Emang kenapa sih harus nonton
tinju ? Apa coba menariknya tinju ? Orang gebuk-gebukan gitu ditonton. Selalu
pertanyaan dan pernyataan itu yang terus kumunculkan saat entah teman,
tetangga, pakde, paklik, kakak ipar, bapakku, atau bapak mertua, atau siapa saja memilih
nonton siaran langsung pertandingan tinju di televisi. Lalu, jika pertanyaan
dan pernyataan yang kulempari itu tetap saja membuat sang penguasa remote control bergeming maka lebih baik
bagiku berlalu, mencari kegiatan lain.
Dan, kenapa juga tinju mesti diakui
sebagai salah satu bentuk olahraga ? Kan mestinya olah raga itu gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan
tubuh. Apakah tinju membuat tubuh seseorang jadi sehat ? Yah, ketika berlatih
saat mempersiapkan pertandingan. Tapi, ketika bertanding ? Tidak. Muka jadi
babak belur. Pelipis sobek. Mata bengep-bengep.
Bibir pecah, berlumur darah. Kemudian jatuh tersungkur tak sadarkan diri, KO atau
TKO. Bahkan mati. Wikipedia mencatat sudah banyak petinju yang mati. Di
Indonesia saja, dari tahun 1948 sampai 2013 tercatat sudah 30 orang petinju
mati. Belum lagi para petinju terancam akan mengalami kerusakan ginjal, gejala sindrom
parkinson, atau kerusakan selaput membran otak karena terlalu banyak mengalami pukulan,
jadi kayak Muhammad Ali tuh... Coba dibandingkan dengan cabang olah raga yang
lain semisal renang, senam, lari, atau bila dibandingkan dengan olah raga bela
diri yang lain semacam kempo, judo, atau pencak silat. Ada petarungan tapi
tanpa saling menyakiti. Tanpa kekerasan. Dan, tanpa darah yang berceceran.
Tinju tuh lebih tepatnya disebut
hiburan. Mengapa ? Karena nggak ada bedanya dengan sabung ayam ? Atau dengan
adu cupang ? Lihat aja ketika kedua petinju saling bertukar pukulan. Saling
melempar jab. Membalasi dengan saling
straight. Lalu memberikan hook yang bertubi-tubi. Bergantian menguppercut . Penonton pun bersorak. Jadi histeris.
Semakin ramai jual beli pukulan. Semakin keras sorak-sorai. Dan, ketika salah
satu petinju mulai berdarah. Terhuyung. Lalu ambruk. Sorak-sorai itu kian
menjadi-jadi. Sang pemenang pun disambut bak pahlawan. Bergembira karena petarung
jagoannya tetap berdiri sementara petarung satunya lagi ambruk bersimbah darah.
Atau malah mati. Sama kan dengan sabung ayam ? Ada darah. Ada yang terluka atau
mati. Ada sorak sorai. Ada kepuasan. Ada kegembiraan. Ada hiburan. Kenapa petinju
yang kalah gak dibeleh aja sekalian,
lalu dimasak jadi gulai kayak ayam yang kalah.
Bila dipikir-pikir kok jadinya
lebih berharga ayam daripada manusia. Bila ada arena sabung ayam, polisi atau
organisasi masyarakat yang sok agamawi segera menggerebek. Menangkap para
pelaku. Kadang pula menyita ayam-ayam untuk jadi barang bukti. Dan,
memberitakannya di televisi sebagai sebuah kriminalitas. Tapi, ketika ada
pertandingan tinju, mengapa polisi atau organisasi masyarakat yang sok agamawi
itu kok tidak menggerebek ? Kenapa kok mereka tidak menangkapi para penonton
dan promotor ? Lalu menyita sarung tinju atau ring tinjunya sekalian untuk dijadiin
barang bukti ? Apakah alasannya karena di dalam sabung ayam jadi arena
perjudian ? Jika begitu alasannya, dalam tinju ada pula judi. Barangkali para
penggerebek itu kecipratan rejeki
ketika pertandingan tinju digelar. Bila begitu, bukankah bisa diartikan bahwa adu
ayam itu tidak boleh, tapi adu manusia boleh. Kan, bisa berarti pula bahwa ayam
lebih berharga dari manusia dong ?
Mengapa masih saja ada orang
yang menggemari nonton tinju ? Mengapa mereka begitu bersorak-sorai ketika
semakin banyak pukulan yang terjadi ? Mengapa mereka sangat terhibur saat ada
salah satu petinju yang jatuh tersungkur, KO atau TKO ? Apakah berarti mereka
menyukai kekerasan ? Apakah berarti sebetulnya manusia tidak bisa lepas dari kekerasan
? Lalu, untuk menghaluskan citra kekerasan pada tinju manusia memanipulasinya
sebagai olah raga dan hiburan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar