mereka memberikan pengetahuan padaku. Tapi, sebagai refleksi seorang guru takala jadi seorang murid.
Rabu, 13 Februari 2013
Arep Nulung Malah Kepentung
Barangkali ini kata pepatah lama jawa “arep nulung malah kepentung”. Kisahnya berawal dari seorang teman kerja, yang juga bibi seorang teman semasa kecilku, sebut saja Sri. Maaf, walau kisah ini beneran terjadi tapi kesamaan nama tokoh cuma fiktif belaka. Cieee... kayak sinetron aja.
Sekitar akhir februari 2012, Sri menitipkan sejumlah uang untuk ditransfer ke penerbit. Karena dilatarbelakangi ingin menolong, maka saat itu aku merelakan diri sepulang kerja dalam kondisi lelah pergi ke bank menjalankan amanat tersebut. Celakanya sesampai di bank ternyata ramai, banyak nasabah minta dilayani, maka kurelakan kedua kalinya menderita, ikut antre. Ah... selesai juga.
Keesokan harinya kuserahkan bukti transfer kepada Sri saat jumpa di tempat kerja. Selesai sudah tanggunganku. Senangnya bisa menolong orang lain.
Hari berganti hari. Bulan pun ikut berganti. Di akhir bulan Juni aku dikejutkan oleh pernyataan Sri, “wan... kata penerbit uang transfernya belum diterima”
“Loh, kan udah aku berikan bukti transfernya” ujarku.
“Iya sih tapi tercuci” keluhnya.
“waduh...!” sambutku.
“Tolong donk diprint ulang sih” pintanya.
“yah...” ucapku sambil lewat. Asem tenan nambahi kerjaan aja pikirku kemudian. Disebabkan kesibukan, yang lebih tepatnya lebih karena rasa malas untuk antre, maka aku belum menyempatkan mengabulkan permintaan untuk mengeprint ulang bukti transfer di bank. Yah... konsekuensi dari rasa malas itu adalah Sri selalu menanyakan dan selalu kujawab seadanya... Sampai pada akhirnya Sri mendatangiku lalu berkata
“aku aja yang ke bank” Aku pun menjawab ringan “ya udah...”. Keesokan harinya kuberikan buku tabunganku.
“wan kok transfernya cuma sejuta ?” tanya Sri saat ia datang ke rumahku untuk mengklarifikasi hasil print out bank.
“loh emang berapa ?” tanyaku bingung
“satu juta sembilan ratus” ujarnya
“lah... aku transfernya berapa ?” tanyaku kemudian
“cuma satu juta !” jawabnya lalu.
“Iya tah ?” tanyaku.
“nih buktinya !” ia menyodorkan buku tabunganku
“Kok bisa ?” sambil melihat buku tabunganku. Kupandangi. Kuteliti per tanggal transaksi. Bulan februari tanggal dua enam ada mutasi satu juta. Kuulang sampai beberapa kali.
“Lah emang kamu terima uang dari Sri berapa ?” tanya ayahku dari sebelah
“Waduh... terus terang aku lupa berapa rupiah. Udah empat bulan berlalu. Tapi, yang jelas semua uang yang dititipin udah aku transfer. Dan, aku dah kasih bukti transfer ke Sri. Karena gak ada komplain yah gak kuinget-inget lah jumlah duitnya” jelasku pada ayah.
“Tapi bukti transfernya tercuci” ujar Sri membela diri.
Perdebatan panjang tergelar. Alot. Aku membela diri. Sri bersikeras pada pendapatnya. Hatiku panas. Sakit hati rasanya dituduh nyelimpet duit. Sial tenan pikirku, mau nulung malah kepentung. Ayah pun segera menengahi, tapi aku rasa karena rasa jengkelnya pada Sri yang ngotot minta ganti uang, dengan mengganti uang Sri.
“Dah aku ganti aja. Besok-besok jangan sok baik hati !” ujarnya.
Aku diam. “Huh... sial... sial... Udah dituduh maling... Ganti duit lagi...” batinku.
Huh pelajaran yang mahal batinku. Pertama, jangan berjiwa so(k)sial. Jangan menawarkan bantuan pada orang yang tidak begitu dikenal. Kedua, tidak semua orang baik tapi ada pula orang jelmaan dari serigala meski berbaju tenunan bulu domba. Dan ketiga, menjadi teliti pada setiap pekerjaan, tidak meremehkan.
Sekitar akhir februari 2012, Sri menitipkan sejumlah uang untuk ditransfer ke penerbit. Karena dilatarbelakangi ingin menolong, maka saat itu aku merelakan diri sepulang kerja dalam kondisi lelah pergi ke bank menjalankan amanat tersebut. Celakanya sesampai di bank ternyata ramai, banyak nasabah minta dilayani, maka kurelakan kedua kalinya menderita, ikut antre. Ah... selesai juga.
Keesokan harinya kuserahkan bukti transfer kepada Sri saat jumpa di tempat kerja. Selesai sudah tanggunganku. Senangnya bisa menolong orang lain.
Hari berganti hari. Bulan pun ikut berganti. Di akhir bulan Juni aku dikejutkan oleh pernyataan Sri, “wan... kata penerbit uang transfernya belum diterima”
“Loh, kan udah aku berikan bukti transfernya” ujarku.
“Iya sih tapi tercuci” keluhnya.
“waduh...!” sambutku.
“Tolong donk diprint ulang sih” pintanya.
“yah...” ucapku sambil lewat. Asem tenan nambahi kerjaan aja pikirku kemudian. Disebabkan kesibukan, yang lebih tepatnya lebih karena rasa malas untuk antre, maka aku belum menyempatkan mengabulkan permintaan untuk mengeprint ulang bukti transfer di bank. Yah... konsekuensi dari rasa malas itu adalah Sri selalu menanyakan dan selalu kujawab seadanya... Sampai pada akhirnya Sri mendatangiku lalu berkata
“aku aja yang ke bank” Aku pun menjawab ringan “ya udah...”. Keesokan harinya kuberikan buku tabunganku.
“wan kok transfernya cuma sejuta ?” tanya Sri saat ia datang ke rumahku untuk mengklarifikasi hasil print out bank.
“loh emang berapa ?” tanyaku bingung
“satu juta sembilan ratus” ujarnya
“lah... aku transfernya berapa ?” tanyaku kemudian
“cuma satu juta !” jawabnya lalu.
“Iya tah ?” tanyaku.
“nih buktinya !” ia menyodorkan buku tabunganku
“Kok bisa ?” sambil melihat buku tabunganku. Kupandangi. Kuteliti per tanggal transaksi. Bulan februari tanggal dua enam ada mutasi satu juta. Kuulang sampai beberapa kali.
“Lah emang kamu terima uang dari Sri berapa ?” tanya ayahku dari sebelah
“Waduh... terus terang aku lupa berapa rupiah. Udah empat bulan berlalu. Tapi, yang jelas semua uang yang dititipin udah aku transfer. Dan, aku dah kasih bukti transfer ke Sri. Karena gak ada komplain yah gak kuinget-inget lah jumlah duitnya” jelasku pada ayah.
“Tapi bukti transfernya tercuci” ujar Sri membela diri.
Perdebatan panjang tergelar. Alot. Aku membela diri. Sri bersikeras pada pendapatnya. Hatiku panas. Sakit hati rasanya dituduh nyelimpet duit. Sial tenan pikirku, mau nulung malah kepentung. Ayah pun segera menengahi, tapi aku rasa karena rasa jengkelnya pada Sri yang ngotot minta ganti uang, dengan mengganti uang Sri.
“Dah aku ganti aja. Besok-besok jangan sok baik hati !” ujarnya.
Aku diam. “Huh... sial... sial... Udah dituduh maling... Ganti duit lagi...” batinku.
Huh pelajaran yang mahal batinku. Pertama, jangan berjiwa so(k)sial. Jangan menawarkan bantuan pada orang yang tidak begitu dikenal. Kedua, tidak semua orang baik tapi ada pula orang jelmaan dari serigala meski berbaju tenunan bulu domba. Dan ketiga, menjadi teliti pada setiap pekerjaan, tidak meremehkan.
Jumat, 08 Februari 2013
Selamat Jalan Kawan...
Untuk kawanku femi adi yang membawa perubahan besar di hidupku
Surat elektronik dari seorang kawan, yang mengabarkan bahwa Femi merupakan salah seorang korban peristiwa jatuhnya pesawat komersial sukhoi saat melakukan demonstrasi terbang, membuat galau hati. Padahal, kali pertama membentangkan dunia maya, artikel tentang daftar nama korban kecelakaan sukhoi di kompas.com menjadi pilihanku tetapi tanpa kusadari salah seorang dari empat puluh tujuh korban adalah salah seorang kawan. Seorang kawan yang meski sekejap waktu bersamanya, tetapi sungguh membawa perubahan besar dalam hidupku.
***
Karena sakit berkepanjangan memaksa ibu untuk menjalani pengobatan di Yogya, dan selanjutnya juga memaksaku. Memaksaku untuk menemaninya. Dan, memaksaku untuk memulai sebuah kisah di tempat asing. Aku rasa bukanlah sebuah kebetulan bila bapak memilih SMP Stella Duce 1 yang terletak di jalan Dagen seputar kawasan Malioboro dari sekian banyak sekolah menengah pertama di Yogyakarta. Dan, bukan juga sebuah kebetulan lagi, aku menjadi teman satu kelas femi. Di kelas 1B inilah menjadi ruang perjumpaanku kali pertama dengan Femi.
Bukan cuma terpesona karena menjadi teman sekelas salah seorang putri Sultan HB X, seorang bocah perempuan berambut kriwil dan berkacamata tebal, yang sungguh lancar bahasa Inggrisnya saat berbincang dengan guru di kelas, juga telah memesona seorang bocah kampung sepertiku. Bocah luar biasa ujarku dalam hati mengaguminya. Kekagumanku, selanjutnya, semakin bertambah kala melihatnya yang seolah tak pernah kehabisan energi. Berkegiatan mulai dari mading sampai polisi sekolah. Bocah perempuan berambut kriwil itu pun kukenali bernama femi. Fransiska Femi Adi Soempeno lengkapnya.
Aku tidak begitu ingat kapan kali pertama berbincang dengan femi. Bila tidak salah, saat aku berdiri di dekat perempatan dagen menunggu angkot yang agak lama datangnya. Femi bergegas menghampiri ketika melihatku sendirian berdiri. “Pulang ke mana ?” tanya femi. Lalu ujarku sekadarnya “jalan godean.”
“Oh, kalo begitu naik jalur 29 aja bareng aku” ujarnya lagi. Aku cuma tersenyum tapi dalam hati senang bukan kepalang mendapat teman seperjalanan. Dalam angkot, ia banyak bercerita dan bertanya apa saja. Kemungkinan, ia tertarik pada ku, bocah kampung yang berasal dari belantara Sumatera. Tak lupa, ia mengenalkan beberapa teman seperjalanan lainnya yang juga menggunakan jalur 29, seingatku ada samuel, guntur, dan bobby.
Selanjutnya, kami [aku bersama femi, samuel, guntur, dan bobby] selalu pulang bersama menaiki angkot kobutri kuning jalur 29. Femi turun di Bumijo, di depan kopertis. Sementara, aku turun di perempatan pingit untuk menyambung bus ke Jalan Godean. Kadangkala, kami makan bakso bareng-bareng terlebih dulu sebelum memulai perjalanan pulang.
Medio Juni 1993, Ibuku dinyatakan sembuh. Aku lalu pindah sekolah. Sekolah lagi di kampung. Kepindahanku ke kampung tidak menyurutkan perkawanan kami. Femi giat sekali mengirimiku surat. Hal ini karena korespondensi merupakan salah satu kegemaran Femi. Secara perinci, aku sudah tidak ingat lagi apa-apa saja yang diceritakan, tapi jelas banyak hal yang diceritakan dalam surat-suratnya. Aku pun menjadi sahabat penanya. Dan tanpa kusadari, dari berkorespondesi ini aku mulai belajar menulis.
Dalam suratnya yang ke sekian kali, Femi menceritakan sebuah sekolah di muntilan tempat kakaknya bersekolah, SMA Van Lith namanya. Ia tak lupa menyertakan juga brosur sekolah. Ia menceritakan ketertarikannya untuk bersekolah di sana. Tak lupa ia mengajakku. Lalu, aku pun mengiyakannya di surat balasanku. Dikarenakan kesibukan mempersiapkan ujian, kami memperkecil frekuensi surat-suratan. Hingga pada suatu saat setelah ujian, Femi mengirimi surat. Kali ini amplopnya lebih besar dari biasanya. Ternyata, ia mengirimkan formulir pendaftaran sekolah Van Lith yang dulu pernah diceritakannya. Berbekal formulir, informasi dan motivasi dari Femi lalu kubulatkan tekad untuk mencoba mendaftar dan mengikuti tes di SMA Van Lith.
Singkat cerita, aku lolos tes masuk. Aku bersekolah di Van Lith. Demikian juga Femi. Di sekolah Van Lith, hubungan perkawanan kami berjalan biasa saja, tidak hangat tidak pula dingin. Barangkali, karena masing-masing dari kami terlalu asyik mencicipi dunia baru, mencobai petualangan-petualangan baru, dan mengakrabi teman-teman baru. Di sekolah ini pula, aku berkenalan dengan ide-ide baru, budaya-budaya baru, dan belajar banyak hal baru lainnya. Aku berterima kasih pada Femi karena membawaku kemari. Tetapi, apa yang aku dapatkan, tidak didapatkan oleh Femi. Sekolah ini ternyata membelenggunya, tidak memerdekakan. Meminjam istilah Femi, Van Lith tidak merajut pelangi untuknya. Maka ia pergi, meninggalkan sekolah ini untuk memilih dan memulai pengalaman lain.
Kepergian Femi tidak berlalu begitu saja. Ia masih saja membawakan berkah bagiku. Di Yogyakarta, ternyata Femi bergabung menjadi salah seorang redaksi pengasuh kolom surat kabar yang menampung kreatifitas menulis kaum muda di sekitar Yogya. Ia menyemangatiku untuk menulis, apa saja, dan berjanji memuatnya. Ia tak ingkar janji. Tiga puisi yang kukirimkan dimuat dalam surat kabarnya. Wow, rasa bangga dan bercampur suka hati melihat hasil karyaku dimuat.
Semasa kuliah sangat jarang kami bertemu walau kampus kami berhadapan. Kami terlalu sibuk mengejari mimpi-mimpi kami. Apalagi, setelah aku bekerja di lampung. Perjumpaan kami hanya melalui komentar di facebook.
Boleh dibilang sungguh sebentar Femi hadir di kehidupanku. Tetapi, bukan kebetulan belaka kehadirannya. Bukan sebagai figuran dan bukan pula sebagai aktor pelengkap. Tapi ia dikirim Allah sebagai seseorang yang membawakanku formulir sekolah Van Lith, dan selanjutnya hidupku berubah...
Selamat jalan kawan...
Surat elektronik dari seorang kawan, yang mengabarkan bahwa Femi merupakan salah seorang korban peristiwa jatuhnya pesawat komersial sukhoi saat melakukan demonstrasi terbang, membuat galau hati. Padahal, kali pertama membentangkan dunia maya, artikel tentang daftar nama korban kecelakaan sukhoi di kompas.com menjadi pilihanku tetapi tanpa kusadari salah seorang dari empat puluh tujuh korban adalah salah seorang kawan. Seorang kawan yang meski sekejap waktu bersamanya, tetapi sungguh membawa perubahan besar dalam hidupku.
***
Karena sakit berkepanjangan memaksa ibu untuk menjalani pengobatan di Yogya, dan selanjutnya juga memaksaku. Memaksaku untuk menemaninya. Dan, memaksaku untuk memulai sebuah kisah di tempat asing. Aku rasa bukanlah sebuah kebetulan bila bapak memilih SMP Stella Duce 1 yang terletak di jalan Dagen seputar kawasan Malioboro dari sekian banyak sekolah menengah pertama di Yogyakarta. Dan, bukan juga sebuah kebetulan lagi, aku menjadi teman satu kelas femi. Di kelas 1B inilah menjadi ruang perjumpaanku kali pertama dengan Femi.
Bukan cuma terpesona karena menjadi teman sekelas salah seorang putri Sultan HB X, seorang bocah perempuan berambut kriwil dan berkacamata tebal, yang sungguh lancar bahasa Inggrisnya saat berbincang dengan guru di kelas, juga telah memesona seorang bocah kampung sepertiku. Bocah luar biasa ujarku dalam hati mengaguminya. Kekagumanku, selanjutnya, semakin bertambah kala melihatnya yang seolah tak pernah kehabisan energi. Berkegiatan mulai dari mading sampai polisi sekolah. Bocah perempuan berambut kriwil itu pun kukenali bernama femi. Fransiska Femi Adi Soempeno lengkapnya.
Aku tidak begitu ingat kapan kali pertama berbincang dengan femi. Bila tidak salah, saat aku berdiri di dekat perempatan dagen menunggu angkot yang agak lama datangnya. Femi bergegas menghampiri ketika melihatku sendirian berdiri. “Pulang ke mana ?” tanya femi. Lalu ujarku sekadarnya “jalan godean.”
“Oh, kalo begitu naik jalur 29 aja bareng aku” ujarnya lagi. Aku cuma tersenyum tapi dalam hati senang bukan kepalang mendapat teman seperjalanan. Dalam angkot, ia banyak bercerita dan bertanya apa saja. Kemungkinan, ia tertarik pada ku, bocah kampung yang berasal dari belantara Sumatera. Tak lupa, ia mengenalkan beberapa teman seperjalanan lainnya yang juga menggunakan jalur 29, seingatku ada samuel, guntur, dan bobby.
Selanjutnya, kami [aku bersama femi, samuel, guntur, dan bobby] selalu pulang bersama menaiki angkot kobutri kuning jalur 29. Femi turun di Bumijo, di depan kopertis. Sementara, aku turun di perempatan pingit untuk menyambung bus ke Jalan Godean. Kadangkala, kami makan bakso bareng-bareng terlebih dulu sebelum memulai perjalanan pulang.
Medio Juni 1993, Ibuku dinyatakan sembuh. Aku lalu pindah sekolah. Sekolah lagi di kampung. Kepindahanku ke kampung tidak menyurutkan perkawanan kami. Femi giat sekali mengirimiku surat. Hal ini karena korespondensi merupakan salah satu kegemaran Femi. Secara perinci, aku sudah tidak ingat lagi apa-apa saja yang diceritakan, tapi jelas banyak hal yang diceritakan dalam surat-suratnya. Aku pun menjadi sahabat penanya. Dan tanpa kusadari, dari berkorespondesi ini aku mulai belajar menulis.
Dalam suratnya yang ke sekian kali, Femi menceritakan sebuah sekolah di muntilan tempat kakaknya bersekolah, SMA Van Lith namanya. Ia tak lupa menyertakan juga brosur sekolah. Ia menceritakan ketertarikannya untuk bersekolah di sana. Tak lupa ia mengajakku. Lalu, aku pun mengiyakannya di surat balasanku. Dikarenakan kesibukan mempersiapkan ujian, kami memperkecil frekuensi surat-suratan. Hingga pada suatu saat setelah ujian, Femi mengirimi surat. Kali ini amplopnya lebih besar dari biasanya. Ternyata, ia mengirimkan formulir pendaftaran sekolah Van Lith yang dulu pernah diceritakannya. Berbekal formulir, informasi dan motivasi dari Femi lalu kubulatkan tekad untuk mencoba mendaftar dan mengikuti tes di SMA Van Lith.
Singkat cerita, aku lolos tes masuk. Aku bersekolah di Van Lith. Demikian juga Femi. Di sekolah Van Lith, hubungan perkawanan kami berjalan biasa saja, tidak hangat tidak pula dingin. Barangkali, karena masing-masing dari kami terlalu asyik mencicipi dunia baru, mencobai petualangan-petualangan baru, dan mengakrabi teman-teman baru. Di sekolah ini pula, aku berkenalan dengan ide-ide baru, budaya-budaya baru, dan belajar banyak hal baru lainnya. Aku berterima kasih pada Femi karena membawaku kemari. Tetapi, apa yang aku dapatkan, tidak didapatkan oleh Femi. Sekolah ini ternyata membelenggunya, tidak memerdekakan. Meminjam istilah Femi, Van Lith tidak merajut pelangi untuknya. Maka ia pergi, meninggalkan sekolah ini untuk memilih dan memulai pengalaman lain.
Kepergian Femi tidak berlalu begitu saja. Ia masih saja membawakan berkah bagiku. Di Yogyakarta, ternyata Femi bergabung menjadi salah seorang redaksi pengasuh kolom surat kabar yang menampung kreatifitas menulis kaum muda di sekitar Yogya. Ia menyemangatiku untuk menulis, apa saja, dan berjanji memuatnya. Ia tak ingkar janji. Tiga puisi yang kukirimkan dimuat dalam surat kabarnya. Wow, rasa bangga dan bercampur suka hati melihat hasil karyaku dimuat.
Semasa kuliah sangat jarang kami bertemu walau kampus kami berhadapan. Kami terlalu sibuk mengejari mimpi-mimpi kami. Apalagi, setelah aku bekerja di lampung. Perjumpaan kami hanya melalui komentar di facebook.
Boleh dibilang sungguh sebentar Femi hadir di kehidupanku. Tetapi, bukan kebetulan belaka kehadirannya. Bukan sebagai figuran dan bukan pula sebagai aktor pelengkap. Tapi ia dikirim Allah sebagai seseorang yang membawakanku formulir sekolah Van Lith, dan selanjutnya hidupku berubah...
Selamat jalan kawan...
Senin, 14 Januari 2013
Menikah = Cari Masalah
Saat masih kuliah di Jogja. Ada sebuah kebiasaan, yang tampaknya, mulai diritualkan di antara kami. Mendem bareng. Setelah salah seorang menerima transfer dari ortu di kampung, biasanya tanpa dikomando dan lebih pada mengandalkan insting, selepas magrib satu per satu mulai berdatangan. Lalu duduk rapi di teras kecil kos brojowikalpo. Segera setelah komplit, kesepakatan pun dibuat. Sloki pun digilir. Diskusi pun tergelar. Tanpa sambutan. Tanpa moderator.
Dalam percakapan yang sudah terlanjur tergelar panjang lebar, seseorang tiba-tiba menceritakan bahwa seorang teman yang kami kenal hendak kawin. Eh, maaf menikah... Dan, beberapa tanggapan pun bermunculan kemudian. Beberapa menanggapinya positif. Tanggapan negatif pun muncul diantaranya.
“Awake dewe arep nyumbang opo ki ?” ucapku.
“Koe nyumbang teratak wae. Lah, kowe nyumbang orgen tunggal.” Seseorang pura-pura membagi tugas.
Lalu, seseorang lagi menimpali usulnya “ lah kowe nyumbang opo dab ?”
Ia pun dengan lantang berkata, “aku nyumbang doa wae !” Dan, tawa pun berserakan di antara kami.
“Sebetulnya menikah itu podo wae mencari masalah loh...” Sebuah argumen tiba-tiba menumbuh di antara serakan tawa kami. Semua bergegas mengakhiri tawa. Lalu masing-masing memajang wajah filsufnya.
“Ngopo kowe kok iso ngomong koyo ngono dab ?” Sebuah pertanyaan sederhana namun berpotensi mengundang banyak jawab. Sang pelontar argumen diam. Semua pun diam.
Tiba-tiba seorang kawan berseloroh, “kowe kan durung duwe pacar jadi ngomonge koyo ngono” Tawa pun berserak kembali.
“Asem tenan... Ya, gak gitu !”
“Lah terus gimana ?”
“Begini, yang jelas... Sebelum menikah, kalian akan dipusingkan dengan masalah administrasi catatan sipil. Dari N1 ampe N4. Surat pengantar dari catatan sipil. Tau sendirilah kalo urusan ama kaum birokrat. Berbelit-belit. Ditambah lagi kalian katolik. Tambah pusing. Selain syarat administrasi gereja yang tidak sedikit. Beberapa tata cara gereja juga harus dijalani. Belum lagi masih harus menyelesaikan masalah pesta resepsi. Katering. Undangan. Sewa teratak. Sewa orgen tunggal. Sewa ini itu. Tetek bengek lainnya.” Semua diam. Melihat semua diam, Ia lalu bersemangat menambahi.
“Itu tadi baru masalah-masalah sebelum menikah loh... Lah, setelah menikah. Kita akan menjumpai masalah-masalah lagi. Kontrak rumah. Bayar tagihan listrik. Tagihan telepon. Istri hamil kontrol kehamilan. Setelah punya anak, mesti beli susu. Sekolah anak. Wah... pokoke tetek bengek lainnya lah. Carilah sendiri...”
Semua diam.
“Lah terus enake mbojo ki opo nek ngono ?”
“Gak eneng enake !” tegasnya.
“Ada... tapi sebentar !” sanggahku.
“Apa ? Kapan ?” tanyanya.
“Ya nek pas lagi crut... crut... crut...”
“Yo nek iso ngene !” Ucapnya sambil mengacungkan jari telunjuknya. Tawa pun berhamburan. Bahkan lebih riuh dari sebelumnya.
“Woiii... Mas... udah malem. Ketawanya jangan keras-keras.” Tiba-tiba suara pak RT menggelegar.
Suara itu memberi peringatan. Lebih tepatnya memerintahkan kami, yang tengah dilanda badai otak eh salah badai alkohol tepatnya, segera untuk bubar. Semua lalu diam. Perlahan-lahan kembali pada kesadaran masing-masing. Selanjutnya, masing-masing tanpa dikomando segera membubarkan diri.
Setelah semua pulang. Aku pun membaringkan tubuh. Terpikir lagi perbincangan tadi. Meski konyol tapi ada juga benarnya. Menikah sama aja cari masalah. Tapi masa bodohlah orang mendem bebas mau omong apa aja.
Dalam percakapan yang sudah terlanjur tergelar panjang lebar, seseorang tiba-tiba menceritakan bahwa seorang teman yang kami kenal hendak kawin. Eh, maaf menikah... Dan, beberapa tanggapan pun bermunculan kemudian. Beberapa menanggapinya positif. Tanggapan negatif pun muncul diantaranya.
“Awake dewe arep nyumbang opo ki ?” ucapku.
“Koe nyumbang teratak wae. Lah, kowe nyumbang orgen tunggal.” Seseorang pura-pura membagi tugas.
Lalu, seseorang lagi menimpali usulnya “ lah kowe nyumbang opo dab ?”
Ia pun dengan lantang berkata, “aku nyumbang doa wae !” Dan, tawa pun berserakan di antara kami.
“Sebetulnya menikah itu podo wae mencari masalah loh...” Sebuah argumen tiba-tiba menumbuh di antara serakan tawa kami. Semua bergegas mengakhiri tawa. Lalu masing-masing memajang wajah filsufnya.
“Ngopo kowe kok iso ngomong koyo ngono dab ?” Sebuah pertanyaan sederhana namun berpotensi mengundang banyak jawab. Sang pelontar argumen diam. Semua pun diam.
Tiba-tiba seorang kawan berseloroh, “kowe kan durung duwe pacar jadi ngomonge koyo ngono” Tawa pun berserak kembali.
“Asem tenan... Ya, gak gitu !”
“Lah terus gimana ?”
“Begini, yang jelas... Sebelum menikah, kalian akan dipusingkan dengan masalah administrasi catatan sipil. Dari N1 ampe N4. Surat pengantar dari catatan sipil. Tau sendirilah kalo urusan ama kaum birokrat. Berbelit-belit. Ditambah lagi kalian katolik. Tambah pusing. Selain syarat administrasi gereja yang tidak sedikit. Beberapa tata cara gereja juga harus dijalani. Belum lagi masih harus menyelesaikan masalah pesta resepsi. Katering. Undangan. Sewa teratak. Sewa orgen tunggal. Sewa ini itu. Tetek bengek lainnya.” Semua diam. Melihat semua diam, Ia lalu bersemangat menambahi.
“Itu tadi baru masalah-masalah sebelum menikah loh... Lah, setelah menikah. Kita akan menjumpai masalah-masalah lagi. Kontrak rumah. Bayar tagihan listrik. Tagihan telepon. Istri hamil kontrol kehamilan. Setelah punya anak, mesti beli susu. Sekolah anak. Wah... pokoke tetek bengek lainnya lah. Carilah sendiri...”
Semua diam.
“Lah terus enake mbojo ki opo nek ngono ?”
“Gak eneng enake !” tegasnya.
“Ada... tapi sebentar !” sanggahku.
“Apa ? Kapan ?” tanyanya.
“Ya nek pas lagi crut... crut... crut...”
“Yo nek iso ngene !” Ucapnya sambil mengacungkan jari telunjuknya. Tawa pun berhamburan. Bahkan lebih riuh dari sebelumnya.
“Woiii... Mas... udah malem. Ketawanya jangan keras-keras.” Tiba-tiba suara pak RT menggelegar.
Suara itu memberi peringatan. Lebih tepatnya memerintahkan kami, yang tengah dilanda badai otak eh salah badai alkohol tepatnya, segera untuk bubar. Semua lalu diam. Perlahan-lahan kembali pada kesadaran masing-masing. Selanjutnya, masing-masing tanpa dikomando segera membubarkan diri.
Setelah semua pulang. Aku pun membaringkan tubuh. Terpikir lagi perbincangan tadi. Meski konyol tapi ada juga benarnya. Menikah sama aja cari masalah. Tapi masa bodohlah orang mendem bebas mau omong apa aja.
Kamis, 10 Januari 2013
Filosofi Jengkol
Aku sedang asik menyantap makan siangku saat temanku, Nopi, datang berkunjung. “Buset... dikau makan jengkol yah bro ?” teriak Nopi sambil menutup hidungnya. Sambil terus bersantap, aku tersenyum. “Hari gini masih doyan jengkol !” teriaknya lagi.
“Emang kenapa ? Salah ?” lalu tanyaku.
“Gak... Gak salah ! Cuma aneh aja di jaman Milenium kayak begini masih aja doyan melahap jengkol.”jelas Nopi.
“Wuss sembarang aja kalau bicara ! Aku pernah membaca artikel di internet nih... Di Jawa Barat, rata-rata hampir satu ton jengkol habis terjual setiap harinya ! Berarti, yah tidak sedikit orang menyukai jengkol di antara banyak orang yang tidak menyukainya. Beberapa orang bisa dikelompokan sebagai penggemar. Bahkan, adapula yang sudah bisa disebut kecanduan jengkol. Bila sehari saja tidak makan jengkol, ibarat makan tanpa garam.”
“Ah... peduli amat ! Apa sih enaknya jengkol ?” ujar Nopi. Nopi berlalu dariku.
Aku menghampiri. “Bro... Jengkol tuh makanan yang hmmm... Misterius. Yah misterius ! Jengkol bisa dinikmati dengan berbagai cara. Mulai dengan melahapnya mentah-mentah sebagai lalapan hingga diolah dalam berbagai bentuk masakan antara lain bisa diolah menjadi balado jengkol, gulai jengkol, semur jengkol dan rendang jengkol. Jengkol bisa pula disajikan sebagai kudapan yakni keripik jengkol. Jengkol is the best lah pokoknya !”
Nopi memandangi aku. Lalu, ia berkata, “ emang dikau tidak tahu bro mudharatnya jengkol ?” Aku menggeleng. Lalu, katanya lagi “Aku kasih tahu yah... ada tiga dampak negatif dari melahap jengkol. Dilihat dari sudut pandang ilmu kesehatan, relasi sosial, dan ajaran agama.” Aku menatapinya saja dengan rasa ingin tahu.
“Aku akan jelaskan satu-satu yah !” ujarnya. Aku mengangguk saja.
“Bila dilihat dari sudut pandang kesehatan, melahap jengkol memiliki dua dampak negatif yakni : Pertama, bau busuk, baik berasal dari bau mulut atau air kencing yang dikeluarkan oleh pelahap jengkol. Tahu kenapa ? Hal ini dikarenakan di dalam biji jengkol mengandung asam amino dan asam amino tersebut mengandung unsur sulfur. Sulfur ini lah yang menyebabkan bau busuk. Kedua, asam jengkolat yang terkandung di dalam jengkol sukar larut pada air seni yang memiliki keasaman yang tinggi, lalu bisa menyebabkan pengkristalan pada ginjal manusia,” ujar Nopi.
