Selasa, 28 Januari 2014

wabah tepuk stik

sekeping prasangka di antara ricuhnya hubungan Indonesia dengan Malaysia



Semenjak konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia yang ditandai dengan diserukannya Dwi Komando Rakyat (Dwikora) oleh Bung Karno di tahun 1964. Persaingan kedua negara ini lalu jadi selalu menarik di segala bidang. Di bidang olahraga misalnya, keduanya tidak cuma sengit bersaing tapi sudah menjadi musuh bebuyutan di arena SEA Games. Bahkan di cabang bulu tangkis dan juga di cabang sepak bola, keduanya merupakan rival abadi. Garuda Indonesia selalu bertukar terkam dengan cakaran harimau Malaysia. Sampai-sampai ada ungkapan di Indonesia yang berbunyi boleh kalah dengan negara manapun asal jangan sampai kalah dengan Malaysia. Tidak cuma di bidang olahraga, dalam bidang hankam, ekonomi, dan budaya pun keduanya tidak lepas dari percik-percik api persaingan.

Di bidang hankam, Indonesia dengan Malaysia berseteru memperebutkan blok laut Ambalat yang terletak di Selat Makasar. Sempat terjadi beberapa gesekan di antara pihak militer Malaysia dengan pihak TNI. Misalnya di tahun 2005, terjadi insiden Kapal Republik Indonesia Tedong Naga (Indonesia) yang menyerempet Kapal Diraja Rencong (Malaysia) sebanyak tiga kali. Kemudian, di tahun 2007, terjadi dalam dua hari berturut-turut, kapal milik Malaysia yaitu KD Budiman dan KD Sri Perlis memasuki wilayah maritim Indonesia tanpa ijin sejauh satu mil. Dan pada hari  yang sama, satu pesawat udara patroli maritim Malaysia melintas memasuki wilayah Indonesia sejauh 3.000 yard (Sumber: Wikipedia).

Di bidang ekonomi, Malaysia selalu dipusingkan dengan tenaga kerja asal Indonesia (TKI) yang legal maupun ilegal. Menurut Agus Triyanto, Atase Ketenagakerjaan Kedutaan Besar Republik Indonesia, di Malaysia, terdapat TKI legal sekitar 1,089 juta orang dan TKI ilegal sekitar 1,5 juta orang (sumber : jabar.tribunnews.com). Sementara Indonesia dipusingkan karena kurangnya perlindungan terhadap para TKI. Banyak TKI yang bekerja di Malaysia mengalami nasib yang tidak baik, mulai dari upah yang tidak dibayar, penyiksaan fisik, sampai dijadikan pelacur (baca : Ironi Pahlawan Devisa, Penerbit Buku Kompas, 2005).

Di bidang budaya, Indonesia berkali-kali dibuat berang karena beberapa budaya asli milik Indonesia seperti tarian adat (Reog ponorogo, Pendet, Kuda Lumping, dan Tor-Tor), batik, lagu rasa sayange, alat musik angklung milik Indonesia dan beberapa masakan tradisional diaku-aku oleh negeri Jiran sebagai budayanya. Dan kalau tak salah ingat kayaknya setelah kejadian itu, di Indonesia lalu muncul hari batik nasional.

Sebetulnya tidak cuma itu, ada hal menarik lagi yang lain, tapi karena dianggap tidak fundamental lalu lantas tak mendapat perhatian. Perhatikan saja, anak-anak Indonesia empat sampai lima tahun belakangan ini amat sangat menyukai film animasi Malaysia berjudul Ipin dan Upin bahkan terhipnotis olehnya. Lalu lihatlah... mulai dari tas, kaus oblong, tempat bekal makan, sandal jepit sampai CD bajakan didominasi oleh Ipin dan Upin. Ipin dan Upin pun jadi semakin populer. Bahkan kepopulerannya melampaui Donald bebek dan Micky mouse. Apesnya, Unyil dan Si Komo yang asli bikinan anak negeri sendiri jadi gak ada apa-apanya.

Bukan tak punya jiwa nasionalis, bukan pula tak cinta produk dalam negeri. Tapi hal yang tidak bisa dipungkiri, sungguh memang menarik bila menonton film Ipin dan Upin. Ceritanya ringan. Beberapa kosakata bahasa Malaysia sengaja tidak dialihbahasakan sehingga terkesan lucu tapi malah jadi ciri khas dan akan selalu diingat. Dan hal terpenting adalah film ini dalam kemasan animasi yang cocok dengan selera anak-anak jaman sekarang. Tidak seperti Unyil, yang semenjak aku nonton di sekitar awal tahun 1990an, pakaiannya tidak pernah ganti-ganti. Selalu saja menggunakan baju merah, bercelana hitam, berselempang sarung kotak-kotak dan menggunakan peci hitam. Bila berjalan selalu megal-megol. Atau si Komo yang baru beken beberapa tahun eh... tahu-tahu sudah hilang entah kemana. Barangkali, ia nyumput, takut dimarahi orang banyak karena selalu menyebabkan kemacetan dimana-mana.

Ada hal lain yang jauh lebih penting dari itu yang sebenarnya tidak disadari oleh kita. Beberapa tahun ini telah muncul semacam wabah yang menjangkiti anak usia SD. Wabah ini merupakan efek domino menonton film Ipin dan Upin. Wabah yang dimaksud adalah kebiasaan menepukkan-nepukkan tangan. Kebiasaan ini muncul akibat bermain tepuk stik. Film Ipin dan Upin lah yang kali pertama mempopulerkan permainan ini karena di Indonesia sebelum adanya film ini tidak ditemui atau terlacak adanya permainan semacam ini. Permainan ini relatif mudah. Hanya membutuhkan stik yang biasa digunakan sebagai gagang pegangan es krim. Dua anak saling duduk berhadapan lalu menepuk kedua tangan ke lantai. Lalu akan muncul angin dan bunyi puk... puk... Angin yang keluar dari tepukan tangan akan menggerakan stik es krim. Kedua stik lama-lama akan bertemu. Stik yang berhasil menindih milik lawan akan menjadi pemenang. Lalu sang pemenang menerima bayaran atas kemenangannya.

Menepuk-nepukkan tangan selama permainan ini lama-lama menjelma jadi sebuah kelatahan. Anak-anak selalu menepukkan tangannya di mana saja dan kapan saja walau pun ia sedang tidak bermain tepuk stik. Saat melamun. Di rumah saat belajar. Di sekolah sambil mendengar penjelasan guru. Atau, sambil mengobrol baik dengan orang tua atau dengan sebayanya. Tangannya terus menepuk-nepuk. Sepertinya itu terjadi secara otomatis. Terjadi di bawah kesadaran mereka. Menjadi gerakan relfektif. Gerakan badan di luar kemauan. Dan perilaku ini terjadi serentak dan muncul bersama-sama. Oleh karena itu bisa disebut sebagai sebuah wabah. Pertanyaan selanjutnya, apakah kelatahan ini berdampak negatif bagi psikologis anak? Atau cuma gejala psikologis sementara saja? Butuh penelitian lebih dalam untuk menjawabnya.

Tapi yang terpenting, ada dampak lainnya yang bisa lebih berbahaya, yaitu (1) anak-anak berperilaku konsumtif karena untuk mendapatkan lima bilah stik seorang anak harus merogoh kocek seribu rupiah. (2) Konsentrasi mereka terganggu karena sebentar-sebentar mereka reflektif menepuk-nepukkan tangan. (3) Anak-anak menjadi lupa waktu. Bila sudah bermain tepuk stik, bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Tanpa merasa haus dan lapar. Apalagi mengingat belajar atau membantu orang tuanya. (4) dan yang paling mengkhawatirkan adalah anak-anak jadi tidak mengenali budaya bangsanya sendiri. Ada banyak permainan tradisional dalam budaya Indonesia misal cak ingkling, patil lele, egrang, petak umpet, dan bentengan. Semuanya jauh lebih menarik daripada bermain tepuk stik.

Stt... jangan-jangan ini ulah spionase Malaysia yang sengaja menyusupkan virus ke dalam bawah sadar dan perilaku anak-anak Indonesia. Yang memang dampaknya tidak langsung terasa saat ini tapi di kemudian hari baru terasa. Setelah kian populer permainan ini lalu kian bertambah banyak anak Indonesia yang bermain tepuk stik. Permainan-permainan tradisional semacam cak ingkling, patil lele, egrang, petak umpet, bentengan pun jadi semakin tidak populer dan terlupakan. Maka selanjutnya Malaysia segera akan mengklaim permainan-permainan tradisional asli Indonesia itu menjadi budaya mereka.

Huh... ada-ada saja! Tapi, kalau mengingat-ingat perseteruan abadi antara Indonesia dengan Malaysia, aku jadi ingat ketika berada di kawasan Malioboro Yogyakarta, kala itu sedang berlangsung semarak unjuk rasa anti Malaysia. Secara tidak sengaja aku mendengar orasi nyeleneh dari sang orator, kurang lebih bunyinya “jangan nonton film Ipin dan Upin! Ipin dan Upin itu anak haram! Gak jelas ibu dan bapaknya !”