Menjadi guru pada awalnya bukan suatu cita-cita. Mengapa ? Karena bapak dan ibuku adalah seorang guru. Meski boleh dibilang keluarga kami tidak hidup berkekurangan tapi hidup kami tidak berkelebihan tapi tidak lantas bisa dibilang berkecukupan karena bapak dan ibuku juga seringkali berhutang di sana-sini. Hal ini lah yang membuatku tidak ingin menjadi guru karena guru identik dengan kekurangan secara ekonomis. Tapi, mengapa sekarang bisa berprofesi sebagai guru?
Ini yang kusebut sebagai kecelakaan sejarah hidup. Akan kuceritakan mengapa ini kusebut kecelakaan sejarah, aku kuliah mengambil ilmu akuntansi murni (Fak. Ekonomi) bukan keguruan (FKIP) keputusan ini menjadi penanda bahwa aku memang tidak berniat jadi guru dan merajut kisahku sebagai guru.
Berawal setelah selesai kuliah, dengan status baru yaitu seorang pengangguran yang mencari kerja, aku pun mengirimkan banyak surat lamaran kerja ke berbagai perusahaan tapi tidak satu pun menanggapi. Dalam penantian panjang dan digumuli keputusasaan kemudian terujar kata dalam doa novenaku bahwa aku akan menerima apa pun kerja yang ditawarkan kali pertama, menjadi guru pun gak masalah daripada jadi pengangguran. Tapi, tetap pula tiada kunjung datang panggilan kerja. Lantas, almarhum ibu menasehati untuk mengikuti program akta empat. Menurut beliau, siapa tahu gak bisa kerja di perusahaan mungkin bisa kerja di sekolahan, jadi guru. Uuuhhh... yah terpaksa aku ambil juga tawaran ini tetapi bukan karena aku sudah membuka hati untuk profesi guru tapi itung-itung bisa deket dengan pacarku yang masih kuliah. Dan, aku pun mendaftar program akta 4 di UNY. Tetapi ternyata Bapa di surga berpendapat lain, sepulang mendaftar dari UNY, salah seorang teman SMPku menelepon menawarkan menjadi guru di Lampung, menggantikannya karena ia diterima jadi pegawai negeri. Singkat kata, aku mengambil tawaran itu dan aku pun lantas jadi guru.
Dalam perjalananku menjadi guru banyak kegelisahan yang bertubi-tubi menancapi hati dan pikiranku, ternyata menjadi guru tidak mudah, bukan sekedar suatu profesi untuk mengumpulkan pundi-pundi rejeki belaka, ada tanggung jawab moral di dalamnya, bahkan sangat besar. Maka tulisan ini kubuat setelah beberapa tahun dipaksa oleh nasib harus nyemplung bergelimpangan dalam keguruan. Pun, tulisan ini lahir sebagai salah satu dari buah refleksi tak henti di dalam perjalanan (belum) panjangku saat memilih profesi guru. Dan, tulisan ini terinspirasi setelah mengikuti seminar sehari “Sang Guru Sang Peziarah” yang dibawakan oleh A. Mintara Sufiyanta S. J. atau kerap disapa Romo Min. Dalam seminar tersebut, ada kalimat menarik yang terungkap oleh Romo Min yaitu “...pada awalnya kita tidak dipanggil sebagai seorang guru tetapi pertama-tama kita dipanggil sebagai seorang murid...” Sebuah kalimat sederhana tapi tak terduga dan tidak pernah disadari sebelumnya. Oleh karena itu, refleksi ini kuawali dari fase ketika menjadi seorang murid.
Masa kanak-kanakku kuhabiskan di TK dan SD Santo Yosef Lahat . Tidak ada sosok para guru yang terasa begitu spesial dan membuatku menempatkan salah satu dari mereka menjadi guru favorit selama kurun waktu dari taman kanak-kanak sampai sekolah dasar. Ada tiga alasan yang mendasarinya yaitu pertama, aku adalah salah satu dari beberapa anak yang tidak suka sekolah. Kedua, almarhum ibu selalu menasehatiku untuk lebih menyukai pelajaran dari pada gurunya. Dan ketiga , para guru-guru itu adalah anggota lingkar komunitas sosialku alias tetangga-tetanggaku jadi setiap hari kujumpai jadi bosan aku liatnya, di sekolah lihat mereka dan sepulang sekolah juga liat mereka. Meskipun tidak memiliki guru favorit, tapi ada beberapa sosok guru yang tersangkut dalam kenanganku sebagai murid.
Pertama, adalah almarhum suster Ursina C.B., beliau adalah sosok guru yang selalu hadir dalam kenanganku sebagai murid karena beliau adalah satu-satunya guru yang pernah kugigit. Berawal dari ibuku terlambat mengantarkan ke sekolah karena beliau sedang banyak tugas di sekolah dan sifat pemaluku membuat aku tidak mau masuk sekolah saat melihat teman-teman sudah berbaris rapi di depan kelas. Karena melihat aku mutung tidak mau sekolah, maka suster Ursina membopongku, aku meronta-meronta sekuat tenaga, semakin kuat pula beliau membekapku, dan senjata terakhir pun kuhunus, dengan sekuat tenaga kugigit tangannya dengan gigi geripisku. Satu kalimat yang terungkap yang masih kuingat, beliau berteriak kesakitan “woo... anakmu nyokot... “.
Kedua, adalah ibu Marjiem, lengkapnya Martina Marjiyem, beliau adalah guruku kelas satu SD, beliau sosok yang lemah lembut dalam tutur kata dan tindakan. Beliau tidak memarahi dan menghukumku saat aku membolos sekolah selama satu minggu. Begini ceritanya, bagiku sekolah merupakan beban karena setiap hari selalu ada PR dan aku malas mengerjakannya maka ketika seorang teman mengajak membolos aku pun mengiyakan. Bermula dari kejadian ini, selalu selepas ibuku mengantarkan sampai gerbang sekolah aku lalu mengendap-endap pulang ke rumah. Dan, ini menjadi kegemaran baruku. Genap satu minggu aku menjalani kegemaran baru ini, Ibu Marjiyem menemui ibuku menanyakan alasan ketidakhadiranku di sekolah. Dan sepulang kerja ibu langsung memberikan sarapan tebah, sapu lidi untuk membersihkan kasur, ke pantatku.
Ketiga, adalah pak Daud. Beliau adalah guru bahasa indonesiaku. Dua hal yang kusukai dari beliau adalah (1) beliau tidak pernah memberi PR sesudah mengajar dan (2) beliau sangat suka bercerita dengan mimik wajah dan gerak-gerik yang lucu. Itulah sosok guru yang memiliki kenangan tersendiri dan tanpa mengurangi rasa hormat kepada bapak dan ibu guruku lainnya yang sekuat tenaga dan pikiran sudah mendidikku dari taman kanak-kanak sampai sekolah dasar, kalian tetap hidup dalam kenanganku.
Ketika menginjak SMP, aku bersekolah di SMP Santo Yosef. Kuawali bersekolah disini dengan hal yang kurang menyenangkan, ibuku didiagnosis menderita kanker payudara dan harus mengalami perawatan panjang, salah satunya di Yogyakarta. Hal itu yang membuatku merasakan bersekolah di SMP Stella Duce 1 Yogyakarta meski cuma satu semester untuk menemani ibuku yang dirawat di RS Panti Rapih. Tetapi itu sekaligus jadi anugerah karena membawaku pada petualangan baru sekaligus bisa mengenali banyak orang-orang baru. Saat bersekolah di SMP Stella Duce 1, ada seorang ibu guru yang sangat sabar mengajariku bahasa jawa. Namanya lupa aku tapi wajahnya samar-samar masih kuingat. Beliau, begitu lemah lembut dan telaten, mengajariku meski aku tidak bisa-bisa. Maklumlah susah dan tidak terbiasa menggunakan bahasa jawa.
Selanjutnya, sisa waktu yang lain aku habiskan belajar kembali di SMP Santo Yosef Lahat. Semasa bersekolah di SMP Santo Yosef, tidak ada guru yang aku posisikan jadi guru favorit. Ya kalau sekedar suka sih ada satu dua tapi, ambil saja contohnya bapak Leo Supardi. Beliau mengajar agama. Aku menyukainya karena beliau senang sekali bercerita tentang petualangan di masa mudanya dan satu hal yang menyenangkan yaitu beliau jarang sekali memberiku tugas rumah alias PR. Lalu, guru selanjutnya yang aku sukai yaitu ibu Ririn, nama lengkapnya adalah Asteria Rinawati. Aku menyukainya karena wajahnya yang cantik, suaranya merdu, lemah lembut, dan sabar. Beliau adalah wali kelasku di kelas 2B sekaligus mengajar bahasa Indonesia. Oh yah, di SMP ini aku diajar oleh ayahku sendiri. Tapi, tahu tidak ? Aku tidak suka diajar oleh beliau karena beliau selalu tak mengacuhkanku bila aku menunjuk jari untuk menjawab pertanyaannya. Menyebalkan bukan.
