Rabu, 13 Februari 2013

Arep Nulung Malah Kepentung

Barangkali ini kata pepatah lama jawa “arep nulung malah kepentung”. Kisahnya berawal dari seorang teman kerja, yang juga bibi seorang teman semasa kecilku, sebut saja Sri. Maaf, walau kisah ini beneran terjadi tapi kesamaan nama tokoh cuma fiktif belaka. Cieee... kayak sinetron aja.

Sekitar akhir februari 2012, Sri menitipkan sejumlah uang untuk ditransfer ke penerbit. Karena dilatarbelakangi ingin menolong, maka saat itu aku merelakan diri sepulang kerja dalam kondisi lelah pergi ke bank menjalankan amanat tersebut. Celakanya sesampai di bank ternyata ramai, banyak nasabah minta dilayani, maka kurelakan kedua kalinya menderita, ikut antre. Ah... selesai juga.

Keesokan harinya kuserahkan bukti transfer kepada Sri saat jumpa di tempat kerja. Selesai sudah tanggunganku. Senangnya bisa menolong orang lain.
Hari berganti hari. Bulan pun ikut berganti. Di akhir bulan Juni aku dikejutkan oleh pernyataan Sri, “wan... kata penerbit uang transfernya belum diterima”

“Loh, kan udah aku berikan bukti transfernya” ujarku.

“Iya sih tapi tercuci” keluhnya.

“waduh...!” sambutku.

“Tolong donk diprint ulang sih” pintanya.

“yah...” ucapku sambil lewat. Asem tenan nambahi kerjaan aja pikirku kemudian. Disebabkan kesibukan, yang lebih tepatnya lebih karena rasa malas untuk antre, maka aku belum menyempatkan mengabulkan permintaan untuk mengeprint ulang bukti transfer di bank. Yah... konsekuensi dari rasa malas itu adalah Sri selalu menanyakan dan selalu kujawab seadanya... Sampai pada akhirnya Sri mendatangiku lalu berkata

“aku aja yang ke bank” Aku pun menjawab ringan “ya udah...”. Keesokan harinya kuberikan buku tabunganku.

“wan kok transfernya cuma sejuta ?” tanya Sri saat ia datang ke rumahku untuk mengklarifikasi hasil print out bank.

“loh emang berapa ?” tanyaku bingung

“satu juta sembilan ratus” ujarnya

“lah... aku transfernya berapa ?” tanyaku kemudian

“cuma satu juta !” jawabnya lalu.

“Iya tah ?” tanyaku.

“nih buktinya !” ia menyodorkan buku tabunganku

“Kok bisa ?” sambil melihat buku tabunganku. Kupandangi. Kuteliti per tanggal transaksi. Bulan februari tanggal dua enam ada mutasi satu juta. Kuulang sampai beberapa kali.

“Lah emang kamu terima uang dari Sri berapa ?” tanya ayahku dari sebelah

“Waduh... terus terang aku lupa berapa rupiah. Udah empat bulan berlalu. Tapi, yang jelas semua uang yang dititipin udah aku transfer. Dan, aku dah kasih bukti transfer ke Sri. Karena gak ada komplain yah gak kuinget-inget lah jumlah duitnya” jelasku pada ayah.

“Tapi bukti transfernya tercuci” ujar Sri membela diri.

Perdebatan panjang tergelar. Alot. Aku membela diri. Sri bersikeras pada pendapatnya. Hatiku panas. Sakit hati rasanya dituduh nyelimpet duit. Sial tenan pikirku, mau nulung malah kepentung. Ayah pun segera menengahi, tapi aku rasa karena rasa jengkelnya pada Sri yang ngotot minta ganti uang, dengan mengganti uang Sri.

“Dah aku ganti aja. Besok-besok jangan sok baik hati !” ujarnya.

Aku diam. “Huh... sial... sial... Udah dituduh maling... Ganti duit lagi...” batinku.

Huh pelajaran yang mahal batinku. Pertama, jangan berjiwa so(k)sial. Jangan menawarkan bantuan pada orang yang tidak begitu dikenal. Kedua, tidak semua orang baik tapi ada pula orang jelmaan dari serigala meski berbaju tenunan bulu domba. Dan ketiga, menjadi teliti pada setiap pekerjaan, tidak meremehkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar