Minggu, 17 November 2013

kebanan

Jika boleh meminjam istilah biduan Syahrini, maka aku akan mengatakan bahwa pecah ban atau dalam bahasa jawanya kebanan benar-benar merupakan suatu peristiwa yang sesuatu banget... Apanya yang sesuatu banget ? Yah sesuatu yang terasa sangat menjengkelkan. Dimana kita merasa tiba-tiba menjadi seseorang yang paling sial. Plus paling menderita karena harus mendorong jauh motor kita. Apalagi bila sudah sekian jauh tak kunjung menemukan tukang tambal ban. Ditambah lagi bila terjadinya di tengah siang bolong. Sungguh perasaan paling sial dan paling menderita bertubi-tubi menghujami hati seiring keringat yang deras mengalir.

Pernah kejadian, di suatu saat setelah pulang dari gereja. Di parkiran gereja aku mendapati ban motorku kempis. Dan manalagi dalam dua hari ini terhitung sudah lebih dari tiga kali aku mendapati ban motorku kempis. Uuh... rasanya hendak misuh-misuh tapi kok yah gak pantes karena baru aja pulang dari gereja. Tapi kalo gak misuh-misuh, malahan lalu bersyukur kok yah gak wajar juga jadi manusia... akhirnya cuma bisa ndongkol di hati. Kusurung motor ke sana-sini. Kok gak ada bengkel tambal ban yang buka? Bingung. Mau terus ke kiri atau balik ke kanan. Ntar milih kanan jebule tukang tambal ban di kiri. Milih kiri jebule ntar gak ada tukang tambal ban di sana. Inilah penderitaan tersendiri yang tadi kukatakan... sesuatu banget.

Dan, hingga pada suatu ketika, waktu masih pagi-pagi benar sudah nungguin tukang tambal ban menggelar bengkelnya. Aku mendapat sebuah pencerahan. Penemuan hakikat dari pecah ban. Filosofi yang tersembunyi di balik peristiwa pecah ban. Mau tau ???

Pecah ban berarti belajar melayani. Maksudnya? Bayangkan sudah berapa kilometer motormu sudah kau tunggangi. Kesana-kesini. Melayani tanpa ada keluhan. Dan, tanpa ada ptotes. Nah dengan adanya kejadian pecah ban ini, sekali-kali lah gantian kita melayani motor kita. Dengan telaten menuntunnya. Dengan sabar jalan hilir mudik. Ke sana-kesini. Mencari-cari si tukang tambal ban.

Pecah ban berarti belajar sabar. Kita harus berhenti sebentar. Melihat gerangan apa yang menyebabkannya. Bila ban kempis karena kecucuk paku maka cabutlah dulu paku itu. Lalu, dengan telaten menuntun motor. Bila tidak, lalu kita paksa terus menungganginya menuju tempat tambal ban. Akibatnya akan lebih fatal. Paku akan mengoyak-ngoyak ban dalam. Atau, ban dalam jadi sobek dekat pentilnya. Akhirnya ban dalam pun tidak bisa ditambal, harus diganti. Bila menambal cukup dengan membayar delapan ribu rupiah, tidak dengan ganti ban dalam. Isi kantong akan dirogoh lebih dalam. Lenyaplah kocek lebih banyak. Kira-kira tiga puluh enam ribu rupiah banyaknya. Apalagi bila dipentung harga oleh si tukung tambal ban bisa lebih banyak kocek yang dilkeluarkan. Efek lain dari kita memaksa menunggangi motor kita yang sedang menderita itu adalah pelek ban bisa jadi peyok. Dan jika peyok maka harus setel pelek dan jari-jari. Dan itu bisa menghabiskan dana kira-kira tujuh puluh ribu. Lebih fatal dan mahal bukan ?

Pecah ban itu menyehatkan. Kok bisa sih? Lah jaman sekarang kita kalau hendak pergi kemana-mana terbiasa naik motor. Dekat, naik motor. Apalagi pergi jauh. Jadi gak kebiasa jalan kaki. Padahal jalan kaki itu sehat loh... Lah dengan mendorong motor kita jadi terpaksa jalan. Kesana-sini nyari tukang tambal ban. Lalu keringatan. Jadi sehatkan?

Hmm... ternyata ada makna tersembunyi di balik ban motor yang pecah. Yah tapi tetaplah boleh misuh-misuh bila tahu ban kempis. Tapi sebentar aja yah... karena dengan misuh-misuh, itu menandakan bila kita masih jadi manusia.Tombo ndongkol dab !!!