Jumat, 07 Oktober 2016

mencatut



Laporan yang disampaikan Menteri Sudirman Said kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI tentang adanya pencatutan nama Presiden Republik Indonesia oleh Setya Novanto, Ketua DPR RI, telah menimbulkan reaksi di masyarakat. Mulai dari pemuka agama, kalangan LSM, praktisi politik sampai rakyat kebanyakan mengemukakan pendapat. Mereka mendesak agar Setya Novanto mundur sebagai ketua DPR RI karena telah melakukan perbuatan tidak baik. Kira-kira satu bulan lebih masyarakat dihidangkan perdebatan tentang etika politik pejabat publik. Akhirnya pada Rabu, 16 Desember 2015, beberapa saat sebelum MKD memutuskan hasil sidang, Setya Novanto menyatakan pengunduran dirinya sebagai Ketua DPR RI.
Tanpa bermaksud ikut meramaikan pembicaraan terkait pencatutan nama Presiden, ada hal kecil di sana yang terlihat kurang penting tetapi cukup menarik untuk dibahas yaitu penggunaan kata “mencatut”.
Kata mencatut berasal dari kata dasar catut. Kata catut menurut KBBI (Balai Pustaka, 1995) memiliki arti angkup atau penjepit yang bentuknya seperti paruh burung kakak tua. Catut digunakan untuk mencabut janggut. Atau di dalam istilah pertukangan catut digunakan untuk mencabut paku. Jika kata catut dilekati awalan me (→ men) maka akan menjadi mencatut yang berarti mencabut, contoh kalimat : tukang kayu itu mencatut paku dari papan.
Tetapi pada kalimat Setya Novanto mencatut nama Presiden Republik Indonesia, kata mencatut dalam KBBI (Balai Pustaka, 1995) bukan cuma berarti mencabut melainkan menyalahgunakan kekuasaan, nama orang, atau jabatan untuk mencari untung. Kata mencatut telah mengalami perubahan makna.
Perubahan makna adalah berubahnya makna suatu leksem atau satuan leksikal. Perubahan makna tersebut dapat berupa perubahan konsep dan atau perubahan nilai rasa. Menurut Manaf, perubahan makna dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (1) perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi, (2) perkembangan sosial budaya, (3) perkembangan pemakaian kata, (4) pertukaran tanggapan indra, (5) adanya asosiasi, (6) proses gramatikal, dan (7) pengembangan istilah (Ragil, 2013).
Perubahan makna pada kata mencatut terjadi sebagai akibat adanya asosiasi. Asosiasi adalah hubungan antara makna asli dengan makna baru karena adanya kesamaan sifat. Pada kalimat “tukang kayu itu mencatut paku dari papan” kata mencatut menurut Tesaurus Bahasa Indonesia (96, 2008) selain berarti mencabut bisa berarti mengambil. Sementara pada kalimat “Setya Novanto mencatut nama Presiden Republik Indonesia”  kata mencatut di kalimat ini juga bisa berarti mengambil. Jadi penggunaan kata mencatut pada kedua kalimat tesebut memiliki kesamaan yakni mengambil. Bila tukang kayu yang diambil adalah paku, sementara Setya Novanto yang diambil adalah nama Presiden.
Walau ada asosiasi yang sama pada kata mencatut yakni mengambil. Tetapi ada perbedaan pada makna konotasinya. Menurut Wariner makna konotasi adalah kesan-kesan atau asosiasi-asosiasi -biasanya yang bersifat emosional- yang ditimbulkan oleh sebuah kata di samping batasan kamus atau definisi utamanya (Tarigan, 52: 2009). Makna konotasi ini pun bisa dibedakan menjadi makna konotasi baik, konotasi tidak baik, dan konotasi netral. Selanjutnya konotasi tidak baik dibedakan lagi menjadi konotasi berbahaya, tidak pantas, tidak enak, kasar, dan keras.
Mencatut pada kalimat tukang kayu itu mencatut paku dari papan” berarti menggunakan catut untuk mengambil atau mencabut paku. Kata mencatut di sini berkonotasi baik, atau setidaknya tidak “tidak baik”. Sedangkan kata mencatut pada kalimat “Setya Novanto mencatut nama Presiden Republik Indonesia” berkonotasi tidak baik dan bisa dikelompokan dalam kata berkonotasi tidak enak. Konotasi tidak enak adalah sejumlah kata karena biasa dipakai dalam hubungan yang tidak atau kurang baik maka tidak enak didengar oleh telinga dan mendapat nilai rasa tidak enak (Tarigan, 62: 2009).
Berarti kata mencatut telah mengalami perubahan makna menjadi lebih jelek atau lebih rendah dari makna semula mencabut paku dengan catut menjadi menyalahgunakan nama orang untuk mencari keuntungan. Perubahan makna ini dikenal dengan istilah peyorasi. Peyorasi adalah suatu proses perubahan makna kata menjadi lebih jelek atau lebih rendah daripada makna semula. Kata peyorasi berasal dari bahasa Latin pejor yang berarti ‘jelek’, ‘buruk’. (Tarigan, 85: 2009).
Karena telah mengalami peyorasi, kata mencatut diinterpretasikan negatif oleh masyarakat sebagai perbuatan curang atau tidak jujur sehingga tidak baik untuk dilakukan. Maka saat ada seorang tokoh publik yang melakukan perbuatan mencatut, masyarakat pun beramai-ramai bereaksi (dengan melakukan penolakan) terhadap tokoh itu. Hal ini membuktikan bahwa ternyata kata dengan makna yang dimilikinya bisa memengaruhi interpretasi dan perilaku masyarakat.
Oleh karena itu bahasa bisa berfungsi sebagai kontrol sosial. Dalam fungsinya sebagai kontrol sosial tersebut, bahasa digunakan untuk memengaruhi perilaku individu dalam masyarakat sehingga perilaku individu dalam masyarakat berkembang ke arah yang positif. Menurut Abdi G. Muhammad, bahasa akan melahirkan sebuah makna yang sebelumnya diolah oleh pikiran yang kemudian melalui makna tersebut lahir sebuah pemikiran yang bisa dijadikan sebagai acuan dasar dalam melakukan tindakan.
Barangkali karena fungsi kontrol sosial dari bahasa itulah maka media massa lebih memilih menggunakan kata mencatut bukan meminjam. Andai saja media massa tidak memilih menggunakan kata mencatut tetapi memilih kata “meminjam”, atau “memakai”, atau “menggunakan” barangkali reaksi masyarakat akan berbeda.