Jumat, 21 Juni 2013

cita-cita

Aku memiliki seorang keponakan, mario namanya. Seorang bocah yang menggemaskan layaknya bocah-bocah seusianya. Tapi, ada satu hal yang menarik dari tingkah polahnya keseharian, yakni cita-citanya. Yah, ia memiliki cita-cita yang lucu, tidak tinggi dan tidak keren, seperti kebanyakan anak-anak sebayanya.

Pernah suatu kali, ia kesana kemari mendorong-dorong kursi roda eyang kakungnya. Ketika kutanya, “adek tuh ngapo ?” lalu dia menjawab, “adek nih nak jadi tukang becak”. Gubrak... Sontak, aku tertawa terpingkal-pingkal. Cita-cita kok jadi tukang becak. Lalu kutanya, “ngapo kok nak jadi tukang becak ?” Ia pun menjawab, “adek seneng naik becak.”

Pernah pula, ia memakai baju eyang kakungnya. Kalungan rosario. Berjalan membawa gelas. Lalu, berhenti di depan orang-orang yang ia jumpai lalu berujar “ubuh kistus” Ha... Ha... Ha... Rupanya, sekarang, ia hendak jadi seorang pastor. Lumayan pikirku.

Pernah lagi, ia kembali mendorong-dorong kembali kursi roda eyang kakungnya. Kali ini, tidak cuma kursi roda tapi dilengkapi tutup panci bekas, sendok, dan beberapa keranjang mainan. Kemudian, dengan aksen cadelnya, nyaring berteriak sambil memukuli tutup panci bekas, “eis kim... eis kim...” Untuk kedua kalinya, gubrak...

Biasanya, setiap anak, selalu menjawab cita-cita yang tinggi dan keren bila ditanya apa cita-citanya. Jadi astronout. Pilot. Dokter. Insinyur. Polisi. Atau, menjadi tentara. Jawaban-jawaban itu sesuai sungguh dengan hakikat kata cita-cita itu sendiri, yakni suatu tujuan yang sempurna yang akan dicapai atau dilaksanakan. Bahkan, ada sebuah ungkapan yang mengatakan agar kita mengantungkan cita-cita setinggi bintang-bintang di langit.

Tapi, biasanya, meski tak semua, cita-cita seorang anak merupakan “paksaan” dari orang tuanya. Orang tua mendoktrin bahwa jadi tentara itu gagah karena bawa senjata. Jadi dokter itu mulia karena bisa ngobatin orang. Jadi dosen itu bergengsi karena kerjanya lebih pakek otak daripada okol. Ini itulah deh pokoknya... Atau, bisa juga anak menjadi tumbal kegagalan orang tuanya. Orang tua gagal jadi tentara terus anaknya didandani layaknya tentara.

Lalu, hal-hal tersebut ditanamkan terus-menerus dalam alam bawah sadar. Yah, semacam cuci otak. Bahkan ada pula orang tua yang sampai benar-benar memaksa si anak untuk menjadi seperti kehendak mereka. Yah seperti itu tadi, memakaikan baju tentara supaya besok anaknya jadi tentara. Ada pula yang mengeleskan anaknya piano supaya anaknya jadi musisi. Memaksa anaknya kuliah di fakultas ekonomi padahal anaknya senang bermusik.

Apakah suatu cita-cita harus tinggi, atau keren, atau sempurna ? Atau, haruskah selalu dijawab oleh anak-anak, ketika ditanya apa cita-citamu, menjadi dokter. Atau insinyur, atau tentara ? Mengapa tidak dibiarkan anak-anak memiliki cita-cita berdasarkan kesukaannya.

Aku memiliki kawan yang keluar dari kuliahnya di fakultas ekonomi. Gara-gara, ia ingin jadi aktor teater. Sementara, orang tuanya berharap ia memiliki gelar S1. Cita-cita itu membuatnya kemudian tak lagi mendapat uang kiriman bulanan. Untuk tidur, ia harus menumpang di kamar kost teman-temannya. Untuk makan, ia harus mendapat dari belas kasih teman-temannya. Nyatanya, berkat totalitas, kegigihan, dan bondho nekat, ia sukses. Selayaknya tidak perlu mempersoalkan cita-cita seorang anak, yang terlebih penting adalah memberikan jalan dan membantunya mewujudkan cita-citanya.

Minggu, 16 Juni 2013

BG 1912 E

Ada sebuah kebiasaan baru yang dalam beberapa bulan terakhir ini, baik secara sadar maupun secara spontan, kerap kulakukan yakni memandangi pelat nomor mobil. Entah saat mengendarai motor atau saat duduk manis di dalam mobil. Mataku selalu menjadi liar berburu saat berada di antara keramaian jalan. Hinggap di satu mobil dan cepat beralih ke mobil-mobil lainnya. Perburuanku terutama menargetkan mobil-mobil berwarna hitam, lebih khususnya lagi mobil yang bermerek terios. Yah, buruanku adalah sebuah mobil terios hitam.

Kebiasaan ini timbul bukan karena kegemaranku pada mobil terios. Bukan pula karena keinginanku memiliki mobil jenis tersebut. Tetapi, karena aku mencari mobil terios hitam milik ayahku yang hilang.

Ada yang mau tahu kenapa mobil itu bisa hilang ?

Begini ceritanya. Pada awal 2009, seorang bekas murid ayah menawarkan sebuah bisnis investasi, bertani uang katanya saat kali pertama menawarkan bisnis tersebut. Orang itu bernama eka efri saputra ( boleh dibaca bajingan tengik ). Saat itu, Ia memiliki sebuah perusahaan investasi berbentuk CV yang dinamai eka pioner. Dalam pemaparan, dijanjikan bila menginvestasikan sejumlah uang, minimal 10 juta rupiah, maka akan mendapatkan bunga 4% pada bulan ke tiga. Dan, bila bisa mengajak orang lain menjadi investor maka akan mendapat bagian bunga 1%. Lalu, bila bisa menginvestasikan minimal 300 juta rupiah maka dijanjikan akan beroleh bonus berupa mobil terios.

Karena bunga yang menjanjikan plus iming-iming bonus mobil maka ayah memutuskan menginvestasikan seluruh tabungannya. Beliau pun giat mencari down line untuk memenuhi target memperoleh mobil. Bahkan tak cuma itu beliau pun nekat meminjam uang di bank, dengan menggadaikan SK PNS-nya, untuk ditanamkan di bisnis investasi tersebut. Total uang yang terinvestasi sudah mencapai 170 juta rupiah, masih jauh panggang dari api. Tapi, karena sang bos adalah mantan muridnya maka perlakuan khusus pun diberikan. Ayah dijanjikan mendapat sebuah mobil terios, segera setelah mengurus syarat administrasi.

Sebuah kejanggalan yang kutemui saat ayah mengurusi syarat administrasi. Ternyata, mobil yang dijadikan bonus diperoleh dengan cara kredit, bukan dibeli tunai, yang lebih fatalnya semua dokumen kredit mengatasnamakan ayah. Jadi, dengan kata lain ayah lah yang mengredit mobil.

“Loh, mobilnya kreditan toh kung? Loh, kok semua dokumen ini pake nama kung? Kan ini hadiah jadi harusnya pake nama eka dong. Kalo ntar ada apa-apa gimana?” ujarku menegur kejanggalan ini.

“Cuma untuk administrasi tok,”  jawab ayah, singkat tapi sedikit dinadai jengkel.  Mungkin karena saat itu beliau tengah terbakar semangat memiliki mobil, yang selama ini tak pernah dimiliki oleh keluarga kami. Pun, karena watak keras kepala ayah, aku memutuskan tidak untuk meneruskan pertanyaan-pertanyaan.

Sekitar awal Januari 2012, mobil pun datang. Mobil terios hitam. Ayah tersenyum bahagia. Dan juga kedua keponakanku, Laura dan Mario, bukan kepalang gembira bak menyambut kedatangan anggota keluarga baru. Tiap saat selalu saja mereka minta naik mobil. Dan, ayah serta aku dan mbakku turut pula naik mobil. Hidupkan mesin. Hidupkan AC. Hidupkan radio. Mobilnya gak jalan gak masalah. Hmmm... beramai-ramai menghirup aroma kemewahan.

Satu minggu setelah kedatangan mobil aku pun dipaksa ayah kursus setir mobil. Siapa yang tidak mau. Aku lalu belajar nyopir di kursus setir dekat GOR Gelora Serame. Juga belajar nyopir dengan om Samiyo. Setelah mahir, kami sekeluarga hampir tiap hari selalu berkeliling kota menikmati kemewahan.

Bulan berganti. Hari pun berlalu. Setelah kurang lebih mobil sudah delapan bulan bertengger di garasi, pembayaran cicilan dari Eka Pioner mulai seret. Malahan pernah ayah harus merogoh dari kocek sendiri. Sama halnya dengan pembayaran profit kepada investor.

Sampai pada suatu hari di bulan oktober, eka efri saputra menelepon ayah. Ia  bermaksud meminjam mobil untuk akomodasi dalam rangka memperluas jaringan bisnis di Lampung. Orang itu berjanji mengembalikan mobil dua bulan kemudian. Atas dassar percaya, ayah lalu memberikan dengan sukarela.

“kagek idak dibaleke loh kung,” ujar mbakku, saat itu, mengingatkan ayah. Ayah cuma diam. Dan, tetap memberikan kunci mobil. Sampai tulisan ini dibuat. Mobil belum kembali. Dan, entah dimana mobil itu berada. Padahal segala cara sudah ditempuh untuk mencari. Mulai dari minta tolong teman yang seorang polisi. Sampai menyewa buser. Terakhir, enam bulan setelah mobil dipinjam, ayah melaporkannya ke kepolisian sebagai mobil hilang.

Entah sampai kapan mataku ini tidak lagi jadi liar saat di jalanan. Berburu. Hinggap dari satu mobil ke mobil yang lain. Mengincari mobil-mobil berwarna hitam. Tepatnya, terios hitam bernomor polisi BG 1912 E.

Selasa, 11 Juni 2013

Masyarakat Bergunjing

Tanpa disadari kita hidup dalam masyarakat yang sangat menggemari bergunjing. Memperbincangkan orang lain. Mulai dari model rambut. Make up yang terlalu tebal. Kaca mata yang terlalu mencolok. Pakaian yang norak. Cara berjalan yang lebay. Apa saja. Selalu saja ada hal dan orang yang dipergunjingkan.

Dan, di mana saja selalu bertemu dengan orang-orang yang sangat suka menggunjing orang lain. Tidak di kantor. Tidak di arisan. Tidak di rumah. Tidak saat bekerja. Tidak saat bersantai. Tidak saat memasak. Bergunjing sungguh tidak mengenal ruang dan waktu.

Gunjingan mengalir deras seperti aliran sungai. Dari mulut bergincu tebal sampai mulut beraroma rokok. Hinggap di telinga satu ke telinga lain. Cepat. Bahkan kabarnya lebih cepat dari membuat teh celup.

Gunjingan juga seperti jelangkung. Datang tak diundang pergi tak diantar. Selalu muncul hal menarik yang digunjingkan. Muncul lagi. Padahal masalah yang lama sebelum sempat diverifikasi dan klarifikasi.

Memang harus diakui bila menggunjingkan orang lain digemari banyak orang karena merupakan perpaduan antara jadi detektif sekaligus wartawan. Membongkar sebuah misteri. Top Secret. Lalu jadi hakim. Mengatakan ini bener dan ini gak bener. Lalu jadi ustad. Harusnya begini dan harusnya begitu.

Bahkan, lalu kesukaan bergunjing ini terbaca oleh bisnis, terutama bisnis hiburan, selanjutnya dikemas jadi produk andalan. Lihatlah di televisi, beragam tayangan yang bergunjing. Ada cek & ricek, silet, Kiss, insert dan masih banyak lainnya. Bisnis, sepertinya, berlomba-lomba mengajari dan memprovokasi masyarakat bergujing.

Artis yang berulang tahun. Digunjingkan, mulai dari pesta ulang tahun yang terlalu foya-foya, menghambur-hamburkan uang. Hadiah mewah yang didapat. Atau, karena perilaku hedonisnya. Seorang artis yang makan siang. Digunjingkan, makan dengan siapa. Dimana? Makan apa aja. Emang penting ! Lalu, artis yang jalan-jalan. Juga digunjingkan. Artis yang putus cinta. Digunjingkan lagi. Artis yang hendak menikah. Digunjingkan pula. Semua digunjingkan. Semua dikemas jadi berita. Berita heboh. Semua diungkap. Semua ditelajangi. Tanpa batas. Huh... lama-lama ada artis yang beol juga digunjingkan pula. Wuuu... Wesenya keren. Wuuu... tainya wangi. Wuuu... ini ! Wuuu... itu ! pokoknya wuuu... deh !

Kadang kala terasa jenuh. Sebal. Bila masalah kecil dan gak penting mulai  dipergunjingkan seolah-olah hal itu penting. Tapi kadang kala tanpa disadari terjebur juga. Basah kuyub di kedalaman pergunjingan. Hingga pada suatu titik, tersembul sebuah pertanyaan. Mengapa kita bergunjing ?

Bergunjing, menurut KBBI, berarti berbicara ( beromong-omong ) tentang kejelekan ( kekurangan ) seseorang dan sebagainya. Bila dianalisa secara sederhana, manusia adalah mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial, manusia hidup di antara atau bersama-sama dengan manusia lain. Dalam kebersamaannya dengan manusia lain, seorang manusia pasti akan berelasi. Relasi tersebut salah satunya dengan cara berbicara. Berbicara apa saja. Bisa  tentang keluarga. Atau, tentang kebiasaan. Atau, tentang pengalaman. Semakin komplek kehidupan manusia semakin komplek pula hal yang dibicarakan. Nah, bisa jadi salah satu yang dibicarakan tentang kejelekan orang lain.

Pertanyaan selanjutnya, mengapa dia, aku, mereka, atau semua menyukai bergunjing ?

Seseorang merasa dirinya diakui oleh orang lain saat dirinya up date. Saat ia mengerti informasi terbaru ini-itu tentang seseorang yang tidak diketahui oleh orang lainnya. Bukankah bila kita melihat hirarki kebutuhan maslow, pengakuan orang lain dan aktualisasi diri merupakan kebutuhan puncak seseorang. Di saat makanan, pakaian dan tempat tinggal bukan lagi masalah maka seseorang akan memenuhi kebutuhannya akan pengakuan dari orang lain.  Dan, jika kebutuhan tersebut terpenuhi maka manusia mencapai kepuasan. Itulah yang membuat orang suka bergunjing.

Lalu, apakah bergunjing itu salah ?

Bila berdasar pada pemikiran Aristoteles (384-322 SM), bahwa manusia adalah binatang yang rasional (rational animal). Hal yang membedakan manusia dari hewan adalah kemampuannya untuk menggunakan akal budi, guna membuat keputusan dan memahami dunia tempat tinggalnya. Selanjutnya, manusia bisa menjadi manusia seutuhnya, karena ia mampu berpikir, dan bertindak seturut dengan pikirannya itu (Reza AA Watimena). Maka, bergunjing bisa menyebabkan manusia salah membuat keputusan dan memahami dunia tempat tinggalnya. Mengapa ? Karena keputusan tidak dibuat berdasarkan akal budi tetapi karena menjadikan pergunjingan sebagai data dalam mengambil keputusan. Dan, ketika seorang manusia salah membuat keputusan dan memahami dunia tempat tinggalnya, relasi dengan manusia lain atau masyarakatnya bisa terganggu. Oleh karena itu kerap dijumpai ada pertengkaran antar anggota masyarakat yang awalnya disebabkan oleh bergunjing.

Nah... makanya jangan suka bergunjing. Ngomong apa adanya. Ngobrolin hal-hal yang baik aja dari orang lain. By the way tahu gak kalau bela, tetangga sebelah, ternyata simpenan om-om loh ?