Rabu, 26 Agustus 2015

tubuh dan luka




Dalam kristenisme, tubuh adalah bait Allah. Karena manusia secitra dengan Allah maka Allah tinggal pula di dalam tubuh manusia. Maka tubuh itu suci.  Oleh karena itu harus dijaga. Tidak boleh tercemar. Ada pula yang bilang tubuh ibarat kanvas. Dan manusia berkuasa penuh atas tubuhnya. Maka tubuh bisa berfungsi sebagai media untuk dipenuhi berbagai ide. Ditempeli simbol-simbol dari agama, fashion, etnis, sampai ideologi. Dilumuri hedonisme. Showroom produk kapitalisme.
Tapi bagiku tubuh adalah lembaran sejarah hidup. Banyak kisah yang tergores di tubuh. Goresan-goresan yang secara alami membekas. Tidak merasa terpaksa walau dipaksakan. Tubuh ibarat arca yang dibentuk oleh sang perupa, demikian pula tubuh terbentuk.
Bicara soal bentuk. Bentukku yang sekarang adalah bulat besar. Alias tambun. Bila dalam dunia kesehatan barangkali termasuk dalam kategori obesitas. Tapi tak disangka kalau dulu aku terlahir dan bertumbuh sebagai anak yang tergolong kurus plus sakit-sakitan. Satu bulan sehat terus sakit. Begitu terus. Dan seingatku, saat sampai menamatkan sekolah dasar pun jarum timbangan badanku tidak pernah melampaui angka 30 kg. Bahkan almarhum ibuku sering meledekku dengan sebutan bungkring. Alias kurus. Loh, kenapa bisa jadi seperti sekarang ? Panjang ceritanya...
Rambut. Di rambutku pun ada kisah yang tergores. Gundul. Tak berambut. Itulah yang menjadi ikonku sekarang. Bukan karena alasan fashion biar mirip Michel Foucault atau Pep Guardiola. Tapi, karena rambutku tipis. Tidak tebal. Dan satu lagi nih, jidatku kelewatan mundurnya jadi kayak jidatnya para profesor... mending kalo pinter beneran, sayangnya otakku ini tergolong pentium 2 itu pun plus surung... Jadi, karena jidat inilah  membuatku kadang diledeki ketua PERBAKIN, bukan persatuan menembak dan berburu indonesia tapi persatuan batuk kinclong. Karena alasan itulah aku memilih menggunduli rambutku. Selain terlihat keren, alasan lainnya adalah gundul itu salah satu bentuk anti aging karena uban tidak bakalan selfie di atas kepala kita.
Luka. Luka di tubuh merupakan pahatan kisah sejarah hidup manusia. Jadi hieroglyp yang cuma bisa dibaca dan dimaknai sang pemilik. Dan, seperti salah satu iklan rokok di televisi bahwa setiap luka punya cerita. Aku pun punya bekas luka. Bahkan tidak cuma satu.
Luka pertama yang membekas adalah luka di tumit kaki kiriku. Memanjang kira-kira 5 cm. Luka dari masa kanak-kanak, yang kudapat karena ditegur oleh Tuhan karena menghindar dari panggilan suci. Luka akibat tertusuk pecahan botol saat bermain dalam kubangan lumpur di belakang rumah usai membolos pelajaran agama katolik di sekolah.
Aku juga punya luka di hidung. Luka yang nyaris merobek hidung yang pesek ini. Luka ini kudapat juga dari teguran Tuhan. Kali ini Tuhan menegurku karena aku membantah nasihat ibuku untuk tidak mudik dari lampung menuju lahat menggunakan motor. You are right mom... Aku mengalami kecelakaan di sekitar Blambangan Pagar, Lampung Utara. Aku menabrak pagar rumah orang karena mengantuk. Banyak luka di tubuhku saat itu, salah satunya di hidung. Luka dengan tiga jahitan.
Dulu, aku punya luka satu lagi. Di sini nih... di dalam hatiku. Lukanya kudapat saat mantan tunanganku memutuskan hubungan sepihak. Yah maklum LDR, long distance relationship. Tapi itu dulu. Sekarang gak lagi. Udah dapat ganti yang lebih hebat dan luar biasa.
Ups hampir lupa, tampaknya pandangan bahwa manusia adalah citra atau gambar Tuhan barangkali jadi pengecualian bagiku. Masak tampang sepertiku ini adalah citra Tuhan...?  Mungkin kala Tuhan tengah mencari inspirasi sesaat hendak mencipta aku, seekor monyet lewat di hadapannya dan cling... terinspirasilah mencipta aku wkwkwkwk...

Jumat, 17 Juli 2015

siskamling

Karena para maling dan begal berkeliaran mengejar setoran agar tak  kalah dengan para koruptor, telah membuat situasi keamanan di kotaku menjadi tak kondusif. Sang walikota lantas menginstruksikan kepada semua warganya untuk melakukan siskamling. Tak terkecuali dan  segera. Dan tanpa menunggu lama, segenap ketua RT pun langsung mengomando warganya untuk berswadana dan bergotongroyong membangun pos ronda. Kalau tidak bisa-bisa dicopot jabatannya sebagai ketua RT.
Banyak pos ronda segera bertumbuhan di pelosok kota usai instruksi itu dikumandangkan. Bagai jamur di musim penghujan. Ada pos ronda yang jadi seadanya, yang penting ada. Ada yang lebar dan keren, plus dipulasi cat warna-warni. Dan ada juga pos ronda yang mewah, dilengkapi televisi dan dispenser. Macem-macem deh...
Gema instruksi walikota ini bergaung juga di tempatku tinggal. Lingkungan 01 RT 11 di kawasan pinggir kota. Bedanya, para warga di tempatku tinggal tidak perlu lagi bersusah payah membuat pos ronda karena kami sudah memilikinya. Kami hanya menerima jadwal ronda. Itu pun datangnya tiba-tiba. Tanpa musyawarah. Apalagi mufakat. Tapi apa daya... bukankah sebagai warga masyarakat yang baik ia harus mendukung dan berperan aktif dalam semua kegiatan di lingkungannya ? cie...
Tapi terus terang perasaan bercampur aduk saat membaca surat edaran itu. Ada perasaan sedih karena dengan adanya ronda malam berarti akan mengurangi jatah tidur malamku. Ada rasa penasaran karena baru kali ini aku terlibat kegiatan ronda malam. Ada juga perasaan senang karena bisa berjumpa para tetangga sekitar. Sekalian silahturahmi. Tapi kayaknya aku lebih merasa beruntung karena jatah rondaku jatuh pada malam minggu berarti esok paginya adalah hari minggu, hari libur. Jadi kegiatanku tidak terganggu dengan rasa kantuk setelah semalaman begadang dan selain itu bisa balas dendam tidur ha... ha... ha...
Waktu pun menggelinding cepat dan telah sampailah pada saat yang ditunggu-tunggu. Hari sabtu. Malam minggu. Waktu giliran jaga malamku. Semua persiapan telah dilakukan, mulai dari minum kopi, jaket, pentungan, dan terutama udah nyicil tidur dua jam.
Tepat jam sebelas, sesuai aturan yang ada di jadwal, aku meninggalkan rumah menuju pos ronda yang berada di seberang jalan, tepat di depan rumahku. Untung gak jauh... Sepi. Belum tampak satupun batang hidung teman sejawat lainnya. Tengok kanan. Tengok kiri. Serem. Gak ada orang satu pun. Gimana kalo yang nonggol malah om pocong, pakde gendruwo atau tante kunti wuih pasti serem deh. Segera kubuang jauh-jauh pikiran naif itu di dalam kegelapan malam. Kira-kira lima belas menit nongkrong di gardu sendirian. Masih belum ada temen. Ah biar rame... tong... tong... tong... kupukuli tiang listrik biar agak resmi sedikitlah. Sekalian cari temen.
Sepuluh menit kemudian muncul satu orang. Lumayan ada temannya. Tiga puluh menit kemudian di gardu jadi lima orang. Tepat satu jam berlalu delapan orang sudah terkumpul di gardu. Kalau sesuai surat edaran sih harusnya ada tiga belas orang. Lima orang lainnya gak tau kemana.
Setelah sedikit basa basi. Lalu dilanjutkan ngobrol ngalor ngidul. Terungkap bahwa tidak semua setuju dengan kegiatan siskamling ini. Ada yang bilang udah lelah usai kerja seharian kek... kalau week end ada kesibukan kek... gak tahan melek malam kek...gak tahan udara dingin kek... pembagian hari jaga gak konfirmasi dulu kek... Tapi ada pula yang setuju walau tidak banyak. Kesimpulan sementara banyak warga yang tidak setuju, titik.

Satu minggu berlalu. Dua minggu. Tiga minggu. Kegiatan ronda malam terus berjalan, tapi anggotanya makin berkurang. Segala cara dan daya dipakai untuk tidak siskamling misalnya ada seorang warga, sebut saja sukro, ia meminta pindah giliran jaga ke hari jumat. Tapi di hari jumat ia tidak datang. Jika ditanya oleh kelompok jumat, ia bilang sudah pindah di hari kamis. Tapi di hari kamis tidak datang. Jika ditanya oleh kelompok kamis, ia kembali bilang sudah pindah hari rabu dan seterusnya. Ada-ada saja si Sukro ini...

Ada juga yang berjuang dengan melempar wacana. Mengupah satu atau dua orang untuk menggatikan tugas siskamling. Lalu dibayar sekian rupiah. Beres. Lah tipe-tipe orang kayak begini nih biasanya ntar kalau sudah giliran di tengah-tengah nunggaknya duluan. Ada juga yang tak kalah seru usahanya agar kegiatan siskamling ini tidak berjalan yaitu dengan menyebar isu tentang hantu. Katanya ia pernah mendengar ada orang mukul-mukul tiang listrik. Lalu diikuti ke arah suara. Tapi suaranya kemudian berpindah-pindah. Sebentar ke sana. Sebentar lagi pindah lagi. Terus berpindah-pindah. Tapi orang yang yang mukul-mukul tiang listrik gak jelas siapa gerangan. Wuih seremnya... Tapi ada cerita yang lebih serem gak? Tanggung tau ceritanya...

Semua daya dan upaya dari para hater siskamling akhirnya melemah. Semuanya menemui jalan buntu. Alias gak mempan. Lagian pula sekarang malah muncul aturan baru, paska pertemuan warga RT, yang berbunyi bahwa jika ada warga yang tidak hadir saat giliran ronda maka akan dikenakan denda sebesar Rp 25.000,00. 

Yah.. mau gak mau... datanglah siskamling. Bukannya lebih banyak manfaat daripada mudaratnya misalnya pertama, bisa silahturahmi sekalian bertukar cerita dan pendapat. Syukur-syukur bisa ada deal bisnis batu akik kan lumayan. Kedua, lingkungan jadi aman. Dan ketiga, lumayan bisa menghemat Rp 25.000,00 seminggu.

Minggu, 05 April 2015

orang buta



Dalam suatu perjalanan ke tempat kerja, aku mengalami sebuah perjumpaan dengan dua orang buta yang saling menuntun. Keduanya menawarkan koran. Wow... setelahnya perasaanku bercampur aduk. Perasaan terharu tersembul dalam hati. Bayangkan, dua orang yang sama-sama tidak bisa melihat tapi saling menuntun. Berjualan koran pula. Bila ada orang yang membeli, bagaimana mereka mengenali lembaran uangnya? Lalu, bagaimana pula mereka menyusuki uang kembaliannya? Bukankah sepenuhnya akan mengandalkan kepercayaan saja pada sang pembeli. Bagaimana jika si pembeli iseng ? Ah, tapi tega betul jika mengisengi orang buta kayak mereka. 

