Aku sedang asik menyantap makan siangku saat temanku, Nopi, datang berkunjung. “Buset... dikau makan jengkol yah bro ?” teriak Nopi sambil menutup hidungnya. Sambil terus bersantap, aku tersenyum. “Hari gini masih doyan jengkol !” teriaknya lagi.
“Emang kenapa ? Salah ?” lalu tanyaku.
“Gak... Gak salah ! Cuma aneh aja di jaman Milenium kayak begini masih aja doyan melahap jengkol.”jelas Nopi.
“Wuss sembarang aja kalau bicara ! Aku pernah membaca artikel di internet nih... Di Jawa Barat, rata-rata hampir satu ton jengkol habis terjual setiap harinya ! Berarti, yah tidak sedikit orang menyukai jengkol di antara banyak orang yang tidak menyukainya. Beberapa orang bisa dikelompokan sebagai penggemar. Bahkan, adapula yang sudah bisa disebut kecanduan jengkol. Bila sehari saja tidak makan jengkol, ibarat makan tanpa garam.”
“Ah... peduli amat ! Apa sih enaknya jengkol ?” ujar Nopi. Nopi berlalu dariku.
Aku menghampiri. “Bro... Jengkol tuh makanan yang hmmm... Misterius. Yah misterius ! Jengkol bisa dinikmati dengan berbagai cara. Mulai dengan melahapnya mentah-mentah sebagai lalapan hingga diolah dalam berbagai bentuk masakan antara lain bisa diolah menjadi balado jengkol, gulai jengkol, semur jengkol dan rendang jengkol. Jengkol bisa pula disajikan sebagai kudapan yakni keripik jengkol. Jengkol is the best lah pokoknya !”
Nopi memandangi aku. Lalu, ia berkata, “ emang dikau tidak tahu bro mudharatnya jengkol ?” Aku menggeleng. Lalu, katanya lagi “Aku kasih tahu yah... ada tiga dampak negatif dari melahap jengkol. Dilihat dari sudut pandang ilmu kesehatan, relasi sosial, dan ajaran agama.” Aku menatapinya saja dengan rasa ingin tahu.
“Aku akan jelaskan satu-satu yah !” ujarnya. Aku mengangguk saja.
“Bila dilihat dari sudut pandang kesehatan, melahap jengkol memiliki dua dampak negatif yakni : Pertama, bau busuk, baik berasal dari bau mulut atau air kencing yang dikeluarkan oleh pelahap jengkol. Tahu kenapa ? Hal ini dikarenakan di dalam biji jengkol mengandung asam amino dan asam amino tersebut mengandung unsur sulfur. Sulfur ini lah yang menyebabkan bau busuk. Kedua, asam jengkolat yang terkandung di dalam jengkol sukar larut pada air seni yang memiliki keasaman yang tinggi, lalu bisa menyebabkan pengkristalan pada ginjal manusia,” ujar Nopi.
“Tapi bro, jengkol berdampak positif juga loh bagi kesehatan. Ini yang pernah aku baca di internet yah... Katanya jengkol sangat dianjurkan bagi para penderita anemia karena mengandung zat besi. Lalu, jengkol juga sangat baik bagi kesehatan tulang dan gigi karena mengandung kalsium. Lalu, selain itu jengkol juga kaya akan vitamin, protein, dan karbohidrat.” Ujarku bersemangat membela jengkol.
Nopi tergelak-gelak mendengar pembelaanku. “ Mas bro... penjelasanku tadi baru dari sudut pandang ilmu kesehatan belum yang lain. Sekarang aku jelaskan mudarat melahap jengkol bila dilihat dari sudut pandang relasi sosial. Bau busuk. Yah, bau busuk yang berasal dari bau mulut atau air kencing yang dikeluarkan oleh pelahap jengkol sangat mengganggu orang lain, terutama orang lain yang tidak ikut menyantap jengkol. Karena menimbulkan bau busuk, maka jengkol dipandang sebagai makanan kelas bawah. Bukan makanan mewah milik kelas atas. Image yang biasanya terbangun saat menyantap jengkol adalah tukang becak, warung tegal dan WC umum di pasar tradisional. Bukan eksekutif muda yang tengah lunch di resto mall.” Tampak semangat sekali ia menjelaskan padaku. Aku cuma mendengarkan.
