Untuk kawanku femi adi yang membawa perubahan besar di hidupku
Surat elektronik dari seorang kawan, yang mengabarkan bahwa Femi merupakan salah seorang korban peristiwa jatuhnya pesawat komersial sukhoi saat melakukan demonstrasi terbang, membuat galau hati. Padahal, kali pertama membentangkan dunia maya, artikel tentang daftar nama korban kecelakaan sukhoi di kompas.com menjadi pilihanku tetapi tanpa kusadari salah seorang dari empat puluh tujuh korban adalah salah seorang kawan. Seorang kawan yang meski sekejap waktu bersamanya, tetapi sungguh membawa perubahan besar dalam hidupku.
***
Karena sakit berkepanjangan memaksa ibu untuk menjalani pengobatan di Yogya, dan selanjutnya juga memaksaku. Memaksaku untuk menemaninya. Dan, memaksaku untuk memulai sebuah kisah di tempat asing. Aku rasa bukanlah sebuah kebetulan bila bapak memilih SMP Stella Duce 1 yang terletak di jalan Dagen seputar kawasan Malioboro dari sekian banyak sekolah menengah pertama di Yogyakarta. Dan, bukan juga sebuah kebetulan lagi, aku menjadi teman satu kelas femi. Di kelas 1B inilah menjadi ruang perjumpaanku kali pertama dengan Femi.
Bukan cuma terpesona karena menjadi teman sekelas salah seorang putri Sultan HB X, seorang bocah perempuan berambut kriwil dan berkacamata tebal, yang sungguh lancar bahasa Inggrisnya saat berbincang dengan guru di kelas, juga telah memesona seorang bocah kampung sepertiku. Bocah luar biasa ujarku dalam hati mengaguminya. Kekagumanku, selanjutnya, semakin bertambah kala melihatnya yang seolah tak pernah kehabisan energi. Berkegiatan mulai dari mading sampai polisi sekolah. Bocah perempuan berambut kriwil itu pun kukenali bernama femi. Fransiska Femi Adi Soempeno lengkapnya.
Aku tidak begitu ingat kapan kali pertama berbincang dengan femi. Bila tidak salah, saat aku berdiri di dekat perempatan dagen menunggu angkot yang agak lama datangnya. Femi bergegas menghampiri ketika melihatku sendirian berdiri. “Pulang ke mana ?” tanya femi. Lalu ujarku sekadarnya “jalan godean.”
“Oh, kalo begitu naik jalur 29 aja bareng aku” ujarnya lagi. Aku cuma tersenyum tapi dalam hati senang bukan kepalang mendapat teman seperjalanan. Dalam angkot, ia banyak bercerita dan bertanya apa saja. Kemungkinan, ia tertarik pada ku, bocah kampung yang berasal dari belantara Sumatera. Tak lupa, ia mengenalkan beberapa teman seperjalanan lainnya yang juga menggunakan jalur 29, seingatku ada samuel, guntur, dan bobby.
Selanjutnya, kami [aku bersama femi, samuel, guntur, dan bobby] selalu pulang bersama menaiki angkot kobutri kuning jalur 29. Femi turun di Bumijo, di depan kopertis. Sementara, aku turun di perempatan pingit untuk menyambung bus ke Jalan Godean. Kadangkala, kami makan bakso bareng-bareng terlebih dulu sebelum memulai perjalanan pulang.
Medio Juni 1993, Ibuku dinyatakan sembuh. Aku lalu pindah sekolah. Sekolah lagi di kampung. Kepindahanku ke kampung tidak menyurutkan perkawanan kami. Femi giat sekali mengirimiku surat. Hal ini karena korespondensi merupakan salah satu kegemaran Femi. Secara perinci, aku sudah tidak ingat lagi apa-apa saja yang diceritakan, tapi jelas banyak hal yang diceritakan dalam surat-suratnya. Aku pun menjadi sahabat penanya. Dan tanpa kusadari, dari berkorespondesi ini aku mulai belajar menulis.
Dalam suratnya yang ke sekian kali, Femi menceritakan sebuah sekolah di muntilan tempat kakaknya bersekolah, SMA Van Lith namanya. Ia tak lupa menyertakan juga brosur sekolah. Ia menceritakan ketertarikannya untuk bersekolah di sana. Tak lupa ia mengajakku. Lalu, aku pun mengiyakannya di surat balasanku. Dikarenakan kesibukan mempersiapkan ujian, kami memperkecil frekuensi surat-suratan. Hingga pada suatu saat setelah ujian, Femi mengirimi surat. Kali ini amplopnya lebih besar dari biasanya. Ternyata, ia mengirimkan formulir pendaftaran sekolah Van Lith yang dulu pernah diceritakannya. Berbekal formulir, informasi dan motivasi dari Femi lalu kubulatkan tekad untuk mencoba mendaftar dan mengikuti tes di SMA Van Lith.
Singkat cerita, aku lolos tes masuk. Aku bersekolah di Van Lith. Demikian juga Femi. Di sekolah Van Lith, hubungan perkawanan kami berjalan biasa saja, tidak hangat tidak pula dingin. Barangkali, karena masing-masing dari kami terlalu asyik mencicipi dunia baru, mencobai petualangan-petualangan baru, dan mengakrabi teman-teman baru. Di sekolah ini pula, aku berkenalan dengan ide-ide baru, budaya-budaya baru, dan belajar banyak hal baru lainnya. Aku berterima kasih pada Femi karena membawaku kemari. Tetapi, apa yang aku dapatkan, tidak didapatkan oleh Femi. Sekolah ini ternyata membelenggunya, tidak memerdekakan. Meminjam istilah Femi, Van Lith tidak merajut pelangi untuknya. Maka ia pergi, meninggalkan sekolah ini untuk memilih dan memulai pengalaman lain.
Kepergian Femi tidak berlalu begitu saja. Ia masih saja membawakan berkah bagiku. Di Yogyakarta, ternyata Femi bergabung menjadi salah seorang redaksi pengasuh kolom surat kabar yang menampung kreatifitas menulis kaum muda di sekitar Yogya. Ia menyemangatiku untuk menulis, apa saja, dan berjanji memuatnya. Ia tak ingkar janji. Tiga puisi yang kukirimkan dimuat dalam surat kabarnya. Wow, rasa bangga dan bercampur suka hati melihat hasil karyaku dimuat.
Semasa kuliah sangat jarang kami bertemu walau kampus kami berhadapan. Kami terlalu sibuk mengejari mimpi-mimpi kami. Apalagi, setelah aku bekerja di lampung. Perjumpaan kami hanya melalui komentar di facebook.
Boleh dibilang sungguh sebentar Femi hadir di kehidupanku. Tetapi, bukan kebetulan belaka kehadirannya. Bukan sebagai figuran dan bukan pula sebagai aktor pelengkap. Tapi ia dikirim Allah sebagai seseorang yang membawakanku formulir sekolah Van Lith, dan selanjutnya hidupku berubah...
Selamat jalan kawan...
Sampai jumpa, Fem.
BalasHapusI'm damn missing you!!