Entah siapa yang kali pertama berujar “bola itu bulat...” Yang jelas, di kemudian hari ujaran itu pun selalu jadi semacam rumusan pembenaran atas kejadian-kejadian tak masuk akal yang terjadi di dunia tendang menendang bola.
Masihkah ingat final Liga Champion tahun 1999, antara Manchester United dengan Bayern Munchen? Yah, Bayern Munchen dipaksa harus menyerah 2-1 di injury time. Padahal dalam 90 menit normal, Bayern Munchen sudah unggul 1-0. Huh menyesakkan, tapi mau gimana bola itu bulat sih...
Hal yang berulang kembali pada Bayern Munchen di Final Liga Champion 2012. Walau sudah bermain di kandangnya sendiri, yang secara otomatis mendapat tambahan pemain ke 12, dan sudah unggul 1-0. Tapi malapetaka bagi Munchen datang di menit ke 87 usai Didier Brogba berhasil menyarangkan gol. Kedudukan pun jadi imbang. Mau tak mau pertandingan terpaksa harus diakhiri dengan drama adu penalti. Walhasil Chelsea malah yang keluar sebagai juara. Apa mau dikata bola itu bulat sih... Sulit diprediksi!
Ada lagi sebuah fenomena menarik dalam dunia sepak bola yang terjadi di Liga Champion Eropa empat tahun terakhir ini. Fenomena ini berawal di kompetisi 2009/2010. Saat itu sang jawara adalah Internazionale Milan, tim asal negeri pizza, Italia. Hal yang membuatnya lalu menjadi menarik adalah karena kompetisi tahun lalu, secara kebetulan, digelar di Stadion Olimiade Roma, yang juga Italia.
Fenomena menarik ini sekali lagi terjadi di musim berikutnya, 2010/2011. Jawara Liga Champion Eropa kali ini adalah tim asal Spanyol, Barcelona FC. Dan ternyata final Liga Champion tahun lalu, 2009/2010, saat Internazionale Milan menjadi juara, digelar di Stadion Santiago Bernabéu Madrid, Spanyol. Kebetulan berulang lagi.
Sekali lagi kebetulan itu datang di tahun kompetisi 2011/2012, giliran klub asal Inggris yang berjaya. Chelsea tanpa terduga berhasil menjadi pemenang di pertarungan kasta tertinggi sepak bola Eropa. Final Liga Champion tahun lalu, 2010/2011, digelar di Stadion Wembley London, Inggris. Fenomena unik ini ternyata masih terus terjadi.
Pada tahun kompetisi 2011/2012, final Liga Champion diselenggarakan di stadion Allianz Arena Munchen, Jerman. Dan, yang terjadi di tahun 2012/2013, final Liga Champion mempertemukan dua wakil Jerman, All Germany Final. Bayern Munchen berhadapan dengan Borrussia Dortmund. Yang akhirnya dimenangi oleh Bayern Munchen dengan skor 2-1. Final Liga Champion 2012/2013 ini kembali berlangsung di stadion Wembley London, Inggris. Apabila fenomena kebetulan ini masih berlanjut, kemungkinan yang akan menjadi jawara Liga Champion Eropa di tahun 2013/2014 adalah tim berasal dari Inggris. Iya nggak...?
Ada empat tim asal liga Inggris yang bermain sampai babak 16 besar Liga Champion yakni: Arsenal, Manchester City, Manchester United, dan Chelsea. Arsenal sudah dipaksa menyerah oleh Bayern Munchen dengan skor agregat 3-1 Demikian juga dengan Manchester City. Tim asuhan Manuel Pellegrini ini pada akhirnya pun harus menyerah. Manchester City takluk dari tim asal Spanyol, Barcelona FC dengan skor agregat 4-1. Langkah kedua wakil Inggris itu harus terhenti. Dan hanya jadi penonton di babak 8 besar. Sementara, tampaknya Dewi Fortuna masih menyayangi dua tim asal liga Inggris lainnya, Manchester United dan Chelsea.