“Tapi bro, jengkol berdampak positif juga loh bagi kesehatan. Ini yang pernah aku baca di internet yah... Katanya jengkol sangat dianjurkan bagi para penderita anemia karena mengandung zat besi. Lalu, jengkol juga sangat baik bagi kesehatan tulang dan gigi karena mengandung kalsium. Lalu, selain itu jengkol juga kaya akan vitamin, protein, dan karbohidrat.” Ujarku bersemangat membela jengkol.
Nopi tergelak-gelak mendengar pembelaanku. “ Mas bro... penjelasanku tadi baru dari sudut pandang ilmu kesehatan belum yang lain. Sekarang aku jelaskan mudarat melahap jengkol bila dilihat dari sudut pandang relasi sosial. Bau busuk. Yah, bau busuk yang berasal dari bau mulut atau air kencing yang dikeluarkan oleh pelahap jengkol sangat mengganggu orang lain, terutama orang lain yang tidak ikut menyantap jengkol. Karena menimbulkan bau busuk, maka jengkol dipandang sebagai makanan kelas bawah. Bukan makanan mewah milik kelas atas. Image yang biasanya terbangun saat menyantap jengkol adalah tukang becak, warung tegal dan WC umum di pasar tradisional. Bukan eksekutif muda yang tengah lunch di resto mall.” Tampak semangat sekali ia menjelaskan padaku. Aku cuma mendengarkan.
“Sekarang, bila dilihat dari sudut pandang ajaran agama,” ia meneruskan argumennya untuk menyerang kegemaranku melahap jengkol. Lalu katanya, “di dalam ajaran agama islam, dikenal istilah makruh. Makruh merupakan suatu perbuatan yang apabila dilakukan akan dibenci oleh Allah, dan apabila ditinggalkan mendapat pahala. Melahap jengkol bisa digolongkan dalam perbuatan makruh.”
“Mengapa konsumsi jengkol termasuk perbuatan makruh ?” lalu tanyaku.
“Alasannya karena bau busuk yang dikeluarkan paska melahap jengkol sangat menggangu orang lain terutama orang lain yang tidak ikut melahapnya.” Jawabnya singkat. Aku manggut-manggut sambil mengelus janggut.
“Weee... pintar dirimu mas bro,” pujiku. Nopi tersipu. “Masih mau makan jengkol ?” tanya Nopi kemudian.
Aku mengangguk. “Ada banyak alasan bagiku untuk tetap melahap jengkol meski tidak sedikit mudarat dari melahap jengkol,” jawabku penuh keyakinan. Nopi terbelalak. “Ciyus...?” tanyanya.
“Sekarang giliranku menjelaskan !” lalu ujarku. “ Begini bro... citra, rasa, dan sensasi daging buah jengkol mirip dengan daging hewani. Jengkol bisa dijadikan sebagai daging tiruan. Jengkol bisa jadi panganan alternatif saat harga daging sapi mahal. Jengkol baik dijadikan strategi ketahanan pangan bagi bangsa kita bro !”
“Selanjutnya, jengkol merupakan bentuk perlawanan. Apa yang dilawan ? Yang dilawan adalah image bahwa jengkol sebagai makanan kelas bawah. Bukan makanan mewah. Tidak bergengsi. Tidak layak disantap oleh masyarakat terhormat. Orang gengsi melahap jengkol padahal enak. Aku pernah mendengar cerita dari seorang pedagang kerupuk jengkol di Riau bahwa pernah seorang turis dari Australia dan Korea memborong kerupuk jengkol untuk dibawa pulang ke negaranya. Jadi, kenapa kita harus malu ?”
“Di dalam jengkol terkandung nilai kejujuran. Orang yang usai melahap sate kambing, ayam bakar, atau tongseng kambing bisa saja berbohong mengatakan bahwa dirinya tidak melahap sate kambing, ayam bakar, atau tongseng kambing. Tapi, bila seseorang usai melahap jengkol, ia tidak bisa berbohong karena bau mulut dan bau air kencingnya bisa jadi bukti autentik. Jadi, jengkol merupakan manifestasi dari nilai kejujuran.”
“Melahap jengkol berarti belajar menghargai bro... Menghargai siapa ? Pertama, menghargai Tuhan. Semua yang diciptakan oleh Tuhan pasti baik, bermanfaat. Jadi melahap jengkol sama halnya kita menghargai ciptaan Tuhan. Kedua, menghargai diri sendiri.Dengan cara makan secukupnya. Tidak melahap jengkol berlebihan agar tidak membahayakan kesehatan diri sendiri. Ketiga, menghargai orang lain. Tidak buang air kecil sembarang tempat atau membilas bersih kloset sesudah memakainya sebagai bentuk menghargai orang lain terutama orang yang tidak ikut melahap jengkol.”
“Yah... bila engkau menganggap tidak melahap jengkol itu sebuah kebenaran bagi dirimu bukan berarti kesalahan dong bila orang lain melahap jengkol” ujarku penghabisan.
* Dimuat dalam tabloid sekolah TARA edisi 08/Thn V Januari 2013
“Emang kenapa ? Salah ?” lalu tanyaku.
“Gak... Gak salah ! Cuma aneh aja di jaman Milenium kayak begini masih aja doyan melahap jengkol.”jelas Nopi.
“Wuss sembarang aja kalau bicara ! Aku pernah membaca artikel di internet nih... Di Jawa Barat, rata-rata hampir satu ton jengkol habis terjual setiap harinya ! Berarti, yah tidak sedikit orang menyukai jengkol di antara banyak orang yang tidak menyukainya. Beberapa orang bisa dikelompokan sebagai penggemar. Bahkan, adapula yang sudah bisa disebut kecanduan jengkol. Bila sehari saja tidak makan jengkol, ibarat makan tanpa garam.”
“Ah... peduli amat ! Apa sih enaknya jengkol ?” ujar Nopi. Nopi berlalu dariku.
Aku menghampiri. “Bro... Jengkol tuh makanan yang hmmm... Misterius. Yah misterius ! Jengkol bisa dinikmati dengan berbagai cara. Mulai dengan melahapnya mentah-mentah sebagai lalapan hingga diolah dalam berbagai bentuk masakan antara lain bisa diolah menjadi balado jengkol, gulai jengkol, semur jengkol dan rendang jengkol. Jengkol bisa pula disajikan sebagai kudapan yakni keripik jengkol. Jengkol is the best lah pokoknya !”
Nopi memandangi aku. Lalu, ia berkata, “ emang dikau tidak tahu bro mudharatnya jengkol ?” Aku menggeleng. Lalu, katanya lagi “Aku kasih tahu yah... ada tiga dampak negatif dari melahap jengkol. Dilihat dari sudut pandang ilmu kesehatan, relasi sosial, dan ajaran agama.” Aku menatapinya saja dengan rasa ingin tahu.
