Saat masih kuliah di Jogja. Ada sebuah kebiasaan, yang tampaknya, mulai diritualkan di antara kami. Mendem bareng. Setelah salah seorang menerima transfer dari ortu di kampung, biasanya tanpa dikomando dan lebih pada mengandalkan insting, selepas magrib satu per satu mulai berdatangan. Lalu duduk rapi di teras kecil kos brojowikalpo. Segera setelah komplit, kesepakatan pun dibuat. Sloki pun digilir. Diskusi pun tergelar. Tanpa sambutan. Tanpa moderator.
Dalam percakapan yang sudah terlanjur tergelar panjang lebar, seseorang tiba-tiba menceritakan bahwa seorang teman yang kami kenal hendak kawin. Eh, maaf menikah... Dan, beberapa tanggapan pun bermunculan kemudian. Beberapa menanggapinya positif. Tanggapan negatif pun muncul diantaranya.
“Awake dewe arep nyumbang opo ki ?” ucapku.
“Koe nyumbang teratak wae. Lah, kowe nyumbang orgen tunggal.” Seseorang pura-pura membagi tugas.
Lalu, seseorang lagi menimpali usulnya “ lah kowe nyumbang opo dab ?”
Ia pun dengan lantang berkata, “aku nyumbang doa wae !” Dan, tawa pun berserakan di antara kami.
“Sebetulnya menikah itu podo wae mencari masalah loh...” Sebuah argumen tiba-tiba menumbuh di antara serakan tawa kami. Semua bergegas mengakhiri tawa. Lalu masing-masing memajang wajah filsufnya.
“Ngopo kowe kok iso ngomong koyo ngono dab ?” Sebuah pertanyaan sederhana namun berpotensi mengundang banyak jawab. Sang pelontar argumen diam. Semua pun diam.
Tiba-tiba seorang kawan berseloroh, “kowe kan durung duwe pacar jadi ngomonge koyo ngono” Tawa pun berserak kembali.
“Asem tenan... Ya, gak gitu !”
“Lah terus gimana ?”
“Begini, yang jelas... Sebelum menikah, kalian akan dipusingkan dengan masalah administrasi catatan sipil. Dari N1 ampe N4. Surat pengantar dari catatan sipil. Tau sendirilah kalo urusan ama kaum birokrat. Berbelit-belit. Ditambah lagi kalian katolik. Tambah pusing. Selain syarat administrasi gereja yang tidak sedikit. Beberapa tata cara gereja juga harus dijalani. Belum lagi masih harus menyelesaikan masalah pesta resepsi. Katering. Undangan. Sewa teratak. Sewa orgen tunggal. Sewa ini itu. Tetek bengek lainnya.” Semua diam. Melihat semua diam, Ia lalu bersemangat menambahi.
“Itu tadi baru masalah-masalah sebelum menikah loh... Lah, setelah menikah. Kita akan menjumpai masalah-masalah lagi. Kontrak rumah. Bayar tagihan listrik. Tagihan telepon. Istri hamil kontrol kehamilan. Setelah punya anak, mesti beli susu. Sekolah anak. Wah... pokoke tetek bengek lainnya lah. Carilah sendiri...”
Semua diam.
“Lah terus enake mbojo ki opo nek ngono ?”
“Gak eneng enake !” tegasnya.
“Ada... tapi sebentar !” sanggahku.
“Apa ? Kapan ?” tanyanya.
“Ya nek pas lagi crut... crut... crut...”
“Yo nek iso ngene !” Ucapnya sambil mengacungkan jari telunjuknya. Tawa pun berhamburan. Bahkan lebih riuh dari sebelumnya.
“Woiii... Mas... udah malem. Ketawanya jangan keras-keras.” Tiba-tiba suara pak RT menggelegar.
Suara itu memberi peringatan. Lebih tepatnya memerintahkan kami, yang tengah dilanda badai otak eh salah badai alkohol tepatnya, segera untuk bubar. Semua lalu diam. Perlahan-lahan kembali pada kesadaran masing-masing. Selanjutnya, masing-masing tanpa dikomando segera membubarkan diri.
Setelah semua pulang. Aku pun membaringkan tubuh. Terpikir lagi perbincangan tadi. Meski konyol tapi ada juga benarnya. Menikah sama aja cari masalah. Tapi masa bodohlah orang mendem bebas mau omong apa aja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar