Minggu, 14 Juli 2013

Tinju


Emang kenapa sih harus nonton tinju ? Apa coba menariknya tinju ? Orang gebuk-gebukan gitu ditonton. Selalu pertanyaan dan pernyataan itu yang terus kumunculkan saat entah teman, tetangga, pakde, paklik, kakak ipar, bapakku, atau bapak mertua, atau siapa saja memilih nonton siaran langsung pertandingan tinju di televisi. Lalu, jika pertanyaan dan pernyataan yang kulempari itu tetap saja membuat sang penguasa remote control bergeming maka lebih baik bagiku berlalu, mencari kegiatan lain.
Dan, kenapa juga tinju mesti diakui sebagai salah satu bentuk olahraga ? Kan mestinya olah raga itu gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh. Apakah tinju membuat tubuh seseorang jadi sehat ? Yah, ketika berlatih saat mempersiapkan pertandingan. Tapi, ketika bertanding ? Tidak. Muka jadi babak belur. Pelipis sobek. Mata bengep-bengep. Bibir pecah, berlumur darah. Kemudian jatuh tersungkur tak sadarkan diri, KO atau TKO. Bahkan mati. Wikipedia mencatat sudah banyak petinju yang mati. Di Indonesia saja, dari tahun 1948 sampai 2013 tercatat sudah 30 orang petinju mati. Belum lagi para petinju terancam akan mengalami kerusakan ginjal, gejala sindrom parkinson, atau kerusakan selaput membran otak karena terlalu banyak mengalami pukulan, jadi kayak Muhammad Ali tuh... Coba dibandingkan dengan cabang olah raga yang lain semisal renang, senam, lari, atau bila dibandingkan dengan olah raga bela diri yang lain semacam kempo, judo, atau pencak silat. Ada petarungan tapi tanpa saling menyakiti. Tanpa kekerasan. Dan, tanpa darah yang berceceran.
Tinju tuh lebih tepatnya disebut hiburan. Mengapa ? Karena nggak ada bedanya dengan sabung ayam ? Atau dengan adu cupang ? Lihat aja ketika kedua petinju saling bertukar pukulan. Saling melempar jab. Membalasi dengan saling straight. Lalu memberikan hook yang bertubi-tubi. Bergantian menguppercut . Penonton pun bersorak. Jadi histeris. Semakin ramai jual beli pukulan. Semakin keras sorak-sorai. Dan, ketika salah satu petinju mulai berdarah. Terhuyung. Lalu ambruk. Sorak-sorai itu kian menjadi-jadi. Sang pemenang pun disambut bak pahlawan. Bergembira karena petarung jagoannya tetap berdiri sementara petarung satunya lagi ambruk bersimbah darah. Atau malah mati. Sama kan dengan sabung ayam ? Ada darah. Ada yang terluka atau mati. Ada sorak sorai. Ada kepuasan. Ada kegembiraan. Ada hiburan. Kenapa petinju yang kalah gak dibeleh aja sekalian, lalu dimasak jadi gulai kayak ayam yang kalah.
Bila dipikir-pikir kok jadinya lebih berharga ayam daripada manusia. Bila ada arena sabung ayam, polisi atau organisasi masyarakat yang sok agamawi segera menggerebek. Menangkap para pelaku. Kadang pula menyita ayam-ayam untuk jadi barang bukti. Dan, memberitakannya di televisi sebagai sebuah kriminalitas. Tapi, ketika ada pertandingan tinju, mengapa polisi atau organisasi masyarakat yang sok agamawi itu kok tidak menggerebek ? Kenapa kok mereka tidak menangkapi para penonton dan promotor ? Lalu menyita sarung tinju atau ring tinjunya sekalian untuk dijadiin barang bukti ? Apakah alasannya karena di dalam sabung ayam jadi arena perjudian ? Jika begitu alasannya, dalam tinju ada pula judi. Barangkali para penggerebek itu kecipratan rejeki ketika pertandingan tinju digelar. Bila begitu, bukankah bisa diartikan bahwa adu ayam itu tidak boleh, tapi adu manusia boleh. Kan, bisa berarti pula bahwa ayam lebih berharga dari manusia dong ?
Mengapa masih saja ada orang yang menggemari nonton tinju ? Mengapa mereka begitu bersorak-sorai ketika semakin banyak pukulan yang terjadi ? Mengapa mereka sangat terhibur saat ada salah satu petinju yang jatuh tersungkur, KO atau TKO ? Apakah berarti mereka menyukai kekerasan ? Apakah berarti sebetulnya manusia tidak bisa lepas dari kekerasan ? Lalu, untuk menghaluskan citra kekerasan pada tinju manusia memanipulasinya sebagai olah raga dan hiburan ?