“Aku akan jelaskan satu-satu yah !” ujarnya. Aku mengangguk saja.
“Bila dilihat dari sudut pandang kesehatan, melahap jengkol memiliki dua dampak negatif yakni : Pertama, bau busuk, baik berasal dari bau mulut atau air kencing yang dikeluarkan oleh pelahap jengkol. Tahu kenapa ? Hal ini dikarenakan di dalam biji jengkol mengandung asam amino dan asam amino tersebut mengandung unsur sulfur. Sulfur ini lah yang menyebabkan bau busuk. Kedua, asam jengkolat yang terkandung di dalam jengkol sukar larut pada air seni yang memiliki keasaman yang tinggi, lalu bisa menyebabkan pengkristalan pada ginjal manusia,” ujar Nopi.
“Tapi bro, jengkol berdampak positif juga loh bagi kesehatan. Ini yang pernah aku baca di internet yah... Katanya jengkol sangat dianjurkan bagi para penderita anemia karena mengandung zat besi. Lalu, jengkol juga sangat baik bagi kesehatan tulang dan gigi karena mengandung kalsium. Lalu, selain itu jengkol juga kaya akan vitamin, protein, dan karbohidrat.” Ujarku bersemangat membela jengkol.
Nopi tergelak-gelak mendengar pembelaanku. “ Mas bro... penjelasanku tadi baru dari sudut pandang ilmu kesehatan belum yang lain. Sekarang aku jelaskan mudarat melahap jengkol bila dilihat dari sudut pandang relasi sosial. Bau busuk. Yah, bau busuk yang berasal dari bau mulut atau air kencing yang dikeluarkan oleh pelahap jengkol sangat mengganggu orang lain, terutama orang lain yang tidak ikut menyantap jengkol. Karena menimbulkan bau busuk, maka jengkol dipandang sebagai makanan kelas bawah. Bukan makanan mewah milik kelas atas. Image yang biasanya terbangun saat menyantap jengkol adalah tukang becak, warung tegal dan WC umum di pasar tradisional. Bukan eksekutif muda yang tengah lunch di resto mall.” Tampak semangat sekali ia menjelaskan padaku. Aku cuma mendengarkan.
“Sekarang, bila dilihat dari sudut pandang ajaran agama,” ia meneruskan argumennya untuk menyerang kegemaranku melahap jengkol. Lalu katanya, “di dalam ajaran agama islam, dikenal istilah makruh. Makruh merupakan suatu perbuatan yang apabila dilakukan akan dibenci oleh Allah, dan apabila ditinggalkan mendapat pahala. Melahap jengkol bisa digolongkan dalam perbuatan makruh.”
“Mengapa konsumsi jengkol termasuk perbuatan makruh ?” lalu tanyaku.
“Alasannya karena bau busuk yang dikeluarkan paska melahap jengkol sangat menggangu orang lain terutama orang lain yang tidak ikut melahapnya.” Jawabnya singkat. Aku manggut-manggut sambil mengelus janggut.
“Weee... pintar dirimu mas bro,” pujiku. Nopi tersipu. “Masih mau makan jengkol ?” tanya Nopi kemudian.
Aku mengangguk. “Ada banyak alasan bagiku untuk tetap melahap jengkol meski tidak sedikit mudarat dari melahap jengkol,” jawabku penuh keyakinan. Nopi terbelalak. “Ciyus...?” tanyanya.
“Sekarang giliranku menjelaskan !” lalu ujarku. “ Begini bro... citra, rasa, dan sensasi daging buah jengkol mirip dengan daging hewani. Jengkol bisa dijadikan sebagai daging tiruan. Jengkol bisa jadi panganan alternatif saat harga daging sapi mahal. Jengkol baik dijadikan strategi ketahanan pangan bagi bangsa kita bro !”
“Selanjutnya, jengkol merupakan bentuk perlawanan. Apa yang dilawan ? Yang dilawan adalah image bahwa jengkol sebagai makanan kelas bawah. Bukan makanan mewah. Tidak bergengsi. Tidak layak disantap oleh masyarakat terhormat. Orang gengsi melahap jengkol padahal enak. Aku pernah mendengar cerita dari seorang pedagang kerupuk jengkol di Riau bahwa pernah seorang turis dari Australia dan Korea memborong kerupuk jengkol untuk dibawa pulang ke negaranya. Jadi, kenapa kita harus malu ?”
“Di dalam jengkol terkandung nilai kejujuran. Orang yang usai melahap sate kambing, ayam bakar, atau tongseng kambing bisa saja berbohong mengatakan bahwa dirinya tidak melahap sate kambing, ayam bakar, atau tongseng kambing. Tapi, bila seseorang usai melahap jengkol, ia tidak bisa berbohong karena bau mulut dan bau air kencingnya bisa jadi bukti autentik. Jadi, jengkol merupakan manifestasi dari nilai kejujuran.”
“Melahap jengkol berarti belajar menghargai bro... Menghargai siapa ? Pertama, menghargai Tuhan. Semua yang diciptakan oleh Tuhan pasti baik, bermanfaat. Jadi melahap jengkol sama halnya kita menghargai ciptaan Tuhan. Kedua, menghargai diri sendiri.Dengan cara makan secukupnya. Tidak melahap jengkol berlebihan agar tidak membahayakan kesehatan diri sendiri. Ketiga, menghargai orang lain. Tidak buang air kecil sembarang tempat atau membilas bersih kloset sesudah memakainya sebagai bentuk menghargai orang lain terutama orang yang tidak ikut melahap jengkol.”
“Yah... bila engkau menganggap tidak melahap jengkol itu sebuah kebenaran bagi dirimu bukan berarti kesalahan dong bila orang lain melahap jengkol” ujarku penghabisan.
* Dimuat dalam tabloid sekolah TARA edisi 08/Thn V Januari 2013
Selasa, 08 Januari 2013
Perjumpaan
Aku harus kembali ke kota ini. Dan, harus bertemu dengan teman-temanku. Bertemu untuk menyampaikan kabar. Kabar tentang aku. Berbekal ingatan, kulacak keberadaan mereka satu persatu. Bersangu segepok memori indah tentang mereka, kuberanjak segera.
Ternyata, satu tahun bukan waktu yang lama. Kehangatan. Dan, cinta masih mereka simpan cukup banyak untuk dibagikan kembali padaku. Tapi, satu tahun bukan pula waktu yang sebentar untuk tidak membuat mereka berubah. Tidak lagi sama seperti terakhir kujumpai.
Mbak okti, tubuhnya melangsing sungguh. Tambah cantik. Seksi. Tidak salah pikirku bila dulu dia bercerita bahwa dirinya pernah menjadi sekretaris di sebuah bank. “diriku setiap hari ikut senam bos,”pengakuannya padaku ditengah obrolan. Aku menelan ludah lalu tersenyum. Selain tidak tahu mesti bilang apa, tiada habis kumengagumi bodi aduhainya.
Nopi, terakhir kami berjumpa saat kursus pernikahan. Saat itu ia hendak menikah tanpa pekerjaan. Konyol. Tapi, sang pacar sudah berbadan dua. Mau tidak mau. Sekarang dia nyatpam di rumah sakit Immanuel. He..He... gak kebayang ada satpam kurus kering begitu... satpamkan biasanya badannya gempal. Tapi daripada gak makan. Mau apa...? di akhir waktuku di kota ini, kukunjungi ia sekali lagi. Kembali berbeda, ia sekarang telah menjadi ayah. Ayah dari jabang bayi kecil yang ia namai exel. Sesuai nama salah seorang personil band favoritnya, Guns n Roses.
Mas wahyu. Wah mentereng sekarang kerja dia. Kepala bagian personalia di BPK Penabur Bandarlampung. Walau tidak jarang dalam pembicaraan terungkap rasa tidak puas atas apa yang terjadi di tempat kerja. Dari dulu bahkan. Tapi, sampai saat ini tetap saja dia bercokol di sana. Yah, maklumlah, tidak punya pilihan, sebagai kepala keluarga tidak bisa seenaknya dia bisa cucuk cabut kerja. Jadi kerasan atau tidak yah tetep harus kerja.
Pak alfon. Kabar kurang sedap tentangnya kali pertama kudengar dari mas wahyu, dalam perbincangan di rumah nopi. Tentang pak alfon yang tidak lagi bekerja di SMK BPK Penabur. Aku terkejut. Tapi, bukan karena dia tidak lagi bekerja, aku sudah pernah mendengar keluhannya tentang pekerjaannya. Hal yang membuat terkejut adalah cara dia keluar kerja. Ditendang. Bagai anjing buduk yang tak berguna lagi bagi sang tuan. Aih coba saja ia dulu menuruti nasehatku untuk keluar. Lebih terhormat. Ah... tak mengapa mungkin ini jalan hidupnya. Aku menemuinya, sesuai saran istrinya, di depan pintu gerbang perumahan bukit kencana saat ia sedang menggoreng mendoan. Pak alfon memelukku sangat erat segera setelah tahu yang datang aku. Tidak pernah aku dipeluk seerat ini oleh temanku. Mungkin dalam bawah sadarnya ia hendak berbagi kisahnya. Ia masih seperti dulu. Hangat. Selengekan. Penuh semangat. Tapi sumarah. Seorang lelaki dan suami yang hebat. Kami lalu bercerita panjang lebar tentang semua peristiwa yang tidak bisa kami lewati bersama.
Perjumpaan berbuntut perpisahan. Perpisahan awal dari perjumpaan. Perpisahan menyisakan cerita. Cerita yang akan jadi menghangatkan perjumpaan kembali.
Ternyata, satu tahun bukan waktu yang lama. Kehangatan. Dan, cinta masih mereka simpan cukup banyak untuk dibagikan kembali padaku. Tapi, satu tahun bukan pula waktu yang sebentar untuk tidak membuat mereka berubah. Tidak lagi sama seperti terakhir kujumpai.
Mbak okti, tubuhnya melangsing sungguh. Tambah cantik. Seksi. Tidak salah pikirku bila dulu dia bercerita bahwa dirinya pernah menjadi sekretaris di sebuah bank. “diriku setiap hari ikut senam bos,”pengakuannya padaku ditengah obrolan. Aku menelan ludah lalu tersenyum. Selain tidak tahu mesti bilang apa, tiada habis kumengagumi bodi aduhainya.
Nopi, terakhir kami berjumpa saat kursus pernikahan. Saat itu ia hendak menikah tanpa pekerjaan. Konyol. Tapi, sang pacar sudah berbadan dua. Mau tidak mau. Sekarang dia nyatpam di rumah sakit Immanuel. He..He... gak kebayang ada satpam kurus kering begitu... satpamkan biasanya badannya gempal. Tapi daripada gak makan. Mau apa...? di akhir waktuku di kota ini, kukunjungi ia sekali lagi. Kembali berbeda, ia sekarang telah menjadi ayah. Ayah dari jabang bayi kecil yang ia namai exel. Sesuai nama salah seorang personil band favoritnya, Guns n Roses.
Mas wahyu. Wah mentereng sekarang kerja dia. Kepala bagian personalia di BPK Penabur Bandarlampung. Walau tidak jarang dalam pembicaraan terungkap rasa tidak puas atas apa yang terjadi di tempat kerja. Dari dulu bahkan. Tapi, sampai saat ini tetap saja dia bercokol di sana. Yah, maklumlah, tidak punya pilihan, sebagai kepala keluarga tidak bisa seenaknya dia bisa cucuk cabut kerja. Jadi kerasan atau tidak yah tetep harus kerja.
Pak alfon. Kabar kurang sedap tentangnya kali pertama kudengar dari mas wahyu, dalam perbincangan di rumah nopi. Tentang pak alfon yang tidak lagi bekerja di SMK BPK Penabur. Aku terkejut. Tapi, bukan karena dia tidak lagi bekerja, aku sudah pernah mendengar keluhannya tentang pekerjaannya. Hal yang membuat terkejut adalah cara dia keluar kerja. Ditendang. Bagai anjing buduk yang tak berguna lagi bagi sang tuan. Aih coba saja ia dulu menuruti nasehatku untuk keluar. Lebih terhormat. Ah... tak mengapa mungkin ini jalan hidupnya. Aku menemuinya, sesuai saran istrinya, di depan pintu gerbang perumahan bukit kencana saat ia sedang menggoreng mendoan. Pak alfon memelukku sangat erat segera setelah tahu yang datang aku. Tidak pernah aku dipeluk seerat ini oleh temanku. Mungkin dalam bawah sadarnya ia hendak berbagi kisahnya. Ia masih seperti dulu. Hangat. Selengekan. Penuh semangat. Tapi sumarah. Seorang lelaki dan suami yang hebat. Kami lalu bercerita panjang lebar tentang semua peristiwa yang tidak bisa kami lewati bersama.
Perjumpaan berbuntut perpisahan. Perpisahan awal dari perjumpaan. Perpisahan menyisakan cerita. Cerita yang akan jadi menghangatkan perjumpaan kembali.
Langganan:
Postingan (Atom)