Dalam suatu perjalanan ke tempat kerja, aku mengalami sebuah
perjumpaan dengan dua orang buta yang saling menuntun. Keduanya menawarkan
koran. Wow... setelahnya perasaanku bercampur aduk. Perasaan terharu tersembul
dalam hati. Bayangkan, dua orang yang sama-sama tidak bisa melihat tapi saling
menuntun. Berjualan koran pula. Bila ada orang yang membeli, bagaimana mereka
mengenali lembaran uangnya? Lalu, bagaimana pula mereka menyusuki uang kembaliannya? Bukankah sepenuhnya akan mengandalkan
kepercayaan saja pada sang pembeli. Bagaimana jika si pembeli iseng ? Ah, tapi
tega betul jika mengisengi orang buta kayak
mereka.
Di sisi lain
lagi, di otakku, yang tersembul malah rasa curiga. Ah... barangkali cuma sebuah
strategi mencari uang belaka. Biar orang jatuh iba pada mereka lalu membeli
koran dagangan mereka. Syukur-syukur diberi uang lebih karena iba ya toh... dua
kali untung bukan! Aku pun berlalu dengan motorku menyisakan ceceran rasa penasaran,
di sepanjang jalan, pada kedua orang buta itu.
Hari berganti
hari. Dan, waktu pun berlalu dengan segera. Di setiap perjalananku, tidak
kujumpai lagi kedua orang buta itu. Kutarik kesimpulan sederhana, ah...
barangkali kedua orang itu bosan pura-pura jadi orang buta. Dan lagi pula tidak
kuambil pusing... emang gue pikirin...
Hingga suatu
siang aku berjumpa dengan seorang dari mereka. Sendirian. Menyusuri, perlahan,
jalan yang tak rata dengan tongkatnya. Di tangan kanan, mengapit setumpuk dagangan
koran hari ini. Aku berlalu. Tapi, kemudian berhenti kira-kira dua sampai tiga
meter setelahnya. Hatiku di kuasai iba. Aku berputar. Menyusul orang buta itu.
Berhenti kira-kira satu meter di depannya. Aku pun membeli koran. Kuselipkan
selembar sepuluh ribuan di tangannya. Orang buta itu sempat bertanya “berapa
uangnya?” Kujawab singkat, “ambil aja kembaliannya dan segera berlalu”. Aku
kembali terharu. Bahkan lebih dari yang kemarin. Sekali lagi, luar biasa.
Tapi setelah
itu. Kira-kira dua jam dari kejadian. Usai haru biru di hatiku reda. Akal mulai
menguasai kembali. Sama seperti kemarin. Bagaimana jika kenyataannya kedua orang
itu tidak buta. Dan, ini hanya sebuah cara belaka agar orang terperosok dalam
iba. Dan aku adalah salah satu korbannya. Lama sekali aku terombang-ambing. Ah
kutepis jauh-jauh pikiran itu. Terserah, mau pura-pura kek... Mau beneran... Pokoknya
aku ikhlas titik ujarku dalam hati.
Selanjutnya
sebuah pertanyaan yang menggelitik lalu muncul. Mengapa kok aku jadi curiga
pada kedua orang buta itu? Hmm... mungkin dunia ini sudah terlalu dijejali oleh
kepalsuan sehingga tidak ada lagi yang bisa dipercaya keasliannya. Lihat saja mulai
dari gigi palsu, kaki palsu, merek palsu, duit palsu, obat palsu, jeans palsu,
ijazah palsu, KTP palsu, akta nikah palsu, bahkan ada pula profesi palsu...
Begitu ternyata begitu banyak kepalsuan dalam kehidupan ini. Dan, saking
banyaknya yang palsu jadi sangat sulit membedakan mana yang asli.
Aku lalu membuka
KBBI, mencari arti kata palsu. Palsu berarti tidak tulen, bisa pula termasuk
perbuatan lancung/curang yakni perbuatan meniru dengan maksud menipu dan
termasuk perbuatan yang tidak jujur atau curang. Lantas, mengapa bisa muncul
yang palsu jika ada yang asli ? Bahkan seringkali malah yang palsu ini yang
kemudian jadi pilihan utama.
Aku pun membacai
buku-buku, mulai dari buku agama, sejarah, antropologi, filsafat, sosiologi, sampai
ekonomi, mencari jawab atas pertanyaanku. Aku pun surfing di dunia maya. Masuk dari halaman ke halaman lain. Membacai
artikel-artikel dalam blog. Pun untuk mencari jawab. Aku juga sempatkan
berkonsultasi dengan seorang teman, pengajar ilmu sosiologi di salah satu
universitas ternama di Surabaya, via
surat elektronik. Sekali lagi untuk mencari jawab. Alhasil aku jadi bingung
tujuh keliling. Bukan karena sulitnya permasalahan yang kutemui tapi mungkin
karena akunya saja yang oon alias bego wkwkwk... Karena pusing akhirnya
kutinggalkan begitu saja terserak di meja kerja. Hingga pada suatu malam. Kurang
lebih hampir satu tahun berlalu. Baru kuperoleh jawabannya.
Berawal saat aku
berkumpul bersama beberapa tetangga di gardu ronda. Di tengah-tangah pembicaraan
setengah serius setengah santai. Dan, entah bagaimana pembicaraan tadi diawali.
Tapi saat itu seorang tetangga, sebut saja Pak Unus yang berprofesi sebagai
pengecer koran harian Tribin yang menguasai daerah
pemasaran sepanjang Jalan Teuku Umar Bandarlampung, tengah beropini mengenai
teknik pemasarannya yang dianggap andal.
“Kalo menurut
saya, menggunakan anjal (anak jalanan) dalam penjualan koran merupakan cara
yang ampuh untuk menaikkan oplah” ujarnya di tengah pembicaraan. “Mengapa ?”
lalu tanyaku. “Mereka gesit mengejar pembeli,” jawabnya. Aku lalu menceritakan tentang
teknik pemasaran yang pernah dipakai oleh sebuah koran nasional di Jogja. “Oh
cara itu pernah dipakai oleh koran harian Lampes,” sambungnya. Kemudian Pak Unus
melanjutkan,”bahkan koran harian Ridar memanfaatkan jasa orang buta
dalam teknik pemasaran eceran.”
“Iya toh ?” aku
tercengang.
“Yah...
Harapannya jika melihat dua orang buta yang saling menuntun berjualan koran
maka orang yang melihat akan jatuh iba dan membeli koran.” Ujar Pak Unus
menjelaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar