Minggu, 21 Oktober 2012

Kampanye...

Pada suatu hari minggu, karena diminta ayah untuk mengantar dan menemani ke pesta pernikahan anak rekanan kerjanya maka aku pun hadir di pesta pernikahan. Padahal, menurutku hadir di pesta pernikahan adalah salah satu hal yang membosankan di dunia. Membosankan karena hanya berisi rangkaian panjang pidato penuh basa basi. Mulai dari pidato wakil keluarga. Wakil besan. Wakil tamu undangan. Formalitas belaka. Tanpa ketulusan. Satu-satunya yang paling menarik dan kutunggu-tunggu dari pesta pernikahan hanya makan siang. Itu pun kadang tidak serasi dengan selera lidah.
Tampaknya pesta pernikahan kali ini agak berbeda dengan kebanyakan. Aneh. Menjadi aneh karena di sela-sela acara dijejali kampanye terselubung kepala daerah calon gubernur dan bupati. Alasanya klise, calonnya masih keluarga sendiri. Buset... sempet-sempetnya. Apa gak ada waktu lain bos?
Tampaknya yang kurang sreg dengan acara kampanye itu bukan aku saja. Seorang bapak yang didaulat memimpin doa makan, sebelum memimpin doanya sempat berkelakar, katanya “bapak dan ibu tahu tidak bedanya Pilkada dan Pil KB ?” Semua hadirin menggeleng. “Kalau Pil KB, jika lupa makan pil KB maka jadi ( jadi anak maksudnya ) tapi kalau Pilkada sebaliknya, jika sudah jadi maka lupa ( lupa janji maksudnya )!” Seluruh hadirin terpingkal-pingkal. Beberapa tampak mengangguk-anggukkan kepala sebagai tanda sepakat. Cuma tim sukses sang calon gubernur dan bupati yang tampak cemberut. Malu kali... Pesta nikahan kok untuk kampanye.

Jumat, 12 Oktober 2012

Sakit Gigi

Ada sebuah ungkapan menarik dari sebuah lagu yang dilantunkan oleh Meggy Z, seorang biduan dangdut, ujarnya bahwa daripada sakit hati lebih baik sakit gigi. Menurutku, dulu, hal  itu tidak tepat. Aku tidak tahu mengapa sang biduan mengungkapkan itu. Apakah karena sang biduan belum pernah sakit gigi ataukah karena aku yang belum pernah sakit hati? Yang jelas, menurutku pasti lebih sakit rasanya sakit gigi daripada sakit hati.
Suatu tempo, dulu,  kala terkena pemutusan hubungan sepihak [PHS] oleh tunanganku, baru aku tahu rasanya sakit hati. Menderita. Merana. Tidak enak makan. Tidak nyenyak tidur. Saat itu untuk kali pertama aku sepakat jika sakit hati rasanya lebih sakit daripada sakit gigi.
Ternyata kesimpulanku tidak bertahan lama. Dua bulan pasca terkena PHS, gigiku sakit. Gigiku ternyata berlubang. Gede banget lubangnya. Infeksi. Gusi membengkak. Sudah tiga hari ngenyut-ngenyut. Tidak enak makan. Tidak nyenyak tidur. Hendak dicabut tapi dokter tak bernyali. Uuuh... menderita sekali. Merana. Saat dalam penderitaan inilah aku terpaksa memformat ulang pendapatku. Sakit gigi tak kalah menderita dan sama merana dengan sakit hati.
Kesimpulan ini tampaknya bertahan lama, karena setelah itu aku lebih sering sakit gigi daripada sakit hati. Berarti lebih sering pula aku menderita dan merana karena sakit gigi.

Kamis, 11 Oktober 2012

Generasi yang Terkepung

Pada sebuah perbincangan kecil, salah seorang teman berujar bahwa ia merasa bahagia dilahirkan empat puluh tahun lebih dulu, ujarnya kemudian jika ia dilahirkan saat ini ia merasa tidak tahu apa jadi dirinya. Lalu tanyaku, “kok bisa ?”
Ia menjawab, “coba kamu lihat lagi ke masa 40 sampai 20 tahun lalu, ada apa saja disana ? Internet...? Black Berry...? Play Station...? Mall...?”
“Motor dan televisi pun masih langka...”, tambahnya.
Lalu ujarku menanggapi, “Emang sih semuanya itu belum ada dan masih langka lantas ada apa dengan semua itu? Salahkah?”
“Bukan salah, tapi itu yang membuat generasi saat ini menjadi generasi terkepung. Terkepung dengan hedonisme dan kapitalisme !” ujarnya.
Ia lalu meneruskan, “Belum lagi mereka terkepung dengan hal-hal lain misalnya kekerasan, perilaku korupsi para pejabat negara, kecurangan ujian nasional dan masih banyak lagi lah...” Temanku diam sesaat.
“Aku cuma tidak tahu bagaimana aku bisa bertahan bila mudaku hidup di jaman ini.” Ujar temanku menegaskan.
Aku selanjutnya cuma terbahak-bahak lalu berkata “masing-masing jaman punya tantangan sendiri-sendiri, dan masing-masing generasi punya cara beradaptasi.”

Rabu, 10 Oktober 2012

Ups... membingungkan !

Malam ini, aku bertemu lagi dengan kematian. Seorang bocah kira-kira berumur 15 tahun mati setelah menderita sakit demam berdarah. Tiga hari sebelumnya seorang nenek berumur 85 tahun mati setelah sakit selama dua tahun. Kematian tidak mengenal usia.
Kemarin, seorang teman bertanya, “bila besok aku mati apakah aku bisa bertemu dengan suamiku ?” Seorang teman, yang sarjana teologi menjawab “Tidak ! Ketika kita di surga kita sudah tak ada ikatan suami istri lagi.” Lalu, temanku menangis. Mungkin sedih bakal tidak bisa jumpa dengan suaminya lagi. Kematian memisahkan.
Ah, memang kematian seorang saudara, sahabat, suami, istri, atau anak selalu menghadirkan tangis. Air mata kesedihan. Padahal, di medan perang kematian seorang musuh selalu diakhiri tawa. Sorakan kegembiraan. Kematian sebuah paradoks.
Lalu, seorang isa menebus dosa manusia dengan memilih mati di salib. Kematian sebuah pengorbanan, katanya.
Ups... membingungkan.
Tiada jawab. Lamunan panjang seterusnya. Wajah ibu. Wajah temanku Femi. Wajah Mbah Yuwono. Wajah Pak Barnabas Daud. Wajah orang-orang yang kukenal yang sudah mati. Terbayang satu demi satu.
Dimanakah yah sekarang mereka? Sedang apa yah mereka ? Sekali lagi cuma bertanya. Tanpa jawaban. Karena memang tidak tahu jawabnya apa.
Sekali lagi. Ups... membingungkan.

Senin, 08 Oktober 2012

Belajar Membaca

Delapan tahun bukanlah waktu yang singkat menjalani pilihan menjadi seorang guru. Tetapi, bukan pula waktu yang sangat panjang jika dibandingkan dengan waktu yang sudah dijalani oleh bapak dan ibu guruku. Delapan tahun menjadi guru bukan pula waktu yang dipenuhi dengan goresan-goresan kisah penuh penderitaan. Ada pula kisah-kisah kebahagiaan yang tergores. Bahkan lebih banyak goresan kebahagiaan di perjalananku sebagai guru.
Tetapi, menurutku kebahagiaan terbesar malahan saat aku jadi guru-guruan. Sebetulnya bukan guru sungguhan tapi pendamping belajar tepatnya. Saat itu, aku mendampingi belajar anak-anak di Tempat Pembuangan Akhir [TPA] Piyungan dalam komunitas Sanggar Cakruk dan saat aku mendampingi belajar beberapa anak di dusun Pringgodani dalam komunitas BW3. Dan, momentum kebahagiaan itu adalah saat seorang anak dampinganku bisa membaca.
Membuat seorang anak bisa membaca di jaman ini ternyata bukan perkara mudah. Mereka terkepung banyak musuh tak terlihat. Televisi yang menawarkan hiburan 24 jam. Warnet yang menawarkan akses informasi tanpa batas. Warung game net yang memberi tawaran permainan dunia maya. Orang tua yang karena tekanan ekonomi terpaksa meninggalkan mereka belajar sendirian. Sekolah yang sudah menjelma mesin produksi massal siswa meninggalkan mereka yang dianggap bukan faktor produksi unggul. Tak bisa kubayangkan bagaimana para guru kelas satu SD, seperti ibu guruku dulu, ibu Marjiyem, bisa setia mengajari membaca banyak siswa dalam satu kelas.
Ada sebuah pengalaman menarik saat mengajari anak ini, sebut saja si Adi, membaca. Beberapa metode sudah dicoba pakai untuk mengajarinya membaca. Sejauh ini hasil yang didapatkan si Adi mulai mengenal huruf tapi belum bisa merangkainya menjadi sebuah kata. Lalu seorang kawan mengusulkan sebuah metode.“Coba kau kasih gambar lalu dibawahnya kau beri huruf berikut cara mengejanya”. Aku pun mengiyakan. Lalu, kucari gambar di majalah dan memilih gambar cabe merah.
“Iki huruf opo ?”
“ C...” jawab Adi mantap.
“Iki huruf opo ?”
“A...” jawab mantapnya lagi.
“Iki huruf opo ?”
“B...” jawabnya tambah mantap
“Iki huruf opo ?”
“E...” jawabnya sangat mantap. Aku senang ia bisa mengenal huruf-huruf.
“C...A...” Aku mengeja suku kata pertama. Ia menjawab mantap “CA...” Aku memujinya, “bagus...”
“B...E...” Aku mengeja suku kata kedua. Ia kembali menjawab mantap “BE..” Aku memuji lagi “bagus...”
“terus berarti C..A...CA... B...E...BE... muni ne opo ?” Dengan suara lantang ia berseru, “LOMBOK...” Aku tak bisa menahan diri untuk tertawa. Adi pun tertawa. Semua pun tertawa.
“Lah bener toh mas. Sing warnane abang jenenge lombok. Sing warnane ijo kui rawit !” Adi memberikan alasannya. Kuraih kepalanya lalu kucium kepalanya sambil berkata, “bener kowe di, aku sing keleru...”

Minggu, 07 Oktober 2012

Ada Uang Abang Sayang

Ada uang abang sayang
Tak ada uang abang kutendang
Memang pantas diriku melakukan itu...


Pagi-pagi benar, telingaku sudah dipaksa mendengar lagu dangdut yang keluar dari radio dua band milik tetangga. Meski suara lusy rahmawati merdu terdengar tapi jam lima pagi bukanlah saat yang tepat untuk mendengar lagu dangdut, maklumlah aku bukan dangdut mania. Semakin kulawan semakin memelekan mataku. Aku pun beranjak dari kasur. Duduk di kursi. Dan mendengarkan. Hmm... ternyata enak didengar, lagian tema lagunya menarik. Tentang cinta dan uang. Hmm...lagi-lagi uang.
Tidak dipungkiri, jaman sekarang, semua orang butuh uang. Dimana aja dan ngapain aja butuh uang. Beribadah di gereja butuh uang. Buang hajat butuh uang. Parkir kendaraan butuh uang. Jadi presiden butuh uang. Lahir butuh uang. Mati butuh uang. Cari uang pun harus keluar uang. Untung kentut gak butuh uang... tapi kalo gak bisa kentut malah butuh uang loh...
Memang tampaknya, uang yang pada awalnya diciptakan manusia sebagai alat  untuk mempermudah pertukaran barang dan alat untuk mempermudah menyatakan nilai suatu barang yang hendak dipertukarkan, sudah berkembang pesat. Uang, tanpa disadari, telah berevolusi menjadi simbol kekuasaan. Kekuasaan politis maupun ekonomis.
Maka orang lalu berlomba-lomba menghasilkan uang. Semua hal dilakukan, dari kerja halal sampai kerja tidak halal, demi uang. Semakin banyak uang dimiliki maka semakin besar kekuasaannya. Malahan manusia kemudian dengan kesadarannya membunuh konsep ketuhanan demi uang. Manusia tidak lagi takut pada dosa. Manusia lebih takut tidak punya uang. Hal itu bisa kita lihat di media-media massa. Korupsi merajalela. Manusia tega saling membunuh. Manusia merusak alam. Manusia meninggalkan ibadah. Manusia pun semakin rakus melahap semua.  
Lagu ada uang abang sayang pun berarkhir. Aku bangkit dari kursi. Bangkit pula dari lamunan. Mandi. Bersiap-siap kerja. Menghasilkan uang. Mengumpulkan uang sebanyak mungkin.

Kamis, 04 Oktober 2012

Ledi gaga oh... Ledi gaga

Sore-sore kayak gini paling enak nongkrong di angkringan bareng temenku Broto. Sambil klepas klepus rokok dan ngemil gorengan, kami ngobrol ngalur kidul. Tak sengaja mataku tersangkut di koran pembungkus sego kucing. Kumakan sego kucingnya lalu kubaca beritanya.
“Bro, ledi gaga tuh sapa toh?” tanyaku pada temanku si Broto yang duduk di kananku.
“ Huusss... jangan sembarangan kamu menyebut namanya !” Broto memelototiku.
“Lah emang kenapa toh bro ?” tanyaku.
“Mosok kamu gak kenal dengan dia !” dia balik bertanya
“ Gimana mau kenal. Denger namanya aja baru karena ini.” Aku menyodorkan kertas pembungkus sego kucing.
“Dia itu penyanyi. Cantik wajahnya. Tapi, dia seorang pemuja iblis. Dia dijuluki ibunya iblis,” terang si Broto.
“Mosok toh bro,” tanyaku lalu menyeruput kopi.
“Eh... ini orang dibilangin gak percaya! Kalo dia sudah menari-nari dan bernyanyi di depanmu maka kamu bisa jadi anaknya iblis. Setan.” Broto menerangkan sekali lagi
“Kok bisa ?” Tubuhku merapati Broto.
“Lah yah bisa lah... Ledi gaga itu kan kalo sudah menari dan menyanyi cuma pakai beha dan kancut aja. Bahkan, lama-lama telanjang bulat. Selain dari itu, dia dan para penarinya memeragakan hubungan seksual sesama jenis. Jika kamu melihatnya maka lama-lama kamu terbuai. Langsung jadi iblis” Wajah Broto tampak serius sekali menerangkan.
“Kok kamu tahu bro ?” Tanyaku untuk kesekian kali.
“Ya aku tahu karena diceritain ama tetanggaku. Kemarin dia ikut demo di Jakarta. Demo menolak kehadiran si Ledi gaga.” Broto lalu meneguk es tehnya.
“Emang si Ledi gaga mau ke negara kita bro ?” temanku cuma mengangguk.
“Buset... bisa jadi setan semua kita nanti bro !” Ucapku khawatir. Broto menghisap dalam rokoknya. Menghembuskan sambil manggut-manggut. Lalu aku bertanya lagi,“berarti tetanggamu udah jadi setan bro?”
Langsung si Broto menatapi tajam, “huss... jangan sembarangan kamu. Dia itu orang baik. Rajin berdoa.”
“Tapi kok tahu yah kalo si Ledi gaga suka menari dan menyanyi hanya memakai beha dan kancut aja.” Ungkapku.
“Dia tuh gak nonton. Dia cuma diceritain. Diceritain ama temennya. Temennya yang cerita itu tahu dari tetangganya. Tetangga yang cerita ke temannya temenku tadi tahunya dari orang sakti” Broto meruntutkan sumber informasinya.
“Kalau gitu kita datengin aja orang sakti itu bro. Kita tanya-tanya tentang ledi gaga. Siapa nama orang sakti itu bro ?”
Broto menggaruk hidungnya sambil mengingat-ingat, “kalo gak salah dengernya sih namanya mbah... sebentar... mbah gugel. Yah, mbah gugel.” Lalu Broto menatapku lesu, “lagian mbah gugel itu tinggalnya di jakarta. Tetangga temannya temenku kenal mbah gugel waktu ikut demo BBM di Jakarta.”
Aku menyeruput kopi. Mencomot tahu bunting goreng. Mengunyah pelan-pelan. Demikian pula Broto. Klepas-klepus menghabisi rokoknya. Tanpa suara. Entah apa yang dipikirkannya. Kalo aku masih penasaran pada Ledi gaga. Ledi gaga oh... Ledi gaga.

Rabu, 03 Oktober 2012

Maling Ayam vs Koruptor

Sebuah diskusi kecil terbentuk di sebuah warung angkringan sesaat setelah makan siang usai. Diskusi dihadiri para pejabat teras, teras masjid, dan wakil rakyat kecil-kecilan. Di bangku ujung, duduklah Ujang, seorang debt collector bank plecit. Lalu di bangku tengah, duduklah Amir, seorang tukang ojek. Dan sebagai moderator, Kang Sur, sang pemilik angkringan. Mereka bertiga populer dijuluki politisi senayan, sepanjang jalan ahmad yani. Tempat biasa mereka mangkal.
Terlontar wacana di diskusi itu bahwa perbuatan mengambil hak orang lain [ dibaca: nyolong ] jika dalam skala kecil, maksudnya jika yang dicolong jemuran, mangga, ayam, atau sandal jepit, maka pencuri tersebut adalah musuh negara. Sementara jika yang dicolong uang ratusan juta atau milyaran rupiah maka pencuri tersebut adalah sekutu negara.
Ketika para politisi senayan hendak memufakatkan hasil diskusi. Seorang mahasiswa yang dari tadi tampak asik makan. Mengiterupsi jalannya diskusi.
“ Mengapa nyolong jemuran malah jadi musuh negara ?” ungkapnya.
“Nyolong jemuran itu perbuatan memalukan !” tukas Amir.
“Kan sama memalukan dengan korupsi” ungkapnya kembali.
“Ya beda mas !” sambung Ujang emosional.
“Kok bisa beda? Kedua-duanya nyolong. Kedua-duanya memalukan !” Sang mahasiswa mendengus tak puas.
“Nyolong jemuran itu memalukan. Itu menunjukan jika negara ini belum makmur. Masih kere. Pakaian aja dicolong !” jelas Amir. Ia batuk sebentar lalu menyambung lagi “lah kalau korupsi itu kan menunjukan negara ini kaya. Semakin banyak uang yang dikorupsi. Semakin banyak yang korupsi. Semakin kelihatan kaya negara ini !”
Amir kemudian mengangkat tangannya layaknya bung Tomo dengan berapi-api ia berujar, “berarti korupsi mengharumkan nama negara ini. Karena menunjukan bahwa Indonesia adalah negara kaya. Makmur !”
Kang Sur tak mau kalah, “selain itu saudara-saudara. Yang perlu saudara-saudara ingat bahwa korupsi hanya bisa dilakukan oleh orang pintar. Orang berpendidikan. Lulusan universitas. Jadi makin banyak korupsi berarti makin banyak orang pintar di negeri ini. Sementara nyolong ayam dilakukan oleh orang goblok. Orang tidak berpendidikan. Jebolan SD. Jadi makin banyak orang nyolong jemuran maka makin banyak orang goblok di negeri ini.”
Sang mahasiswa cuma manggut-manggut. Berdiri. Membayar makan. Lalu pergi.

Selasa, 02 Oktober 2012

Intel Rebus vs Program Diet

Salah satu hal yang tersulit untuk mengatakan “tidak” adalah saat ditawari semangkuk intel rebus alias indomi telur rebus. Selalu saja tersedia alasan untuk mengiyakan tawaran menyantap intel rebus yang datang. Gratis pula.
“ah, kan cuma satu mangkok saja...”
“kan cuma malem ini doang. Besok gak lagi kok...”
Dan, masih banyak stok alasan lainnya. Kalau pun alasannya habis bisa dicari-cari.
Persoalannya sekarang adalah aku sudah telanjur mendeklarasikan program diet. Maka menyantap intel rebus di malam hari menjadi haram. Hari pertama, kuat. Hari ke dua, kuat. Hari ke tiga, kuat. Hari ke empat, nyicip sesendok aja. Tombo pengen. Hari ke lima, titip pesen. Sisain sedikit aja. Seiklasnya aja. Hari ke enam, bikin sebungkus tapi bagi dua yah. Dan, hari ke tujuh. Membongkar sendiri bungkus mi. Membuat sendiri. Menghabiskan sendiri. Sambil menyeka keringat berkata “kan cuma sebungkus aja.” Lalu mulai rusaklah program diet yang sudah dideklarasikan. Meski tanpa jumpa pers. Tapi semua orang tahu.
Pun sisa-sisa kenikmatan [ bisa dibaca: lemak, tapi jangan keras-keras membacanya ] tebal menumpuki lingkar pinggangku, tapi tampaknya intel rebus vs program diet kali ini kembali dimenangkan oleh intel rebus.  Menang Telak. TKO.

Senin, 01 Oktober 2012

Mati yang Keren...

Sepulang menguburkan jenazah salah seorang tetangga yang mati. Terjadi perbincangan kecil antar dua orang pelayat.
“Orang kaya mah matinya keren”, ujar ujang membuka percakapan.
“Maksud lu ?” tanya teman disebelahnya.
“Lah orang kaya meninggal biasanya karena kolesterol, stroke, atau hipertensi”, jawab ujang.
“Maksud lu...  Nama penyakitnya yang keren namanya?” temannya bertanya lagi.
“Bukan cuma sekedar namanya yang keren. Tapi, penyebabnya juga. Karena kebanyakan makan enak. Lah kalau kita orang kan biasanya mati karena diare. Demam berdarah. Paling keren yah karena kena kanker. Itu aja mati karena gak bisa ngobatin,” jelas ujang panjang lebar.
Tiba-tiba seorang bapak yang dari tadi mengamati perbincangan kedua pemuda ini menyeletuk,”berarti keren dong yang kemarin mati karena kecelakaan pesawat ?”
“Boleh juga tuh pak,” ujar ujang tangkas. Lalu sambungnya, “daripada mati karena minum baygon, ya kan !”
Aku pun geleng-geleng mendengarkannya. Perbincangan yang aneh. Tapi lucu. Pernah dengar ada pepatah yang berbunyi harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan sejarah. Jadi kalau manusia mati ia juga akan meninggalkan cerita bagaimana kematiannya. Aih... emang susah jadi manusia !