Laporan yang disampaikan Menteri Sudirman Said kepada Mahkamah
Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI tentang adanya pencatutan nama Presiden Republik
Indonesia oleh Setya Novanto, Ketua DPR RI, telah menimbulkan reaksi di
masyarakat. Mulai dari pemuka agama, kalangan LSM, praktisi politik sampai
rakyat kebanyakan mengemukakan pendapat. Mereka mendesak agar Setya Novanto
mundur sebagai ketua DPR RI karena telah melakukan perbuatan tidak baik.
Kira-kira satu bulan lebih masyarakat dihidangkan perdebatan tentang etika
politik pejabat publik. Akhirnya pada Rabu, 16 Desember 2015, beberapa saat
sebelum MKD memutuskan hasil sidang, Setya Novanto menyatakan pengunduran dirinya
sebagai Ketua DPR RI.
Tanpa bermaksud ikut meramaikan pembicaraan terkait pencatutan
nama Presiden, ada hal kecil di sana yang terlihat kurang penting tetapi cukup
menarik untuk dibahas yaitu penggunaan kata “mencatut”.
Kata mencatut berasal dari kata dasar catut. Kata catut menurut
KBBI (Balai Pustaka, 1995) memiliki arti
angkup atau penjepit yang bentuknya seperti paruh burung kakak tua. Catut digunakan
untuk mencabut janggut. Atau di dalam istilah pertukangan catut digunakan untuk
mencabut paku. Jika kata catut dilekati awalan me (→ men)
maka akan menjadi mencatut yang berarti mencabut, contoh kalimat : tukang kayu itu mencatut paku dari papan.
Tetapi pada kalimat Setya Novanto mencatut nama Presiden
Republik Indonesia, kata mencatut
dalam KBBI (Balai Pustaka, 1995) bukan cuma berarti mencabut
melainkan menyalahgunakan kekuasaan, nama orang, atau jabatan untuk mencari
untung. Kata mencatut telah mengalami
perubahan makna.
Perubahan makna adalah berubahnya makna suatu leksem atau satuan leksikal. Perubahan makna
tersebut dapat berupa perubahan konsep dan atau perubahan nilai rasa. Menurut
Manaf, perubahan makna dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (1) perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi, (2) perkembangan sosial budaya, (3) perkembangan pemakaian kata, (4) pertukaran tanggapan indra, (5) adanya asosiasi, (6) proses gramatikal, dan (7) pengembangan istilah (Ragil, 2013).
Perubahan makna pada
kata mencatut terjadi sebagai akibat adanya
asosiasi. Asosiasi adalah hubungan antara makna asli dengan makna baru karena
adanya kesamaan sifat. Pada kalimat “tukang
kayu itu mencatut paku dari papan” kata mencatut menurut Tesaurus Bahasa Indonesia (96, 2008) selain
berarti mencabut bisa berarti mengambil. Sementara pada kalimat “Setya Novanto mencatut nama Presiden
Republik Indonesia” kata mencatut di kalimat ini juga bisa berarti
mengambil. Jadi penggunaan kata mencatut
pada kedua kalimat tesebut memiliki kesamaan yakni mengambil. Bila
tukang kayu yang diambil adalah paku, sementara Setya Novanto yang diambil adalah
nama Presiden.
Walau ada
asosiasi yang sama pada kata mencatut
yakni mengambil. Tetapi ada perbedaan pada makna konotasinya. Menurut Wariner
makna konotasi adalah kesan-kesan atau asosiasi-asosiasi -biasanya yang
bersifat emosional- yang ditimbulkan oleh sebuah kata di samping batasan kamus
atau definisi utamanya (Tarigan, 52: 2009). Makna konotasi ini pun bisa
dibedakan menjadi makna konotasi baik, konotasi tidak baik, dan konotasi
netral. Selanjutnya konotasi tidak baik dibedakan lagi menjadi konotasi
berbahaya, tidak pantas, tidak enak, kasar, dan keras.
Mencatut
pada kalimat “tukang
kayu itu mencatut paku dari papan” berarti menggunakan catut untuk mengambil
atau mencabut paku. Kata mencatut di
sini berkonotasi baik, atau setidaknya tidak “tidak baik”. Sedangkan kata mencatut pada kalimat “Setya Novanto mencatut nama Presiden
Republik Indonesia” berkonotasi tidak baik dan bisa dikelompokan dalam kata
berkonotasi tidak enak. Konotasi tidak enak adalah sejumlah kata karena biasa
dipakai dalam hubungan yang tidak atau kurang baik maka tidak enak didengar
oleh telinga dan mendapat nilai rasa tidak enak (Tarigan, 62: 2009).
Berarti
kata mencatut telah mengalami
perubahan makna menjadi lebih jelek atau lebih rendah dari makna semula mencabut
paku dengan catut menjadi menyalahgunakan nama orang untuk mencari keuntungan. Perubahan
makna ini dikenal dengan istilah peyorasi. Peyorasi adalah suatu proses
perubahan makna kata menjadi lebih jelek atau lebih rendah daripada makna
semula. Kata peyorasi berasal dari bahasa Latin pejor yang berarti ‘jelek’, ‘buruk’. (Tarigan, 85: 2009).
Karena
telah mengalami peyorasi, kata mencatut
diinterpretasikan negatif oleh masyarakat sebagai perbuatan curang atau tidak
jujur sehingga tidak baik untuk dilakukan. Maka saat ada seorang
tokoh publik yang melakukan perbuatan mencatut,
masyarakat pun beramai-ramai bereaksi (dengan melakukan penolakan) terhadap
tokoh itu. Hal ini membuktikan bahwa ternyata kata dengan makna yang
dimilikinya bisa memengaruhi interpretasi dan perilaku masyarakat.
Oleh karena itu bahasa
bisa berfungsi sebagai kontrol sosial. Dalam fungsinya sebagai kontrol sosial
tersebut, bahasa digunakan untuk memengaruhi perilaku individu dalam masyarakat
sehingga perilaku individu dalam masyarakat berkembang ke arah yang positif. Menurut
Abdi G. Muhammad, bahasa akan melahirkan sebuah makna yang
sebelumnya diolah oleh pikiran yang kemudian melalui makna tersebut lahir
sebuah pemikiran yang bisa dijadikan sebagai acuan dasar dalam melakukan
tindakan.
Barangkali
karena fungsi kontrol sosial dari bahasa itulah maka media massa lebih memilih
menggunakan kata mencatut bukan meminjam. Andai saja media massa tidak
memilih menggunakan kata mencatut
tetapi memilih kata “meminjam”, atau “memakai”, atau “menggunakan” barangkali
reaksi masyarakat akan berbeda.