Karena para maling dan begal berkeliaran mengejar setoran agar tak kalah dengan para koruptor, telah membuat situasi
keamanan di kotaku menjadi tak kondusif. Sang walikota lantas menginstruksikan
kepada semua warganya untuk melakukan siskamling. Tak terkecuali dan segera. Dan tanpa menunggu lama, segenap ketua
RT pun langsung mengomando warganya untuk berswadana dan bergotongroyong
membangun pos ronda. Kalau tidak bisa-bisa dicopot jabatannya sebagai ketua RT.
Banyak pos ronda segera bertumbuhan di pelosok kota usai instruksi itu
dikumandangkan. Bagai jamur di musim penghujan. Ada pos ronda yang jadi seadanya,
yang penting ada. Ada yang lebar dan keren, plus dipulasi cat warna-warni. Dan
ada juga pos ronda yang mewah, dilengkapi televisi dan dispenser. Macem-macem
deh...
Gema instruksi walikota ini bergaung juga di tempatku tinggal. Lingkungan
01 RT 11 di kawasan pinggir kota. Bedanya, para warga di tempatku tinggal tidak
perlu lagi bersusah payah membuat pos ronda karena kami sudah memilikinya. Kami
hanya menerima jadwal ronda. Itu pun datangnya tiba-tiba. Tanpa musyawarah.
Apalagi mufakat. Tapi apa daya... bukankah sebagai warga masyarakat yang baik
ia harus mendukung dan berperan aktif dalam semua kegiatan di lingkungannya ?
cie...
Tapi terus terang perasaan bercampur aduk saat membaca surat edaran itu.
Ada perasaan sedih karena dengan adanya ronda malam berarti akan mengurangi
jatah tidur malamku. Ada rasa penasaran karena baru kali ini aku terlibat
kegiatan ronda malam. Ada juga perasaan senang karena bisa berjumpa para
tetangga sekitar. Sekalian silahturahmi. Tapi kayaknya aku lebih merasa
beruntung karena jatah rondaku jatuh pada malam minggu berarti esok paginya
adalah hari minggu, hari libur. Jadi kegiatanku tidak terganggu dengan rasa
kantuk setelah semalaman begadang dan selain itu bisa balas dendam tidur ha...
ha... ha...
Waktu pun menggelinding cepat dan telah sampailah pada saat yang
ditunggu-tunggu. Hari sabtu. Malam minggu. Waktu giliran jaga malamku. Semua
persiapan telah dilakukan, mulai dari minum kopi, jaket, pentungan, dan
terutama udah nyicil tidur dua jam.
Tepat jam sebelas, sesuai aturan yang ada di jadwal, aku meninggalkan
rumah menuju pos ronda yang berada di seberang jalan, tepat di depan rumahku.
Untung gak jauh... Sepi. Belum tampak satupun batang hidung teman sejawat
lainnya. Tengok kanan. Tengok kiri. Serem. Gak ada orang satu pun. Gimana kalo
yang nonggol malah om pocong, pakde gendruwo atau tante kunti wuih pasti serem
deh. Segera kubuang jauh-jauh pikiran naif itu di dalam kegelapan malam.
Kira-kira lima belas menit nongkrong di gardu sendirian. Masih belum ada temen.
Ah biar rame... tong... tong... tong... kupukuli tiang listrik biar agak resmi
sedikitlah. Sekalian cari temen.
Sepuluh menit kemudian muncul satu orang. Lumayan ada temannya. Tiga
puluh menit kemudian di gardu jadi lima orang. Tepat satu jam berlalu delapan
orang sudah terkumpul di gardu. Kalau sesuai surat edaran sih harusnya ada tiga
belas orang. Lima orang lainnya gak tau kemana.
Setelah sedikit basa basi. Lalu dilanjutkan ngobrol ngalor ngidul.
Terungkap bahwa tidak semua setuju dengan kegiatan siskamling ini. Ada yang
bilang udah lelah usai kerja seharian kek... kalau week end ada kesibukan kek... gak tahan melek malam kek...gak tahan
udara dingin kek... pembagian hari jaga gak konfirmasi dulu kek... Tapi ada
pula yang setuju walau tidak banyak. Kesimpulan sementara banyak warga yang
tidak setuju, titik.
Satu minggu berlalu. Dua minggu. Tiga minggu. Kegiatan ronda malam terus
berjalan, tapi anggotanya makin berkurang. Segala cara dan daya dipakai untuk
tidak siskamling misalnya ada seorang warga, sebut saja sukro, ia meminta
pindah giliran jaga ke hari jumat. Tapi di hari jumat ia tidak datang. Jika
ditanya oleh kelompok jumat, ia bilang sudah pindah di hari kamis. Tapi di hari
kamis tidak datang. Jika ditanya oleh kelompok kamis, ia kembali bilang sudah
pindah hari rabu dan seterusnya. Ada-ada saja si Sukro ini...
Ada juga yang berjuang dengan melempar wacana. Mengupah satu atau dua
orang untuk menggatikan tugas siskamling. Lalu dibayar sekian rupiah. Beres.
Lah tipe-tipe orang kayak begini nih biasanya ntar kalau sudah giliran di tengah-tengah
nunggaknya duluan. Ada juga yang tak kalah seru usahanya agar kegiatan
siskamling ini tidak berjalan yaitu dengan menyebar isu tentang hantu. Katanya ia
pernah mendengar ada orang mukul-mukul tiang listrik. Lalu diikuti ke arah
suara. Tapi suaranya kemudian berpindah-pindah. Sebentar ke sana. Sebentar lagi
pindah lagi. Terus berpindah-pindah. Tapi orang yang yang mukul-mukul tiang
listrik gak jelas siapa gerangan. Wuih seremnya... Tapi ada cerita yang lebih
serem gak? Tanggung tau ceritanya...
Semua daya dan upaya dari para hater
siskamling akhirnya melemah. Semuanya menemui jalan buntu. Alias gak mempan.
Lagian pula sekarang malah muncul aturan baru, paska pertemuan warga RT, yang
berbunyi bahwa jika ada warga yang tidak hadir saat giliran ronda maka akan
dikenakan denda sebesar Rp 25.000,00.
Yah.. mau gak mau... datanglah siskamling. Bukannya lebih
banyak manfaat daripada mudaratnya misalnya pertama, bisa silahturahmi sekalian
bertukar cerita dan pendapat. Syukur-syukur bisa ada deal bisnis batu akik kan
lumayan. Kedua, lingkungan jadi aman. Dan ketiga, lumayan bisa menghemat Rp
25.000,00 seminggu.