Senin, 14 Januari 2013

Menikah = Cari Masalah

Saat masih kuliah di Jogja. Ada sebuah kebiasaan, yang tampaknya, mulai diritualkan di antara kami. Mendem bareng. Setelah salah seorang menerima transfer dari ortu di kampung, biasanya tanpa dikomando dan lebih pada mengandalkan insting, selepas magrib satu per satu mulai berdatangan. Lalu duduk rapi di teras kecil kos brojowikalpo. Segera setelah komplit, kesepakatan pun dibuat. Sloki pun digilir. Diskusi pun tergelar. Tanpa sambutan. Tanpa moderator.

Dalam percakapan yang sudah terlanjur tergelar panjang lebar, seseorang tiba-tiba menceritakan bahwa seorang teman yang kami kenal hendak kawin. Eh, maaf menikah... Dan, beberapa tanggapan pun bermunculan kemudian. Beberapa menanggapinya positif. Tanggapan negatif pun muncul diantaranya.
“Awake dewe arep nyumbang opo ki ?” ucapku.
“Koe nyumbang teratak wae. Lah, kowe nyumbang orgen tunggal.” Seseorang pura-pura membagi tugas.
Lalu, seseorang lagi menimpali usulnya “ lah kowe nyumbang opo dab ?”
Ia pun dengan lantang berkata, “aku nyumbang doa wae !” Dan, tawa pun berserakan di antara kami.

“Sebetulnya menikah itu podo wae mencari masalah loh...” Sebuah argumen tiba-tiba menumbuh di antara serakan tawa kami. Semua bergegas mengakhiri tawa. Lalu masing-masing memajang wajah filsufnya.
“Ngopo kowe kok iso ngomong koyo ngono dab ?” Sebuah pertanyaan sederhana namun berpotensi mengundang banyak jawab. Sang pelontar argumen diam. Semua pun diam.
Tiba-tiba seorang kawan berseloroh, “kowe kan durung duwe pacar jadi ngomonge koyo ngono” Tawa pun berserak kembali.
“Asem tenan... Ya, gak gitu !”
“Lah terus gimana ?”

“Begini, yang jelas... Sebelum menikah, kalian akan dipusingkan dengan masalah administrasi catatan sipil. Dari N1 ampe N4. Surat pengantar dari catatan sipil. Tau sendirilah kalo urusan ama kaum birokrat. Berbelit-belit. Ditambah lagi kalian katolik. Tambah pusing. Selain syarat administrasi gereja yang tidak sedikit. Beberapa tata cara gereja juga harus dijalani. Belum lagi masih harus menyelesaikan masalah pesta resepsi. Katering. Undangan. Sewa teratak. Sewa orgen tunggal. Sewa ini itu. Tetek bengek lainnya.” Semua diam. Melihat semua diam, Ia lalu bersemangat menambahi.
“Itu tadi baru masalah-masalah sebelum menikah loh... Lah, setelah menikah. Kita akan menjumpai masalah-masalah lagi. Kontrak rumah. Bayar tagihan listrik. Tagihan telepon. Istri hamil kontrol kehamilan. Setelah punya anak, mesti beli susu. Sekolah anak. Wah... pokoke tetek bengek lainnya lah. Carilah sendiri...”
Semua diam.

“Lah terus enake mbojo ki opo nek ngono ?”
“Gak eneng enake !” tegasnya.
“Ada... tapi sebentar !” sanggahku.
“Apa ? Kapan ?” tanyanya.
“Ya nek pas lagi crut... crut... crut...”
“Yo nek iso ngene !” Ucapnya sambil mengacungkan jari telunjuknya. Tawa pun berhamburan. Bahkan lebih riuh dari sebelumnya.

“Woiii... Mas... udah malem. Ketawanya jangan keras-keras.” Tiba-tiba suara pak RT menggelegar.
Suara itu memberi peringatan. Lebih tepatnya memerintahkan kami, yang tengah dilanda badai otak eh salah badai alkohol tepatnya, segera untuk bubar. Semua lalu diam. Perlahan-lahan kembali pada kesadaran masing-masing. Selanjutnya, masing-masing tanpa dikomando segera membubarkan diri.
Setelah semua pulang. Aku pun membaringkan tubuh. Terpikir lagi perbincangan tadi. Meski konyol tapi ada juga  benarnya. Menikah sama aja cari masalah. Tapi masa bodohlah orang mendem bebas mau omong apa aja.

Kamis, 10 Januari 2013

Filosofi Jengkol

Aku sedang asik menyantap makan siangku saat temanku, Nopi, datang berkunjung. “Buset... dikau makan jengkol yah bro ?” teriak Nopi sambil menutup hidungnya. Sambil terus bersantap, aku tersenyum. “Hari gini masih doyan jengkol !” teriaknya lagi.

“Emang kenapa ? Salah ?” lalu tanyaku.

“Gak... Gak salah ! Cuma aneh aja di jaman Milenium kayak begini masih aja doyan melahap jengkol.”jelas Nopi.

“Wuss sembarang aja kalau bicara ! Aku pernah membaca artikel di internet nih... Di Jawa Barat, rata-rata hampir satu ton jengkol habis terjual setiap harinya ! Berarti, yah tidak sedikit orang menyukai jengkol di antara banyak orang yang tidak menyukainya. Beberapa orang bisa dikelompokan sebagai penggemar. Bahkan, adapula yang sudah bisa disebut kecanduan jengkol. Bila sehari saja tidak makan jengkol, ibarat makan tanpa garam.”

“Ah... peduli amat ! Apa sih enaknya jengkol ?” ujar Nopi. Nopi berlalu dariku.

Aku menghampiri. “Bro... Jengkol tuh makanan yang hmmm... Misterius. Yah misterius ! Jengkol bisa dinikmati dengan berbagai cara. Mulai dengan melahapnya mentah-mentah sebagai lalapan hingga diolah dalam berbagai bentuk masakan antara lain bisa diolah menjadi balado jengkol, gulai jengkol, semur jengkol dan rendang jengkol. Jengkol bisa pula disajikan sebagai kudapan yakni keripik jengkol. Jengkol is the best lah pokoknya !”

Nopi memandangi aku. Lalu, ia berkata, “ emang dikau tidak tahu bro mudharatnya jengkol ?” Aku menggeleng. Lalu, katanya lagi “Aku kasih tahu yah... ada tiga dampak negatif dari melahap jengkol. Dilihat dari sudut pandang ilmu kesehatan, relasi sosial, dan ajaran agama.” Aku menatapinya saja dengan rasa ingin tahu.
“Aku akan jelaskan satu-satu yah !” ujarnya. Aku mengangguk saja.

“Bila dilihat dari sudut pandang kesehatan, melahap jengkol memiliki dua dampak negatif yakni : Pertama, bau busuk, baik berasal dari bau mulut atau air kencing yang dikeluarkan oleh pelahap jengkol. Tahu kenapa ? Hal ini dikarenakan di dalam biji jengkol mengandung asam amino dan asam amino tersebut mengandung unsur sulfur. Sulfur ini lah yang menyebabkan bau busuk. Kedua, asam jengkolat yang terkandung di dalam jengkol sukar larut pada air seni yang memiliki keasaman yang tinggi, lalu bisa menyebabkan pengkristalan pada ginjal manusia,” ujar Nopi.

“Tapi bro, jengkol berdampak positif juga loh bagi kesehatan. Ini yang pernah aku baca di internet yah... Katanya jengkol sangat dianjurkan bagi para penderita anemia karena mengandung zat besi. Lalu, jengkol juga sangat baik bagi kesehatan tulang dan gigi karena mengandung kalsium. Lalu, selain itu jengkol juga kaya akan vitamin, protein, dan karbohidrat.” Ujarku bersemangat membela jengkol.

Nopi tergelak-gelak mendengar pembelaanku. “ Mas bro... penjelasanku tadi baru dari sudut pandang ilmu kesehatan belum yang lain. Sekarang aku jelaskan mudarat melahap jengkol bila dilihat dari sudut pandang relasi sosial. Bau busuk. Yah, bau busuk yang berasal dari bau mulut atau air kencing yang dikeluarkan oleh pelahap jengkol sangat mengganggu orang lain, terutama orang lain yang tidak ikut menyantap jengkol. Karena menimbulkan bau busuk, maka jengkol dipandang sebagai makanan kelas bawah. Bukan makanan mewah milik kelas atas. Image yang biasanya terbangun saat menyantap jengkol adalah tukang becak, warung tegal dan WC umum di pasar tradisional. Bukan eksekutif muda yang tengah lunch di resto mall.” Tampak semangat sekali ia menjelaskan padaku. Aku cuma mendengarkan.

“Sekarang, bila dilihat dari sudut pandang ajaran agama,” ia meneruskan argumennya untuk menyerang kegemaranku melahap jengkol. Lalu katanya, “di dalam ajaran agama islam, dikenal istilah makruh. Makruh merupakan suatu perbuatan yang apabila dilakukan akan dibenci oleh Allah, dan apabila ditinggalkan mendapat pahala. Melahap jengkol bisa digolongkan dalam perbuatan makruh.”

“Mengapa konsumsi jengkol termasuk perbuatan makruh ?” lalu tanyaku.

“Alasannya karena bau busuk yang dikeluarkan paska melahap jengkol sangat menggangu orang lain terutama orang lain yang tidak ikut melahapnya.” Jawabnya singkat. Aku manggut-manggut sambil mengelus janggut.

“Weee... pintar dirimu mas bro,” pujiku. Nopi tersipu. “Masih mau makan jengkol ?” tanya Nopi kemudian.

Aku mengangguk. “Ada banyak alasan bagiku untuk tetap melahap jengkol meski tidak sedikit mudarat dari melahap jengkol,” jawabku penuh keyakinan. Nopi terbelalak. “Ciyus...?” tanyanya.

“Sekarang giliranku menjelaskan !” lalu ujarku. “ Begini bro... citra, rasa, dan sensasi daging buah jengkol mirip dengan daging hewani. Jengkol bisa dijadikan sebagai daging tiruan. Jengkol bisa jadi panganan alternatif saat harga daging sapi mahal. Jengkol baik dijadikan strategi ketahanan pangan bagi bangsa kita bro !”

“Selanjutnya, jengkol merupakan bentuk perlawanan. Apa yang dilawan ? Yang dilawan adalah image bahwa jengkol sebagai makanan kelas bawah. Bukan makanan mewah. Tidak bergengsi. Tidak layak disantap oleh masyarakat terhormat. Orang gengsi melahap jengkol padahal enak. Aku pernah mendengar cerita dari seorang pedagang kerupuk jengkol di Riau bahwa pernah seorang turis dari Australia dan Korea memborong kerupuk jengkol untuk dibawa pulang ke negaranya. Jadi, kenapa kita harus malu ?”

“Di dalam jengkol terkandung nilai kejujuran. Orang yang usai melahap sate kambing, ayam bakar, atau tongseng kambing bisa saja berbohong mengatakan bahwa dirinya tidak melahap sate kambing, ayam bakar, atau tongseng kambing. Tapi, bila seseorang usai melahap jengkol, ia tidak bisa berbohong karena bau mulut dan bau air kencingnya bisa jadi bukti autentik. Jadi, jengkol merupakan manifestasi dari nilai kejujuran.”

“Melahap jengkol berarti belajar menghargai bro... Menghargai siapa ? Pertama, menghargai Tuhan. Semua yang diciptakan oleh Tuhan pasti baik, bermanfaat. Jadi melahap jengkol sama halnya kita menghargai ciptaan Tuhan. Kedua, menghargai diri sendiri.Dengan cara makan secukupnya. Tidak melahap jengkol berlebihan agar tidak membahayakan kesehatan diri sendiri. Ketiga, menghargai orang lain. Tidak buang air kecil sembarang tempat atau membilas bersih kloset sesudah memakainya sebagai bentuk menghargai orang lain terutama orang yang tidak ikut melahap jengkol.”

“Yah... bila engkau menganggap tidak melahap jengkol itu sebuah kebenaran bagi dirimu bukan berarti kesalahan dong bila orang lain melahap jengkol” ujarku penghabisan.


* Dimuat dalam tabloid sekolah TARA edisi 08/Thn V Januari 2013

Selasa, 08 Januari 2013

Perjumpaan

Aku harus kembali ke kota ini. Dan, harus bertemu dengan teman-temanku. Bertemu untuk menyampaikan kabar. Kabar tentang aku. Berbekal ingatan, kulacak keberadaan mereka satu persatu. Bersangu segepok memori indah tentang mereka, kuberanjak segera.

Ternyata, satu tahun bukan waktu yang lama. Kehangatan. Dan, cinta masih mereka simpan cukup banyak untuk dibagikan kembali padaku. Tapi, satu tahun bukan pula waktu yang sebentar untuk tidak membuat mereka berubah. Tidak lagi sama seperti terakhir kujumpai.

Mbak okti, tubuhnya melangsing sungguh. Tambah cantik. Seksi. Tidak salah pikirku bila dulu dia bercerita bahwa dirinya pernah menjadi sekretaris di sebuah bank. “diriku setiap hari ikut senam bos,”pengakuannya padaku ditengah obrolan. Aku menelan ludah lalu tersenyum. Selain tidak tahu mesti bilang apa, tiada habis kumengagumi bodi aduhainya.

Nopi, terakhir kami berjumpa saat kursus pernikahan. Saat itu ia hendak menikah tanpa pekerjaan. Konyol. Tapi, sang pacar sudah berbadan dua. Mau tidak mau. Sekarang dia nyatpam di rumah sakit Immanuel. He..He... gak kebayang ada satpam kurus kering begitu... satpamkan biasanya badannya gempal. Tapi daripada gak makan. Mau apa...? di akhir waktuku di kota ini, kukunjungi ia sekali lagi. Kembali berbeda, ia sekarang telah menjadi ayah. Ayah dari jabang bayi kecil yang ia namai exel. Sesuai nama salah seorang personil band favoritnya, Guns n Roses.

Mas wahyu. Wah mentereng sekarang kerja dia. Kepala bagian personalia di BPK Penabur Bandarlampung. Walau tidak jarang dalam pembicaraan terungkap rasa tidak puas atas apa yang terjadi di tempat kerja. Dari dulu bahkan. Tapi, sampai saat ini tetap saja dia bercokol di sana. Yah, maklumlah, tidak punya pilihan, sebagai kepala keluarga tidak bisa seenaknya dia bisa cucuk cabut kerja. Jadi kerasan atau tidak yah tetep harus kerja.

Pak alfon. Kabar kurang sedap tentangnya kali pertama kudengar dari mas wahyu, dalam perbincangan di rumah nopi. Tentang pak alfon yang tidak lagi bekerja di SMK BPK Penabur. Aku terkejut. Tapi, bukan karena dia tidak lagi bekerja, aku sudah pernah mendengar keluhannya tentang pekerjaannya. Hal yang membuat terkejut adalah cara dia keluar kerja. Ditendang. Bagai anjing buduk yang tak berguna lagi bagi sang tuan. Aih coba saja ia dulu menuruti nasehatku untuk keluar. Lebih terhormat. Ah... tak mengapa mungkin ini jalan hidupnya. Aku menemuinya, sesuai saran istrinya, di depan pintu gerbang perumahan bukit kencana saat ia sedang menggoreng mendoan. Pak alfon memelukku sangat erat segera setelah tahu yang datang aku. Tidak pernah aku dipeluk seerat ini oleh temanku. Mungkin dalam bawah sadarnya ia hendak berbagi kisahnya. Ia masih seperti dulu. Hangat. Selengekan. Penuh semangat. Tapi sumarah. Seorang lelaki dan suami yang hebat. Kami lalu bercerita panjang lebar tentang semua peristiwa yang tidak bisa kami lewati bersama.

Perjumpaan berbuntut perpisahan. Perpisahan awal dari perjumpaan. Perpisahan menyisakan cerita. Cerita yang akan jadi menghangatkan  perjumpaan kembali.