Di sisi lain lagi, di otakku, yang tersembul malah rasa curiga. Ah... barangkali cuma sebuah strategi mencari uang belaka. Biar orang jatuh iba pada mereka lalu membeli koran dagangan mereka. Syukur-syukur diberi uang lebih karena iba ya toh... dua kali untung bukan! Aku pun berlalu dengan motorku menyisakan ceceran rasa penasaran, di sepanjang jalan, pada kedua orang buta itu.

Hari berganti hari. Dan, waktu pun berlalu dengan segera. Di setiap perjalananku, tidak kujumpai lagi kedua orang buta itu. Kutarik kesimpulan sederhana, ah... barangkali kedua orang itu bosan pura-pura jadi orang buta. Dan lagi pula tidak kuambil pusing... emang gue pikirin...

Hingga suatu siang aku berjumpa dengan seorang dari mereka. Sendirian. Menyusuri, perlahan, jalan yang tak rata dengan tongkatnya. Di tangan kanan, mengapit setumpuk dagangan koran hari ini. Aku berlalu. Tapi, kemudian berhenti kira-kira dua sampai tiga meter setelahnya. Hatiku di kuasai iba. Aku berputar. Menyusul orang buta itu. Berhenti kira-kira satu meter di depannya. Aku pun membeli koran. Kuselipkan selembar sepuluh ribuan di tangannya. Orang buta itu sempat bertanya “berapa uangnya?” Kujawab singkat, “ambil aja kembaliannya dan segera berlalu”. Aku kembali terharu. Bahkan lebih dari yang kemarin. Sekali lagi, luar biasa.

Tapi setelah itu. Kira-kira dua jam dari kejadian. Usai haru biru di hatiku reda. Akal mulai menguasai kembali. Sama seperti kemarin. Bagaimana jika kenyataannya kedua orang itu tidak buta. Dan, ini hanya sebuah cara belaka agar orang terperosok dalam iba. Dan aku adalah salah satu korbannya. Lama sekali aku terombang-ambing. Ah kutepis jauh-jauh pikiran itu. Terserah, mau pura-pura kek... Mau beneran... Pokoknya aku ikhlas titik ujarku dalam hati.

Selanjutnya sebuah pertanyaan yang menggelitik lalu muncul. Mengapa kok aku jadi curiga pada kedua orang buta itu? Hmm... mungkin dunia ini sudah terlalu dijejali oleh kepalsuan sehingga tidak ada lagi yang bisa dipercaya keasliannya. Lihat saja mulai dari gigi palsu, kaki palsu, merek palsu, duit palsu, obat palsu, jeans palsu, ijazah palsu, KTP palsu, akta nikah palsu, bahkan ada pula profesi palsu... Begitu ternyata begitu banyak kepalsuan dalam kehidupan ini. Dan, saking banyaknya yang palsu jadi sangat sulit membedakan mana yang asli.

Aku lalu membuka KBBI, mencari arti kata palsu. Palsu berarti tidak tulen, bisa pula termasuk perbuatan lancung/curang yakni perbuatan meniru dengan maksud menipu dan termasuk perbuatan yang tidak jujur atau curang. Lantas, mengapa bisa muncul yang palsu jika ada yang asli ? Bahkan seringkali malah yang palsu ini yang kemudian jadi pilihan utama.

Aku pun membacai buku-buku, mulai dari buku agama, sejarah, antropologi, filsafat, sosiologi, sampai ekonomi, mencari jawab atas pertanyaanku. Aku pun surfing di dunia maya. Masuk dari halaman ke halaman lain. Membacai artikel-artikel dalam blog. Pun untuk mencari jawab. Aku juga sempatkan berkonsultasi dengan seorang teman, pengajar ilmu sosiologi di salah satu universitas ternama di Surabaya, via surat elektronik. Sekali lagi untuk mencari jawab. Alhasil aku jadi bingung tujuh keliling. Bukan karena sulitnya permasalahan yang kutemui tapi mungkin karena akunya saja yang oon alias bego wkwkwk... Karena pusing akhirnya kutinggalkan begitu saja terserak di meja kerja. Hingga pada suatu malam. Kurang lebih hampir satu tahun berlalu. Baru kuperoleh jawabannya.

Berawal saat aku berkumpul bersama beberapa tetangga di gardu ronda. Di tengah-tangah pembicaraan setengah serius setengah santai. Dan, entah bagaimana pembicaraan tadi diawali. Tapi saat itu seorang tetangga, sebut saja Pak Unus yang berprofesi sebagai pengecer koran harian Tribin yang menguasai daerah pemasaran sepanjang Jalan Teuku Umar Bandarlampung, tengah beropini mengenai teknik pemasarannya yang dianggap andal.

“Kalo menurut saya, menggunakan anjal (anak jalanan) dalam penjualan koran merupakan cara yang ampuh untuk menaikkan oplah” ujarnya di tengah pembicaraan. “Mengapa ?” lalu tanyaku. “Mereka gesit mengejar pembeli,” jawabnya. Aku lalu menceritakan tentang teknik pemasaran yang pernah dipakai oleh sebuah koran nasional di Jogja. “Oh cara itu pernah dipakai oleh koran harian Lampes,” sambungnya. Kemudian Pak Unus melanjutkan,”bahkan koran harian Ridar memanfaatkan jasa orang buta dalam teknik pemasaran eceran.”

“Iya toh ?” aku tercengang.

“Yah... Harapannya jika melihat dua orang buta yang saling menuntun berjualan koran maka orang yang melihat akan jatuh iba dan membeli koran.” Ujar Pak Unus menjelaskan.

“Ha... Ha... Ha... Betul juga! ” aku tertawa tertawa terbahak-bahak. Kena deh...

Jumat, 27 Maret 2015

gondong = nggounduk


“Jangan pernah meremehkan hal yang kecil karena dari hal kecil itu berawal hal lain yang tidak kecil.”

 
Tidak ada angin, tidak ada hujan. Hari rabu pagi , di awal September 2014, saat bangun pagi cerita ini bermula. Pangkal leher dekat telinga terasa kaku bukan main. Kucoba gelengkan kanan kiri tapi masih terasa kaku. “Ah paling bentar lagi sembuh”, pikirku sambil membereskan tempat tidur untuk segera memulai ritual pagi hari. Mencuci popok anakku.
 
Usai mencuci popok badan terasa demam. Leher bertambah kaku. Ketambahan panas lagi di pangkal lehernya. Aku menyempatkan, sebentar berkaca, widih... mukaku tambah bulat. Kayak bulan sedang purnama. Ternyata pangkal leherku bulat. “Ma... pipiku kok bengkak yah ?” aduku pada istri. Tanpa memandang ia menjawab, “gondongan kali”.
 
“Widih dah tua kok masih kena gondong,” sahutku. “ntar pulang kerja ke chandramart beli blau terus diusap-usapin di bagian yang bengkak,” ia menasehati panjang lebar. “Blau... Emang mau nyuci!” sahutku. Dengan demam membara, aku pun pergi ke sekolah.
 
Hari ini kulewatkan dengan panas dingin. Seperti biasanya jika sedang terserang panas dingin alias demam, aku banyak minum. Semakin banyak minum. Semakin banyak kencing. Tapi ternyata panas tidak kunjung menjadi sejuk. Malahan sekarang “burung”-ku sakit jika harus berjalan buang kencing. Usai mengadakan penelitian sederhana pada tubuhku ternyata salah satu pusakaku bengkak. Waduh... bagaimana ini cuma punya dua, satunya bengkak. Kacau. “Kok pusakaku bisa ikut-ikutan bengkak ya mam?” Aku bertanya pada istriku. “Azab kali itu pa...” ujar istriku. “Enak aja,” jawabku sewot.
 
Di sekolah, di hari berikutnya, kusempatkan membuka artikel di internet. Usai buka sana buka sini ternyata aku benar-benar terserang gondong. Gondongan atau parotitis epidemika atau mumps adalah penyakit akut dan menular yang ditandai dengan pembesaran kelenjar ludah terutama kelenjar parotis. Kelenjar parotis ini terletak di depan telinga sehingga bila membengkak maka wajah seseorang tampak tembem dengan benjolan dari bawah telinga hingga bagian tengah pipi. Penyakit ini dapat menyerang siapa saja.
 
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan dapat menyerang pada segala musim. Penyebab utama gondongan adalah virus dari golongan paramyxovirus. Setelah virus masuk kedalam tubuh, virus akan menuju epitel saluran pernafasan untuk memperbanyak diri kemudian virus menyebar ke seluruh tubuh melalui saluran getah bening menuju kelenjar ludah dan organ lainnya termasuk susunan saraf pusat (otak dan saraf spinal), pankreas, indung telur (ovarium), dan buah zakar (testis).
 
Hari ke tiga, tetap kulalui dengan pengabdian dan perjuangan. Tapi usai mengajar 3 jam akhirnya aku menyerah... Aku kibarkan bendera kuning eh putih. Menyerah. Aku minta ijin pulang. Gak kuat lagi... Kantung menyan ini terasa sakit bukan main saat naik turun tangga usai mengajar. Plus, tubuh yang panas membara. Kian menambah derita nestapa. Dan sampai saat ini, aku belum mau dibawa ke dokter. Takut disuntik...
 
Karena omelan bertubi-tubi dari istri, aku pun merelakan diri digiring ke rumah sakit (rumkit). Aku pun ke rumkit pinggir bypass. Usai diperiksa dengan seksama maka divonis harus opname. Tapi tidak ada kamar kosong. Jadi aku harus dikirim ke rumkit lain.
 
Ada tiga pilihan. Rumkit di jalan urip sumoharjo. Rumkit di jalan gajah mada. Rumkit di jalan wolter mongonsidi. Rumkit pilihan ketiga, tidak. Alasannya jauh. Rumkit pilihan pertama, sangat tidak. Alasannya banyak. Pertama, temanku dan tetanggaku matinya di sana. Jadi aku gak mau ntar ikut-ikutan mati di sana. Konyol, tapi mendasar bagiku. Kedua, aku pernah kecebur got di sana sampai seminggu gak bisa jalan. Ketiga, temanku pernah opname di sana dan kebanjiran. Keempat, tempatnya serem, katanya banyak hantu, atut... Dan didukung tidak alasan memberatkan memilih ke rumkit pilihan kedua maka aku pun setuju untuk di opname di rumkit pilihan kedua.
 
Ternyata jauh bara dari api. Gedung rumkit yang keren. Mentereng. Tidak menjamin pelayanan yang keren. Di rumkit ini aku terlantar. Tidak terurus. Emang sih fasilitas VIP tapi pelayanan kelas empat. Alhasil bukan jadi sembuh malahan pusakaku yang kanan ikutan temennya, bengkak. Cilaka dua belas...
 
Setelah tiga malam dua hari. Malam-malam sekali, istriku ditemani adik iparku bertekat sangat bulat untuk memindahkanku. Dan setelah melalui birokrasi yang ruwet dan bertele-tele, aku pun pindah ke rumkit pinggir bypass. Singkat cerita, aku, sudah menghabiskan empat malam lima hariku, delapan botol infus, lima botol suntikan, dan duit hampir tujuh juta rupiah. Semua karena gondong. Sakit gondong termahal yang kutahu... Huh, bikin nggounduk aja ni sakit. Makanya jangan pernah meremehkan hal yang kecil karena dari hal kecil itu berawal hal lain yang tidak kecil.