“Sekarang, bila dilihat dari sudut pandang ajaran agama,” ia meneruskan argumennya untuk menyerang kegemaranku melahap jengkol. Lalu katanya, “di dalam ajaran agama islam, dikenal istilah makruh. Makruh merupakan suatu perbuatan yang apabila dilakukan akan dibenci oleh Allah, dan apabila ditinggalkan mendapat pahala. Melahap jengkol bisa digolongkan dalam perbuatan makruh.”
“Mengapa konsumsi jengkol termasuk perbuatan makruh ?” lalu tanyaku.
“Alasannya karena bau busuk yang dikeluarkan paska melahap jengkol sangat menggangu orang lain terutama orang lain yang tidak ikut melahapnya.” Jawabnya singkat. Aku manggut-manggut sambil mengelus janggut.
“Weee... pintar dirimu mas bro,” pujiku. Nopi tersipu. “Masih mau makan jengkol ?” tanya Nopi kemudian.
Aku mengangguk. “Ada banyak alasan bagiku untuk tetap melahap jengkol meski tidak sedikit mudarat dari melahap jengkol,” jawabku penuh keyakinan. Nopi terbelalak. “Ciyus...?” tanyanya.
“Sekarang giliranku menjelaskan !” lalu ujarku. “ Begini bro... citra, rasa, dan sensasi daging buah jengkol mirip dengan daging hewani. Jengkol bisa dijadikan sebagai daging tiruan. Jengkol bisa jadi panganan alternatif saat harga daging sapi mahal. Jengkol baik dijadikan strategi ketahanan pangan bagi bangsa kita bro !”
“Selanjutnya, jengkol merupakan bentuk perlawanan. Apa yang dilawan ? Yang dilawan adalah image bahwa jengkol sebagai makanan kelas bawah. Bukan makanan mewah. Tidak bergengsi. Tidak layak disantap oleh masyarakat terhormat. Orang gengsi melahap jengkol padahal enak. Aku pernah mendengar cerita dari seorang pedagang kerupuk jengkol di Riau bahwa pernah seorang turis dari Australia dan Korea memborong kerupuk jengkol untuk dibawa pulang ke negaranya. Jadi, kenapa kita harus malu ?”
“Di dalam jengkol terkandung nilai kejujuran. Orang yang usai melahap sate kambing, ayam bakar, atau tongseng kambing bisa saja berbohong mengatakan bahwa dirinya tidak melahap sate kambing, ayam bakar, atau tongseng kambing. Tapi, bila seseorang usai melahap jengkol, ia tidak bisa berbohong karena bau mulut dan bau air kencingnya bisa jadi bukti autentik. Jadi, jengkol merupakan manifestasi dari nilai kejujuran.”
“Melahap jengkol berarti belajar menghargai bro... Menghargai siapa ? Pertama, menghargai Tuhan. Semua yang diciptakan oleh Tuhan pasti baik, bermanfaat. Jadi melahap jengkol sama halnya kita menghargai ciptaan Tuhan. Kedua, menghargai diri sendiri.Dengan cara makan secukupnya. Tidak melahap jengkol berlebihan agar tidak membahayakan kesehatan diri sendiri. Ketiga, menghargai orang lain. Tidak buang air kecil sembarang tempat atau membilas bersih kloset sesudah memakainya sebagai bentuk menghargai orang lain terutama orang yang tidak ikut melahap jengkol.”
“Yah... bila engkau menganggap tidak melahap jengkol itu sebuah kebenaran bagi dirimu bukan berarti kesalahan dong bila orang lain melahap jengkol” ujarku penghabisan.
*
Dimuat dalam tabloid sekolah TARA edisi 08/Thn V Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar