Jumat, 30 November 2012

berbeda dan dibedakan

Seorang teman kerja yang kukenal pendiam tiba-tiba saja siang ini bercerita panjang lebar tentang hidupnya. Hidup sebagai orang katolik yang tinggal di tengah-tengah masyarakat minang yang islam kental. Hidup sebagai orang yang berbeda dari kebanyakan orang lainnya. Ujarnya suatu saat, “ aku pernah hampir diusir dari kost saat pemilik kost dan penghuni kost yang lain tahu aku berbeda dengan mereka. Dan untuk menjalankan ibadah pun aku tidak berani secara terang-terangan. Banyak alasan kupakai supaya kepergianku ke gereja tidak diketahui orang banyak”.

“Aku juga pernah,” balasku kemudian. “Saat  aku bekerja di sebuah sekolah swasta kristen yang banyak orang cinanya” ujarku. Di sana secara tak kasat mata terjadi pelapisan kelas sosial para karyawan berdasar diskriminasi ras dan agama. Kelompok cina dan kristen berada pada lapis pertama. Pada lapis selanjutnya adalah mereka yang cina dan apa pun agamanya. Lapisan ke tiga adalah mereka yang kristen apapun rasnya. Lapis selanjutnya adalah kelompok katolik dan non cina. Yah yang paling apes jika dia jawa dan islam pula.

Aku lalu bercerita tentang seorang mantan muridku yang bekerja di salah satu pusat perbelanjaan terkemuka di Bandarlampung. Ia pernah mengeluh padaku. Ia pernah mengalami pembedaan soal gaji dan pekerjaan hanya karena ia orang jawa yang bekerja di tengah-tengah orang cina. “Gajiku lebih rendah dan pekerjaanku lebih banyak dari karyawan selevelku tapi cina,” keluhnya.

Dalam bidang perekonomian, praktik pembedaan sungguh jelas dijalankan. Bila kita menggunakan jasa transportasi, menginap di hotel, menonton di stadion, adanya pembedaan kelas menurut kemampuan ekonomi. Kelas VIP yang menyediakan berbagai fasilitas mewah tersedia bagi mereka yang bisa membayar mahal. Sementara bagi yang tidak bisa membayar mahal maka cukup menikmati fasilitas yang seadanya.

Bila datang ke pesta pernikahan atau ulang tahun, maka biasanya kursi bagian depan berupa sofa empuk dan berbagai kudapan tersedia dalam pinggan-pinggan elok. Dan mereka yang duduk di sana adalah para pemangku jabatan penting baik ekonomis maupun politis, pokoknya berbau strategis. Baris selanjutnya biasanya kursi empuk dengan sandaran yang diselimuti kain putih bersih. Mereka yang disana biasanya adalah mereka yang “agak” penting. Yang paling celaka biasanya yang paling belakang. Kursinya plastik. Makanan kotakan. Biasanya yang duduk di sini adalah mereka yang tergolong bukan siapa-siapa.

 Bahkan dalam dunia pendidikan, kita diajari berprilaku diskriminatif. Anak-anak yang pandai dikumpulkan di kelas unggulan atau bersekolah di sekolah unggulan yang dilabeli RSBI atau Sekolah National Plus. Para siswa diajari bahwa mereka berbeda dengan siswa lainnya. Mereka unggul sementara yang lain pecundang. Waduh kalau satu kelas bego semua terus siapa yang membantu mereka belajar. Bahkan adapula sekolah yang membedakan kelasnya dari sudut pandang kemampuan ekonomi. Yang bisa bayar lebih mahal maka kelasnya pakai AC plus fasilitas mewah lain.

Tidak cuma karena beda agama dan ras, atau karena beda kemampuan ekonomi, atau karena orang penting atau gak penting, kadang kala penyebab sederhana jadi alasan kita membedakan diri kita dengan orang lain misalnya karena tampilan biologis. Berambut keriting. Berkulit hitam. Berbadan gendut. Julukan diskriminatif lalu diberikan supaya perbedaan itu menjadi lebih jelas. Kita menjuluki si kriting pada orang tak berambut lurus. Atau, si hitam kepada orang yang tak berkulit putih. Atau, si gendut bila dalam kelompok kita terdapat seorang diri yang bertubuh gendut. Dan, masih banyak lainnya.

Bila kembali melihat pada peristiwa kerusuhan Mei 1998, Kebanyakan korban berasal dari etnis tionghoa. Alasan etnis tionghoa menjadi korban adalah : (1) mereka berbeda dengan pelaku kerusuhan, (2) mereka memegang kekuasaan ekonomi, (3) streotipe buruk orang cina misal orang cina itu licik, kikir, pelit. Padahal tidak sedikit orang pribumi yang lebih berkuasa, licik, kikir dan pelit dari orang cina tapi karena alasan (1) maka mereka menjadi korban.  Maka saat banyak orang-orang yang menulisi pagar rumah atau ruko-ruko dengan tulisan “Pribumi” untuk menunjukan bahwa mereka sama, tidak berbeda, dengan pelaku kerusuhan. Dan tidak jadi korban.

Demikian pula dengan keributan suku lampung dan suku bali di lampung selatan pun didasari karena alasan orang lampung berbeda, tidak sama, dengan orang lampung. Jika pun ada yang bilang penyebab kerusuhan disebabkan adanya oknum yang kurang ajar atau dendam berkepanjangan antar kedua suku, itu hanya bumbu pelengkap belaka.

Lalu mengapa perbedaan  harus menjadi persoalan ? Bukankah setiap orang terlahir berbeda. Tidak sama. Agaknya, membedakan seseorang yang berbeda dengan kebanyakan orang sudah mengadat dalam pergaulan masyarakat kita. Ataukah justru sebenarnya perilaku diskriminasi, membedakan orang yang berbeda, adalah naluri alami manusia ? jika hal itu adalah naluri maka perilaku diskriminasi tidak bisa dihilangkan.

Manusia sebagai mahluk sosial dan mahluk cerdas dengan akal budinya menciptakan etika dan moral. Etika dan moral inilah yang dipakai untuk membungkus dan menyimpan rapi naluri diskriminatif dan meletakkannya di dalam alam bawah sadar manusia. Bila manusia merasa terancam, dan ancaman itu berasal dari orang atau kelompok yang berbeda dengannya maka etika dan moral tidak bisa berlama-lama membungkusnya. Naluri diskriminatif segera bangkit dari alam tidak sadar manusia.

“Terus mesti gimana dong ?” tanya temanku usai aku bercerita panjang lebar. Sesaat aku diam.“Yah... harus pandai-pandai menyimpan naluri ini,” jawabku. Ia lalu bertanya lagi, “bagaimana caranya ?” Dengan bergaya sedikit filosofis aku menjawab, “boleh saja melihat sesuatu yang berbeda tetap sebagai perbedaan tapi kemudian tidak mempermasalahkan perbedaan itu.” Kulihat wajahnya masih kuat memancarkan ketidak puasaan tapi ia segera berlalu dariku. Yah, setiap orang punya cara masing-masing dalam menyikapi perbedaan, sepanjang sikap itu tidak kontraproduktif.

Senin, 26 November 2012

Pissbuk... oh alah pissbuk...

Pada suatu sore saat tengah bersantai di beranda depan, tampak tergopoh Nopi, seorang kawan semasa kecil, menghampiri. Dengan agak kesulitan mengatur nafas ia menyampaikan niatannya datang ke rumahku.
“Bro, kamu harus membantuku !”ujarnya tersengal-sengal.
“Wee... Ada apa gerangan seorang kawan lama tiba-tiba hadir membutuhkan bantuanku. Bantuan apa yang bisa kuberikan padamu kawan ?”tanyaku.
“Kau harus membuatkanku pis...pis...buk ya pissbuk,” sambungnya.
Gedubrak...kaget campur geli mendengarnya tapi tidak sampai jadi ketawa karena takut yang punya niatan jadi tersinggung. “Facebook... maksudnya...?” tanyaku.
“Iya betul itu... Pissbuk!” tegasnya.
“Ah... gampang itu. Nanti malam kubuatkan kau facebook. Tapi, jika boleh tahu gerangan apa yang membuat engkau ingin membuat facebook ?” ujarku ingin tahu.
“Kau tau Yoyok ?” tanyanya. Aku menganggukan kepala sebagai jawab.
“Kata teman-teman di menjelek-jelekan aku di situ. Di pissbuk...” Nopi menjelaskan kepadaku. Aku cuma tersenyum.
“O... gitu yah. Kukira kau mau mengembangkan usaha combromu lewat facebook” ujarku. Kami lalu mengobrol panjang lebar sampai larut malam. Karena lelah, maka Nopi pun pulang. Aku masih duduk di beranda. Diam. Temenung. Merenungi si pissbuk.

Rasa penasaran pada si pissbuk mulai menumbuhi benakku. Aku pernah membaca di situs web BBC Indonesia, bahwa dari Januari sampai Februari 2012 telah terjadi 21 kasus penjualan seksual komersial melalui facebook yang terjadi di Surabaya dan 11 kasus lainnya ada di Jakarta juga menggunakan facebook. Bahkan situs web BBC Indonesia juga melansir berita seorang anak remaja berusia 18 tahun divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Kota Bogor, Jawa Barat karena dianggap menghina temannya melalui jejaring sosial facebook. Mengapa begitu banyak persoalan yang ditimbulkan facebook ?

Lalu, dimulailah perburuan informasi-informasi tentang facebook di internet. Di situs web Wikipedia Indonesia, Andreas Kaplan dan Michael Haenlein (2010) dalam artikel karangan mereka di Horizon Bisnis, mengatakan bahwa facebook merupakan media sosial yang termasuk jenis situs jejaring sosial. Yang mana, situs jejaring sosial adalah suatu aplikasi yang mengizinkan user untuk dapat terhubung dengan cara membuat informasi pribadi sehingga dapat terhubung dengan orang lain. Informasi pribadi itu dapat berupa biodata, foto atau video. Sebenarnya facebook bukanlah satu-satunya situs jejaring sosial yang ada di dunia maya. Banyak jenis situs jejaring sosial lainnya seperti my space, friendster, Hi5, twitter, Linked in, Bebo, Koprol, dan Yahoo! Meme. Situs jejaring sosial yang kali pertama muncul adalah Sixdegree.com di tahun 1997. Facebook sendiri diluncurkan pertama kali pada tanggal 4 Februari 2004 oleh Mark Zuckerberg sebagai media untuk saling mengenal bagi para mahasiswa Harvard. Di Facebook para user dapat bergabung dalam berbagai komunitas seperti kota, tempat kerja, sekolah, dan daerah asal untuk berinteraksi dengan orang lain. User juga dapat menambahkan teman-teman mereka, mengirim pesan, dan memperbarui profil pribadi agar orang lain dapat melihat tentang dirinya. Ringkas cerita, semua informasi berkait dengan facebook kubaca, mulai dari pengertian media sosial, pengertian jejaring sosial, sejarah facebook, biografi pendiri, kasus-kasus kriminal yang berkait dengan facebook, ulasan para blogger tentang dampak facebook, perkembangan pengguna facebook di Indonesia, sampai tinjauan filosofi facebook.

Huh... ternyata tidak ada yang salah pada facebook ! Dengan facebook kita bisa silahturahmi dengan para sahabat dan sanak saudara di tempat yang jauh. Dengan facebook kita bisa menambah teman. Dengan facebook kita mengembangkan diri melalui tulisan dan foto yang kita buat. Dengan facebook kita bisa belajar memasarkan barang. Wah... banyak juga yah manfaatnya. Tapi, mengapa persoalan-persoalan di atas bisa terjadi yah?

Sebuah analisa sederhana, persoalan pelecehan seksual dan penghinaan berkait dengan facebook terjadi karena tidak adanya sikap ugahari. Sikap ugahari adalah sikap tahu batas. Kita kadang lupa membatasi diri dalam mengungkapkan perasaan hati kita. Kita kadang lupa membatasi diri membeberkan informasi (foto dan video) tentang kita. Kita kadang lupa membatasi diri mengakses facebook tanpa melihat waktu dan tempat. Kita jadi sangat tebuka. Kita jadi sangat narsis. Kita jadi sangat hedonis. Nah karena sikap kita yang lupa diri, tidak ugahari, maka dampak negatif pun muncul. Bukankah kasus seorang anak remaja berusia 18 tahun divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Kota Bogor, Jawa Barat karena dianggap menghina temannya melalui jejaring sosial facebook terjadi terjadi akibat ia tidak dapat membatasi dirinya dalam mengungkapkan rasa tidak senang pada temannya. Tidak menutup kemungkinan pula kasus penjualan seksual komersial melalui facebook pun terjadi karena korban tidak bisa membatasi dirinya. Terus bagaimana? Yah, menjadi user yang arif dan bisa membatasi diri, merupakan cara jempol untuk menangkal dampak negatif facebook. Dan facebook pun bisa benar-benar menjadi pisss...buk !



*) dimuat dalam tabloid sekolah TARA, Edisi 07/Thn IV September 2012.

Selasa, 13 November 2012

Belajar Bersyukur

Pada Harian KOMPAS edisi Jumat 10 Desember 2010, Penasehat KPK, Abdullah Hehamahua, mengatakan sekitar 60 persen dari 3,7 juta hingga 4 juta pegawai negeri sipil ( PNS ) melakukan praktik korupsi. Korupsi dapat dimengerti sebagai penyelewengan atau penggelapan harta (negara atau perusahaan) dengan tujuan keuntungan pribadi atau orang lain. Oleh karena itu, korupsi berarti merupakan bentuk kecurangan karena tujuannya keuntungan pribadi dengan merugikan orang lain. Lantas, mengapa sampai 60 persen dari 3,7 juta hingga 4 juta PNS melakukan hal itu? Salah satu jawaban yang muncul adalah kecilnya gaji sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup. Tetapi, jika diamati lebih lanjut mereka [para koruptor] hidup dalam bergelimangan harta maka bisa dikatakan bukan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka korupsi tetapi untuk memenuhi gaya hidup mewah. Selanjutnya, Abdullah Hehamahua berpendapat bahwa menjadi sangat penting pemberian materi pendidikan antikorupsi di lingkungan sekolah dan keluarga. Tetapi, bukankah sebelum seorang anak mengenal istilah korupsi dalam hidupnya, ia pasti sudah terlebih dahulu menerima pelajaran antikorupsi di keluarganya. Apalagi jika melihat latar belakang hidup para koruptor yang pasti beragama.
Pelajaran antikorupsi itu adalah bersyukur. Bersyukur merupakan bentuk apresiasi emosi yang positif. Suatu sikap mengakui manfaat yang sudah diterima. Bersyukur secara historis berasal dari dunia agama. Menurut agama Ibrani, bersyukur menjadi sangat penting karena segala sesuatu itu datang dari Allah. Di agama Kristen, syukur merupakan pengakuan atas kemurahan Tuhan. Dan dalam agama Islam, para pengikutnya didorong untuk mengucapkan terima kasih dan mengungkapkan kepada Tuhan dalam segala situasi.
Berkait dengan syukur, ada dua peristiwa sederhana tapi cukup menggetarkan hati boleh kualami beberapa waktu ini. Pertama, saat makan siang dengan seorang teman di sebuah warung makan. Seorang perempuan tua berpakaian kumal mendatangi meja makan kami memohon sedekah. Karena merasa kasihan maka kuulurkan selembar uang seribuan ke hadapannya. Setelah menerimanya perempuan itu segera berterima kasih lantas berujar panjang lebar, intinya kurang lebih agar Tuhan mencurahkan rahmat murah rejeki kepadaku. Meski sebentar tertegun lalu peristiwa itu kuanggap lumrah. Rapalan mantera belaka dari pengemis agar pemberi nafkahnya menjadi senang.
Kedua, saat aku berada di sebuah rental video. Ketika sedang berkonsentarasi memilih judul film yang ingin kusewa, tiba-tiba menyeruak suara nyanyian,  jeritan lebih tepatnya, dari seorang perempuan di luar rental. Diiringi gemericing alat musik perkusi sederhana, seorang perempuan berbaju merah kumal dan berkaca mata hitam bernyanyi dan menari. Gaduh, namun cukup lucu. Apalagi ditambah dandanannya nyentrik, cenderung berlebihan malah hingga orang langsung beranggapan ia seorang perempuan kurang waras. Aku bersama beberapa pengunjung dan para penjaga rental tertawa melihatnya. Kuulurkan uang koin lima ratusan ke perempuan itu. Ia menerima uangku, tak kusangka ia langsung berujar panjang lebar yang intinya agar Tuhan memberikanku kemurahan rejeki. Hal yang membuatku bergetar ada nada suka cita dalam ujarannya. Dan kemudian, menyusul perasaan penyesalan karena hanya memberi lima ratus rupiah.
Di suatu kesempatan. Kucoba mengingat-ingat semua peristiwa terkait perjumpaan dan pemberian uang kepada kaum papa (pengemis, pengamen, anak jalanan, tukang parkir dan gelandangan). Memang tidak besar, cuma berkisar lima ratus sampai dua ribu rupiah. Tetapi tidak semua dari mereka mengucapkan terima kasih sesudah menerimanya. Terkadang hanya dibalas dengan anggukan kepala. Malah ada yang mengganggap pemberian yang didapatnya terlalu kecil. Berarti, kedua perempuan itu sungguh luar biasa. Keduanya, tidak cuma berterimakasih malahan menimpali dengan doa agar orang-orang yang sudah berbaik hati ke mereka diberikan kemurahan rejeki oleh Tuhan.
Ternyata, pengalaman ini pun dialami oleh Isa Almasih, yang di dalam perjalananNya menyusuri perbatasan samaria dan galilea, mengalami perjumpaan dengan sepuluh orang kusta yang memohon ditahirkan dari kusta. Lalu, mereka pun menjadi tahir. Tetapi, dari kesepuluh orang hanya satu orang yang kembali dan mengucap syukur [Lukas 17:11-19].
Uuh.. terasa sungguh tersindir habis-habisan. Sebagai seseorang yang sejak kecil dibesarkan dalam tradisi agama maka saya percaya bahwa Tuhan selalu memberi makanan saat kelaparan. Minuman saat kehausan. Kesembuhan saat kesakitan. Bahkan, kebutuhan yang tidak atau lupa diminta pun dipenuhi oleh Nya. Tapi, kita kerapkali terlupa untuk mengucapkan terima kasih, bahkan terkadang rentetan umpatan ketidakpuasan yang keluar. “Ah, makan siangnya cuma pakai lauk tempe...” “Wah... Gajiku kecil !”. “Sialan...Pagi-pagi kok hujan !” dan masih banyak lagi wujud ketidakpuasan atau ketidakbersyukuran atas apa yang kita terima.
Sebuah analisa sederhana, ramainya kasus korupsi di negara ini mungkin dapat diselesaikan jika dari awal seorang manusia ditanamkan nilai-nilai bersyukur. Dan, dilatih mulai dari kecil secara sadar diajarkan untuk bersyukur dalam segala hal, atas apapun dan berapapun yang diperoleh. Bersyukur atas kedudukan yang dicapai. Bersyukur atas income yang diperoleh. Bersyukur karena dipercaya oleh orang lain. Karena ketidakbersyukuran merupakan hulu dari ketidakpuasan. Ketidakpuasan berbuah keserakahan dan ketamakan. Manifestasi dari ketamakan adalah perilaku korupsi. Sehingga, tanpa malu mengambil apa yang bukan menjadi hak. Mungkin, saya harus belajar dari dua perempuan yang pernah saya jumpai.