Ah, meski begitu ada beberapa guru yang melekatkan kesan misalnya pak Bani Ismail yang bila mengajar fisika ia selalu berteriak-teriak, melucu, bahkan pura-pura berantem bila mengajar bersebelahan dengan pak Sulham, atau ibu Yeni yang bisa mengenali tulisan semua muridnya, atau ibu Lastri yang senang sekali berkata “goblok kok dipelihara...”, atau ibu Christin yang selalu menyebutkan Indonesia dengan tidak sempurna, Indonesa... ujarnya.
Sewaktu bersekolah di SMA Pangudi Luhur Van Lith, sama dengan masa SMP, aku pun tidak memiliki guru favorit. Ada beberapa guru malahan yang kurang kusukai, dan kuberi cap tebal-tebal, menyebalkan. Beliau adalah bapak Arif, A. Arif Budianto nama lengkapnya. Beliau mengajar matematika sekaligus wali kelasku di kelas 1A. Badannya tinggi besar, alisnya tebal, jika berbicara suaranya menggelegar bikin mental menjadi ciut. Dan, beliau suka betul memberi pekerjaan rumah. Padahal, saat awal-awal tinggal di asrama aku membutuhkan adaptasi luar biasa dari kebiasaan hidup di luar asrama yang semau gue berubah jadi kebiaasan hidup asrama yang serba teratur dan terjadwal. Belum lagi harus beradaptasi dengan lingkungan sosialku, teman baru dan budaya baru. Sungguh merepotkan. Ada satu lagi kesukaan dari bapak Arif yaitu berkata “Telo...” bila muridnya tidak bisa mengerjakan tugas yang diberikan.
Selanjutnya, guru yang kurang kusukai, dan juga dapat cap menyebalkan adalah bapak Wahyu, nama lengkapnya adalah A.M. Wahyu Hendranata. Hal yang menyebabkan aku kurang menyukai beliau adalah pertama, karena pilih kasih. Senang sekali pak Wahyu memberikan pertanyaan lalu menunjuk siswi yang cantik padahal aku sudah menunjuk jari tinggi sekali. Kedua, susah sekali aku memahami caranya mengajar. Emang sih aku termasuk siswa yang kurang pandai, tapi menurutku bagaimana bisa pandai dan memahami pelajaran jika gurunya tidak pandai menerangkan. Bukan berarti para guru di masa SMA ku dulu tidak menyenangkan semua. Ada pula guru yang patut diberi jempol sebut saja bapak Agung, Ibu Cosma, Bapak Ratin, dan Ibu Biyanti.
Semasa SMA ini, aku punya guru yang super cantik, aduhai pokoknya, sebut saja Ibu Roli dan Ibu Eni Sugiarni. Ada pula pak Toro yang suka melawak walau kadang harus diakui sedikit jayus tapi kami senang sekali menertawai terbahak-bahak, lumayan agar nilai geografi jadi bagus. Ada bapak Agung yang senang sekali bernyanyi lagu-lagu klasik rock seusai jam pelajaran bahasa inggris. Ada guru yang kami juluki kimpul karena tubuhnya yang pendek dan gemuk. Ada yang kami juluki si otong karena tinggi tubuhnya setengah dari rata-rata tinggi kami saat itu. Ada yang kami juluki perbakin (persatuan batuk kinclong) karena jidatnya yang licin dan mengkilap.
Ah... tapi semua itu dulu. Saat aku menjadi murid dan masih kanak-kanak. Saat aku menjadi guru, kusadari bahwa guru adalah manusia biasa yang tak luput dari kelemahan. Ternyata juga kusadari bahwa sosokku sebagai guru rupanya begitu dekat dengan sosok guru yang kurang kusukai alias menyebalkan.
Sebagai murid, aku sangat menyukai sosok guru yang lemah lembut, sabar, tidak mudah marah seperti Ibu Marjiyem, Ibu Ririn, dan guru bahasa jawaku. Seorang murid juga sangat menyukai guru yang pandai bercerita, menceritakan apa saja tentang pengalaman dan kehidupan, layaknya Bapak Daud dan Bapak Leo Supardi. Seorang murid tidaklah menyukai sosok guru yang suka marah-marah, dan menakuti murid.
Tulisan ini dibuat bukan untuk mengurangi rasa hormatku atas peran besar mereka memberikan pengetahuan padaku. Tapi, sebagai refleksi seorang guru takala jadi seorang murid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar