Minggu, 05 April 2015

orang buta



Dalam suatu perjalanan ke tempat kerja, aku mengalami sebuah perjumpaan dengan dua orang buta yang saling menuntun. Keduanya menawarkan koran. Wow... setelahnya perasaanku bercampur aduk. Perasaan terharu tersembul dalam hati. Bayangkan, dua orang yang sama-sama tidak bisa melihat tapi saling menuntun. Berjualan koran pula. Bila ada orang yang membeli, bagaimana mereka mengenali lembaran uangnya? Lalu, bagaimana pula mereka menyusuki uang kembaliannya? Bukankah sepenuhnya akan mengandalkan kepercayaan saja pada sang pembeli. Bagaimana jika si pembeli iseng ? Ah, tapi tega betul jika mengisengi orang buta kayak mereka. 

Di sisi lain lagi, di otakku, yang tersembul malah rasa curiga. Ah... barangkali cuma sebuah strategi mencari uang belaka. Biar orang jatuh iba pada mereka lalu membeli koran dagangan mereka. Syukur-syukur diberi uang lebih karena iba ya toh... dua kali untung bukan! Aku pun berlalu dengan motorku menyisakan ceceran rasa penasaran, di sepanjang jalan, pada kedua orang buta itu.

Hari berganti hari. Dan, waktu pun berlalu dengan segera. Di setiap perjalananku, tidak kujumpai lagi kedua orang buta itu. Kutarik kesimpulan sederhana, ah... barangkali kedua orang itu bosan pura-pura jadi orang buta. Dan lagi pula tidak kuambil pusing... emang gue pikirin...

Hingga suatu siang aku berjumpa dengan seorang dari mereka. Sendirian. Menyusuri, perlahan, jalan yang tak rata dengan tongkatnya. Di tangan kanan, mengapit setumpuk dagangan koran hari ini. Aku berlalu. Tapi, kemudian berhenti kira-kira dua sampai tiga meter setelahnya. Hatiku di kuasai iba. Aku berputar. Menyusul orang buta itu. Berhenti kira-kira satu meter di depannya. Aku pun membeli koran. Kuselipkan selembar sepuluh ribuan di tangannya. Orang buta itu sempat bertanya “berapa uangnya?” Kujawab singkat, “ambil aja kembaliannya dan segera berlalu”. Aku kembali terharu. Bahkan lebih dari yang kemarin. Sekali lagi, luar biasa.

Tapi setelah itu. Kira-kira dua jam dari kejadian. Usai haru biru di hatiku reda. Akal mulai menguasai kembali. Sama seperti kemarin. Bagaimana jika kenyataannya kedua orang itu tidak buta. Dan, ini hanya sebuah cara belaka agar orang terperosok dalam iba. Dan aku adalah salah satu korbannya. Lama sekali aku terombang-ambing. Ah kutepis jauh-jauh pikiran itu. Terserah, mau pura-pura kek... Mau beneran... Pokoknya aku ikhlas titik ujarku dalam hati.

Selanjutnya sebuah pertanyaan yang menggelitik lalu muncul. Mengapa kok aku jadi curiga pada kedua orang buta itu? Hmm... mungkin dunia ini sudah terlalu dijejali oleh kepalsuan sehingga tidak ada lagi yang bisa dipercaya keasliannya. Lihat saja mulai dari gigi palsu, kaki palsu, merek palsu, duit palsu, obat palsu, jeans palsu, ijazah palsu, KTP palsu, akta nikah palsu, bahkan ada pula profesi palsu... Begitu ternyata begitu banyak kepalsuan dalam kehidupan ini. Dan, saking banyaknya yang palsu jadi sangat sulit membedakan mana yang asli.

Aku lalu membuka KBBI, mencari arti kata palsu. Palsu berarti tidak tulen, bisa pula termasuk perbuatan lancung/curang yakni perbuatan meniru dengan maksud menipu dan termasuk perbuatan yang tidak jujur atau curang. Lantas, mengapa bisa muncul yang palsu jika ada yang asli ? Bahkan seringkali malah yang palsu ini yang kemudian jadi pilihan utama.

Aku pun membacai buku-buku, mulai dari buku agama, sejarah, antropologi, filsafat, sosiologi, sampai ekonomi, mencari jawab atas pertanyaanku. Aku pun surfing di dunia maya. Masuk dari halaman ke halaman lain. Membacai artikel-artikel dalam blog. Pun untuk mencari jawab. Aku juga sempatkan berkonsultasi dengan seorang teman, pengajar ilmu sosiologi di salah satu universitas ternama di Surabaya, via surat elektronik. Sekali lagi untuk mencari jawab. Alhasil aku jadi bingung tujuh keliling. Bukan karena sulitnya permasalahan yang kutemui tapi mungkin karena akunya saja yang oon alias bego wkwkwk... Karena pusing akhirnya kutinggalkan begitu saja terserak di meja kerja. Hingga pada suatu malam. Kurang lebih hampir satu tahun berlalu. Baru kuperoleh jawabannya.

Berawal saat aku berkumpul bersama beberapa tetangga di gardu ronda. Di tengah-tangah pembicaraan setengah serius setengah santai. Dan, entah bagaimana pembicaraan tadi diawali. Tapi saat itu seorang tetangga, sebut saja Pak Unus yang berprofesi sebagai pengecer koran harian Tribin yang menguasai daerah pemasaran sepanjang Jalan Teuku Umar Bandarlampung, tengah beropini mengenai teknik pemasarannya yang dianggap andal.

“Kalo menurut saya, menggunakan anjal (anak jalanan) dalam penjualan koran merupakan cara yang ampuh untuk menaikkan oplah” ujarnya di tengah pembicaraan. “Mengapa ?” lalu tanyaku. “Mereka gesit mengejar pembeli,” jawabnya. Aku lalu menceritakan tentang teknik pemasaran yang pernah dipakai oleh sebuah koran nasional di Jogja. “Oh cara itu pernah dipakai oleh koran harian Lampes,” sambungnya. Kemudian Pak Unus melanjutkan,”bahkan koran harian Ridar memanfaatkan jasa orang buta dalam teknik pemasaran eceran.”

“Iya toh ?” aku tercengang.

“Yah... Harapannya jika melihat dua orang buta yang saling menuntun berjualan koran maka orang yang melihat akan jatuh iba dan membeli koran.” Ujar Pak Unus menjelaskan.

“Ha... Ha... Ha... Betul juga! ” aku tertawa tertawa terbahak-bahak. Kena deh...