Manchester United yang terseok-seok di Liga Inggris akibat ditinggal pelatih gaeknya, Opa Alex, tanpa terduga berhasil meloloskan diri dari lubang jarum. Setelah pada putaran pertama babak 16 besar dibantai 2-0 oleh tim asal Yunani, Olympiakos. Tapi, kemudian di putaran ke dua, di kandang sendiri, si Manchester Merah berhasil membalik keadaan dengan gantian membantai Olympiakos. Kali ini 3-0 untuk Manchester United. Tim asuhan Pakde Moyes ini pun lolos ke babak 8 besar dengan agregat 3-2. Luar biasa...
Lain lagi dengan Chelsea. Klub milik taipan kaya raya, Ibrahimovic, ini dipaksa bermain seri 1-1 di putaran pertama oleh tim asal Turki, Galatasary. Dan di putaran kedua, sang pemuncak klasmen sementara liga inggris ini, membantai Galatasary dengan skor 2-0. Dengan skor agregat 3-1, Chelsea pun melenggang ke babak 8 besar.
So... akankah Manchester United, yang di atas kertas, kali ini terpaksa harus tak diperhitungkan menjadi pemenang akan jadi jawaranya? Kayaknya sih hil yang mustahal mengingat di babak 8 besar akan langsung bertarung dengan sang juara bertahan Bayern Munchen. Tapi, Wallahu A’lam...
Ataukah sekali lagi Mr. Mou akan berhasil membuktikan bahwa dirinya benar-benar The Special One dengan menjadikan Chelsea sebagai juara? Kemungkinan bagi Chelsea masih terbuka, 50:50. Mengingat lawan yang dihadapinya adalah Paris Saint Germain (PSG) yang meskipun tampil perkasa di Liga Perancis tapi tim ini masih miskin jam terbang di Liga Champion dibandingkan Mr. Mou dan Chelsea. Dan siapa tahu Chelsea diselamatkan oleh mitos “Kutukan Ibra...”
Akankah fenomena menarik ini kembali terjadi untuk ke lima kalinya. Aku tidak tahu. Anda tidak tahu. Siapa yang tahu? Habis bola itu bulat sih...
hanya untuk kesenangan belaka semua ini ditulis, bila menemukan makna di dalamnya maka ambillah namun bila tiada maka berlalulah segera...
Minggu, 23 Maret 2014
Selasa, 28 Januari 2014
wabah tepuk stik
sekeping prasangka di antara ricuhnya hubungan Indonesia dengan Malaysia
Semenjak konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia yang ditandai dengan diserukannya Dwi Komando Rakyat (Dwikora) oleh Bung Karno di tahun 1964. Persaingan kedua negara ini lalu jadi selalu menarik di segala bidang. Di bidang olahraga misalnya, keduanya tidak cuma sengit bersaing tapi sudah menjadi musuh bebuyutan di arena SEA Games. Bahkan di cabang bulu tangkis dan juga di cabang sepak bola, keduanya merupakan rival abadi. Garuda Indonesia selalu bertukar terkam dengan cakaran harimau Malaysia. Sampai-sampai ada ungkapan di Indonesia yang berbunyi boleh kalah dengan negara manapun asal jangan sampai kalah dengan Malaysia. Tidak cuma di bidang olahraga, dalam bidang hankam, ekonomi, dan budaya pun keduanya tidak lepas dari percik-percik api persaingan.
Di bidang hankam, Indonesia dengan Malaysia berseteru memperebutkan blok laut Ambalat yang terletak di Selat Makasar. Sempat terjadi beberapa gesekan di antara pihak militer Malaysia dengan pihak TNI. Misalnya di tahun 2005, terjadi insiden Kapal Republik Indonesia Tedong Naga (Indonesia) yang menyerempet Kapal Diraja Rencong (Malaysia) sebanyak tiga kali. Kemudian, di tahun 2007, terjadi dalam dua hari berturut-turut, kapal milik Malaysia yaitu KD Budiman dan KD Sri Perlis memasuki wilayah maritim Indonesia tanpa ijin sejauh satu mil. Dan pada hari yang sama, satu pesawat udara patroli maritim Malaysia melintas memasuki wilayah Indonesia sejauh 3.000 yard (Sumber: Wikipedia).
Di bidang ekonomi, Malaysia selalu dipusingkan dengan tenaga kerja asal Indonesia (TKI) yang legal maupun ilegal. Menurut Agus Triyanto, Atase Ketenagakerjaan Kedutaan Besar Republik Indonesia, di Malaysia, terdapat TKI legal sekitar 1,089 juta orang dan TKI ilegal sekitar 1,5 juta orang (sumber : jabar.tribunnews.com). Sementara Indonesia dipusingkan karena kurangnya perlindungan terhadap para TKI. Banyak TKI yang bekerja di Malaysia mengalami nasib yang tidak baik, mulai dari upah yang tidak dibayar, penyiksaan fisik, sampai dijadikan pelacur (baca : Ironi Pahlawan Devisa, Penerbit Buku Kompas, 2005).
Di bidang budaya, Indonesia berkali-kali dibuat berang karena beberapa budaya asli milik Indonesia seperti tarian adat (Reog ponorogo, Pendet, Kuda Lumping, dan Tor-Tor), batik, lagu rasa sayange, alat musik angklung milik Indonesia dan beberapa masakan tradisional diaku-aku oleh negeri Jiran sebagai budayanya. Dan kalau tak salah ingat kayaknya setelah kejadian itu, di Indonesia lalu muncul hari batik nasional.
Sebetulnya tidak cuma itu, ada hal menarik lagi yang lain, tapi karena dianggap tidak fundamental lalu lantas tak mendapat perhatian. Perhatikan saja, anak-anak Indonesia empat sampai lima tahun belakangan ini amat sangat menyukai film animasi Malaysia berjudul Ipin dan Upin bahkan terhipnotis olehnya. Lalu lihatlah... mulai dari tas, kaus oblong, tempat bekal makan, sandal jepit sampai CD bajakan didominasi oleh Ipin dan Upin. Ipin dan Upin pun jadi semakin populer. Bahkan kepopulerannya melampaui Donald bebek dan Micky mouse. Apesnya, Unyil dan Si Komo yang asli bikinan anak negeri sendiri jadi gak ada apa-apanya.
Bukan tak punya jiwa nasionalis, bukan pula tak cinta produk dalam negeri. Tapi hal yang tidak bisa dipungkiri, sungguh memang menarik bila menonton film Ipin dan Upin. Ceritanya ringan. Beberapa kosakata bahasa Malaysia sengaja tidak dialihbahasakan sehingga terkesan lucu tapi malah jadi ciri khas dan akan selalu diingat. Dan hal terpenting adalah film ini dalam kemasan animasi yang cocok dengan selera anak-anak jaman sekarang. Tidak seperti Unyil, yang semenjak aku nonton di sekitar awal tahun 1990an, pakaiannya tidak pernah ganti-ganti. Selalu saja menggunakan baju merah, bercelana hitam, berselempang sarung kotak-kotak dan menggunakan peci hitam. Bila berjalan selalu megal-megol. Atau si Komo yang baru beken beberapa tahun eh... tahu-tahu sudah hilang entah kemana. Barangkali, ia nyumput, takut dimarahi orang banyak karena selalu menyebabkan kemacetan dimana-mana.
Ada hal lain yang jauh lebih penting dari itu yang sebenarnya tidak disadari oleh kita. Beberapa tahun ini telah muncul semacam wabah yang menjangkiti anak usia SD. Wabah ini merupakan efek domino menonton film Ipin dan Upin. Wabah yang dimaksud adalah kebiasaan menepukkan-nepukkan tangan. Kebiasaan ini muncul akibat bermain tepuk stik. Film Ipin dan Upin lah yang kali pertama mempopulerkan permainan ini karena di Indonesia sebelum adanya film ini tidak ditemui atau terlacak adanya permainan semacam ini. Permainan ini relatif mudah. Hanya membutuhkan stik yang biasa digunakan sebagai gagang pegangan es krim. Dua anak saling duduk berhadapan lalu menepuk kedua tangan ke lantai. Lalu akan muncul angin dan bunyi puk... puk... Angin yang keluar dari tepukan tangan akan menggerakan stik es krim. Kedua stik lama-lama akan bertemu. Stik yang berhasil menindih milik lawan akan menjadi pemenang. Lalu sang pemenang menerima bayaran atas kemenangannya.
Menepuk-nepukkan tangan selama permainan ini lama-lama menjelma jadi sebuah kelatahan. Anak-anak selalu menepukkan tangannya di mana saja dan kapan saja walau pun ia sedang tidak bermain tepuk stik. Saat melamun. Di rumah saat belajar. Di sekolah sambil mendengar penjelasan guru. Atau, sambil mengobrol baik dengan orang tua atau dengan sebayanya. Tangannya terus menepuk-nepuk. Sepertinya itu terjadi secara otomatis. Terjadi di bawah kesadaran mereka. Menjadi gerakan relfektif. Gerakan badan di luar kemauan. Dan perilaku ini terjadi serentak dan muncul bersama-sama. Oleh karena itu bisa disebut sebagai sebuah wabah. Pertanyaan selanjutnya, apakah kelatahan ini berdampak negatif bagi psikologis anak? Atau cuma gejala psikologis sementara saja? Butuh penelitian lebih dalam untuk menjawabnya.
Tapi yang terpenting, ada dampak lainnya yang bisa lebih berbahaya, yaitu (1) anak-anak berperilaku konsumtif karena untuk mendapatkan lima bilah stik seorang anak harus merogoh kocek seribu rupiah. (2) Konsentrasi mereka terganggu karena sebentar-sebentar mereka reflektif menepuk-nepukkan tangan. (3) Anak-anak menjadi lupa waktu. Bila sudah bermain tepuk stik, bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Tanpa merasa haus dan lapar. Apalagi mengingat belajar atau membantu orang tuanya. (4) dan yang paling mengkhawatirkan adalah anak-anak jadi tidak mengenali budaya bangsanya sendiri. Ada banyak permainan tradisional dalam budaya Indonesia misal cak ingkling, patil lele, egrang, petak umpet, dan bentengan. Semuanya jauh lebih menarik daripada bermain tepuk stik.
Stt... jangan-jangan ini ulah spionase Malaysia yang sengaja menyusupkan virus ke dalam bawah sadar dan perilaku anak-anak Indonesia. Yang memang dampaknya tidak langsung terasa saat ini tapi di kemudian hari baru terasa. Setelah kian populer permainan ini lalu kian bertambah banyak anak Indonesia yang bermain tepuk stik. Permainan-permainan tradisional semacam cak ingkling, patil lele, egrang, petak umpet, bentengan pun jadi semakin tidak populer dan terlupakan. Maka selanjutnya Malaysia segera akan mengklaim permainan-permainan tradisional asli Indonesia itu menjadi budaya mereka.
Huh... ada-ada saja! Tapi, kalau mengingat-ingat perseteruan abadi antara Indonesia dengan Malaysia, aku jadi ingat ketika berada di kawasan Malioboro Yogyakarta, kala itu sedang berlangsung semarak unjuk rasa anti Malaysia. Secara tidak sengaja aku mendengar orasi nyeleneh dari sang orator, kurang lebih bunyinya “jangan nonton film Ipin dan Upin! Ipin dan Upin itu anak haram! Gak jelas ibu dan bapaknya !”
Semenjak konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia yang ditandai dengan diserukannya Dwi Komando Rakyat (Dwikora) oleh Bung Karno di tahun 1964. Persaingan kedua negara ini lalu jadi selalu menarik di segala bidang. Di bidang olahraga misalnya, keduanya tidak cuma sengit bersaing tapi sudah menjadi musuh bebuyutan di arena SEA Games. Bahkan di cabang bulu tangkis dan juga di cabang sepak bola, keduanya merupakan rival abadi. Garuda Indonesia selalu bertukar terkam dengan cakaran harimau Malaysia. Sampai-sampai ada ungkapan di Indonesia yang berbunyi boleh kalah dengan negara manapun asal jangan sampai kalah dengan Malaysia. Tidak cuma di bidang olahraga, dalam bidang hankam, ekonomi, dan budaya pun keduanya tidak lepas dari percik-percik api persaingan.
Di bidang hankam, Indonesia dengan Malaysia berseteru memperebutkan blok laut Ambalat yang terletak di Selat Makasar. Sempat terjadi beberapa gesekan di antara pihak militer Malaysia dengan pihak TNI. Misalnya di tahun 2005, terjadi insiden Kapal Republik Indonesia Tedong Naga (Indonesia) yang menyerempet Kapal Diraja Rencong (Malaysia) sebanyak tiga kali. Kemudian, di tahun 2007, terjadi dalam dua hari berturut-turut, kapal milik Malaysia yaitu KD Budiman dan KD Sri Perlis memasuki wilayah maritim Indonesia tanpa ijin sejauh satu mil. Dan pada hari yang sama, satu pesawat udara patroli maritim Malaysia melintas memasuki wilayah Indonesia sejauh 3.000 yard (Sumber: Wikipedia).
Di bidang ekonomi, Malaysia selalu dipusingkan dengan tenaga kerja asal Indonesia (TKI) yang legal maupun ilegal. Menurut Agus Triyanto, Atase Ketenagakerjaan Kedutaan Besar Republik Indonesia, di Malaysia, terdapat TKI legal sekitar 1,089 juta orang dan TKI ilegal sekitar 1,5 juta orang (sumber : jabar.tribunnews.com). Sementara Indonesia dipusingkan karena kurangnya perlindungan terhadap para TKI. Banyak TKI yang bekerja di Malaysia mengalami nasib yang tidak baik, mulai dari upah yang tidak dibayar, penyiksaan fisik, sampai dijadikan pelacur (baca : Ironi Pahlawan Devisa, Penerbit Buku Kompas, 2005).
Di bidang budaya, Indonesia berkali-kali dibuat berang karena beberapa budaya asli milik Indonesia seperti tarian adat (Reog ponorogo, Pendet, Kuda Lumping, dan Tor-Tor), batik, lagu rasa sayange, alat musik angklung milik Indonesia dan beberapa masakan tradisional diaku-aku oleh negeri Jiran sebagai budayanya. Dan kalau tak salah ingat kayaknya setelah kejadian itu, di Indonesia lalu muncul hari batik nasional.
Sebetulnya tidak cuma itu, ada hal menarik lagi yang lain, tapi karena dianggap tidak fundamental lalu lantas tak mendapat perhatian. Perhatikan saja, anak-anak Indonesia empat sampai lima tahun belakangan ini amat sangat menyukai film animasi Malaysia berjudul Ipin dan Upin bahkan terhipnotis olehnya. Lalu lihatlah... mulai dari tas, kaus oblong, tempat bekal makan, sandal jepit sampai CD bajakan didominasi oleh Ipin dan Upin. Ipin dan Upin pun jadi semakin populer. Bahkan kepopulerannya melampaui Donald bebek dan Micky mouse. Apesnya, Unyil dan Si Komo yang asli bikinan anak negeri sendiri jadi gak ada apa-apanya.
Bukan tak punya jiwa nasionalis, bukan pula tak cinta produk dalam negeri. Tapi hal yang tidak bisa dipungkiri, sungguh memang menarik bila menonton film Ipin dan Upin. Ceritanya ringan. Beberapa kosakata bahasa Malaysia sengaja tidak dialihbahasakan sehingga terkesan lucu tapi malah jadi ciri khas dan akan selalu diingat. Dan hal terpenting adalah film ini dalam kemasan animasi yang cocok dengan selera anak-anak jaman sekarang. Tidak seperti Unyil, yang semenjak aku nonton di sekitar awal tahun 1990an, pakaiannya tidak pernah ganti-ganti. Selalu saja menggunakan baju merah, bercelana hitam, berselempang sarung kotak-kotak dan menggunakan peci hitam. Bila berjalan selalu megal-megol. Atau si Komo yang baru beken beberapa tahun eh... tahu-tahu sudah hilang entah kemana. Barangkali, ia nyumput, takut dimarahi orang banyak karena selalu menyebabkan kemacetan dimana-mana.
Ada hal lain yang jauh lebih penting dari itu yang sebenarnya tidak disadari oleh kita. Beberapa tahun ini telah muncul semacam wabah yang menjangkiti anak usia SD. Wabah ini merupakan efek domino menonton film Ipin dan Upin. Wabah yang dimaksud adalah kebiasaan menepukkan-nepukkan tangan. Kebiasaan ini muncul akibat bermain tepuk stik. Film Ipin dan Upin lah yang kali pertama mempopulerkan permainan ini karena di Indonesia sebelum adanya film ini tidak ditemui atau terlacak adanya permainan semacam ini. Permainan ini relatif mudah. Hanya membutuhkan stik yang biasa digunakan sebagai gagang pegangan es krim. Dua anak saling duduk berhadapan lalu menepuk kedua tangan ke lantai. Lalu akan muncul angin dan bunyi puk... puk... Angin yang keluar dari tepukan tangan akan menggerakan stik es krim. Kedua stik lama-lama akan bertemu. Stik yang berhasil menindih milik lawan akan menjadi pemenang. Lalu sang pemenang menerima bayaran atas kemenangannya.
Menepuk-nepukkan tangan selama permainan ini lama-lama menjelma jadi sebuah kelatahan. Anak-anak selalu menepukkan tangannya di mana saja dan kapan saja walau pun ia sedang tidak bermain tepuk stik. Saat melamun. Di rumah saat belajar. Di sekolah sambil mendengar penjelasan guru. Atau, sambil mengobrol baik dengan orang tua atau dengan sebayanya. Tangannya terus menepuk-nepuk. Sepertinya itu terjadi secara otomatis. Terjadi di bawah kesadaran mereka. Menjadi gerakan relfektif. Gerakan badan di luar kemauan. Dan perilaku ini terjadi serentak dan muncul bersama-sama. Oleh karena itu bisa disebut sebagai sebuah wabah. Pertanyaan selanjutnya, apakah kelatahan ini berdampak negatif bagi psikologis anak? Atau cuma gejala psikologis sementara saja? Butuh penelitian lebih dalam untuk menjawabnya.
Tapi yang terpenting, ada dampak lainnya yang bisa lebih berbahaya, yaitu (1) anak-anak berperilaku konsumtif karena untuk mendapatkan lima bilah stik seorang anak harus merogoh kocek seribu rupiah. (2) Konsentrasi mereka terganggu karena sebentar-sebentar mereka reflektif menepuk-nepukkan tangan. (3) Anak-anak menjadi lupa waktu. Bila sudah bermain tepuk stik, bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Tanpa merasa haus dan lapar. Apalagi mengingat belajar atau membantu orang tuanya. (4) dan yang paling mengkhawatirkan adalah anak-anak jadi tidak mengenali budaya bangsanya sendiri. Ada banyak permainan tradisional dalam budaya Indonesia misal cak ingkling, patil lele, egrang, petak umpet, dan bentengan. Semuanya jauh lebih menarik daripada bermain tepuk stik.
Stt... jangan-jangan ini ulah spionase Malaysia yang sengaja menyusupkan virus ke dalam bawah sadar dan perilaku anak-anak Indonesia. Yang memang dampaknya tidak langsung terasa saat ini tapi di kemudian hari baru terasa. Setelah kian populer permainan ini lalu kian bertambah banyak anak Indonesia yang bermain tepuk stik. Permainan-permainan tradisional semacam cak ingkling, patil lele, egrang, petak umpet, bentengan pun jadi semakin tidak populer dan terlupakan. Maka selanjutnya Malaysia segera akan mengklaim permainan-permainan tradisional asli Indonesia itu menjadi budaya mereka.
Huh... ada-ada saja! Tapi, kalau mengingat-ingat perseteruan abadi antara Indonesia dengan Malaysia, aku jadi ingat ketika berada di kawasan Malioboro Yogyakarta, kala itu sedang berlangsung semarak unjuk rasa anti Malaysia. Secara tidak sengaja aku mendengar orasi nyeleneh dari sang orator, kurang lebih bunyinya “jangan nonton film Ipin dan Upin! Ipin dan Upin itu anak haram! Gak jelas ibu dan bapaknya !”
Langganan:
Postingan (Atom)