Dalam kristenisme, tubuh adalah bait Allah. Karena manusia secitra dengan
Allah maka Allah tinggal pula di dalam tubuh manusia. Maka tubuh itu suci. Oleh karena itu harus dijaga. Tidak boleh
tercemar. Ada pula yang bilang tubuh ibarat kanvas. Dan manusia berkuasa penuh
atas tubuhnya. Maka tubuh bisa berfungsi sebagai media untuk dipenuhi berbagai ide.
Ditempeli simbol-simbol dari agama, fashion, etnis, sampai ideologi. Dilumuri
hedonisme. Showroom produk
kapitalisme.
Tapi bagiku tubuh adalah lembaran sejarah hidup. Banyak kisah yang
tergores di tubuh. Goresan-goresan yang secara alami membekas. Tidak merasa
terpaksa walau dipaksakan. Tubuh ibarat arca yang dibentuk oleh sang perupa,
demikian pula tubuh terbentuk.
Bicara soal bentuk. Bentukku yang sekarang adalah bulat besar. Alias tambun.
Bila dalam dunia kesehatan barangkali termasuk dalam kategori obesitas. Tapi tak
disangka kalau dulu aku terlahir dan bertumbuh sebagai anak yang tergolong
kurus plus sakit-sakitan. Satu bulan sehat terus sakit. Begitu terus. Dan
seingatku, saat sampai menamatkan sekolah dasar pun jarum timbangan badanku
tidak pernah melampaui angka 30 kg. Bahkan almarhum ibuku sering meledekku
dengan sebutan bungkring. Alias
kurus. Loh, kenapa bisa jadi seperti sekarang ? Panjang ceritanya...
Rambut. Di rambutku pun ada kisah yang tergores. Gundul. Tak berambut.
Itulah yang menjadi ikonku sekarang. Bukan karena alasan fashion biar mirip Michel Foucault atau Pep Guardiola. Tapi, karena
rambutku tipis. Tidak tebal. Dan satu lagi nih, jidatku kelewatan mundurnya
jadi kayak jidatnya para profesor... mending kalo pinter beneran, sayangnya
otakku ini tergolong pentium 2 itu pun plus surung... Jadi, karena jidat inilah
membuatku kadang diledeki ketua PERBAKIN,
bukan persatuan menembak dan berburu indonesia tapi persatuan batuk kinclong. Karena alasan itulah aku memilih menggunduli rambutku. Selain
terlihat keren, alasan lainnya adalah gundul itu salah satu bentuk anti aging karena uban tidak bakalan selfie di atas kepala kita.
Luka. Luka di tubuh merupakan pahatan kisah sejarah hidup manusia. Jadi hieroglyp yang cuma bisa dibaca dan
dimaknai sang pemilik. Dan, seperti salah satu iklan rokok di televisi bahwa
setiap luka punya cerita. Aku pun punya bekas luka. Bahkan tidak cuma satu.
Luka pertama yang membekas adalah luka di tumit kaki kiriku. Memanjang
kira-kira 5 cm. Luka dari masa kanak-kanak, yang kudapat karena ditegur oleh Tuhan karena menghindar
dari panggilan suci. Luka akibat tertusuk pecahan botol saat bermain dalam kubangan
lumpur di belakang rumah usai membolos pelajaran agama katolik di sekolah.
Aku juga punya luka di hidung. Luka yang nyaris merobek hidung yang pesek
ini. Luka ini kudapat juga dari teguran Tuhan. Kali ini Tuhan menegurku karena
aku membantah nasihat ibuku untuk tidak mudik dari lampung menuju lahat
menggunakan motor. You are right mom...
Aku mengalami kecelakaan di sekitar Blambangan Pagar, Lampung Utara. Aku menabrak
pagar rumah orang karena mengantuk. Banyak luka di tubuhku saat itu, salah
satunya di hidung. Luka dengan tiga jahitan.
Dulu, aku punya luka satu lagi. Di sini nih... di dalam hatiku. Lukanya
kudapat saat mantan tunanganku memutuskan hubungan sepihak. Yah maklum LDR, long distance relationship. Tapi itu
dulu. Sekarang gak lagi. Udah dapat ganti yang lebih hebat dan luar biasa.
Ups hampir lupa, tampaknya pandangan bahwa manusia adalah citra atau
gambar Tuhan barangkali jadi pengecualian bagiku. Masak tampang sepertiku ini
adalah citra Tuhan...? Mungkin kala
Tuhan tengah mencari inspirasi sesaat hendak mencipta aku, seekor monyet lewat
di hadapannya dan cling... terinspirasilah mencipta aku wkwkwkwk...