Pada suatu kesempatan aku berbincang dengan Nopi, temanku, tentang seputar kehidupan. “Pernah dengar kisah Senapati Kumbakarna bro ?” ujarku membuka bincang. Nopi menggeleng. Aku tersenyum. Melihat senyumku lalu ia berkata “itu cerita pewayangan kan ? Gak mudeng aku yang kayak begituan.” Aku tersenyum lagi. Ia melirik. “Kalau orang gak mudeng tuh yah diceritain. Gak cuma diketawain,” ujarnya. Aku sekali lagi tersenyum. “Ciyus mau diceritai ?” ledekku. Kali ini, ia mengangguk. “Oke deh kalo begitu !” ucapku.
“Dalam epos ramayana, dikenal seorang ksatria yang mengemban tugasnya sampai pada tetes darah terakhir. Sang ksatria adalah Kumbakarna. Kumbakarna adalah seorang senapati Kerajaan Alengka. Ia merupakan adik dari Rahwana, raja Kerajaan Alengka. Meskipun, sang ksatria ini terlahir dengan wujud raksasa tetapi ia berwatak jujur, berani karena benar dan bersifat satria. Ini yang membedakannya dengan sang kakak.”
“Kisah kepahlawanan Kumbakarna diawali ketika kerajaan Alengka diserbu oleh pasukan kera yang dipimpin oleh Sri Rama. Dimana, Sri Rama bertujuan merebut Dewi Shinta yang diculik oleh Rahwana. Kumbakarna menolak untuk ikut campur dalam perang. Menurutnya, perang tersebut dapat dihentikan dengan cara mengembalikan Shinta ke pelukan Sri Rama. Tapi Rahwana ogah melakukan itu. Ia terlanjur cinta pada shinta. Date line pun berakhir. Sri Rama dibantu oleh pasukan kera menyerbu Kerajaan Alengka. Rahwana lalu memanfaatkan situasi ini sebagai alasan menyeret Kumbakarna maju ke medan perang. Kumbakarna pun bangkit berperang. Bukan demi Rahwana, sang kakak, ia berperang. Tapi demi kerajaan Alengka, negeri tempat ia dilahirkan, hidup, dan mengabdi.”
“Dalam peperangan ini dikisahkan Kumbakarna bertempur habis-habisan. Tanpa gentar sedikit pun. Ketika panah Sri Rama membuntungi kedua tangannya, ia pun berperang dengan kedua kakinya. Ketika kedua kakinya juga dibuntungi, ia terus bertempur dengan tubuhnya. Mengelinding ke sana ke mari. Menghancurkan tanpa ampun bala tentara Sri Rama. Akhirnya, dikisahkan Kumbakarna pun gugur dalam peperangan ini sesudah panah Sri Rama memenggal lehernya. Tetapi, ia gugur sebagai ksatria. Ksatria yang menjalankan tugas dan kewajibannya sampai tetes darah penghabisan. Kumbakarna gugur sebagai ksatria yang memegang teguh prinsip dan bertanggung jawab, sampai tetes darah penghabisan.”
“Gile bener tuh orang !” ujar Nopi. “Tapi sayang cuma dongeng doang. Coba kalau beneran.” tambahnya.
“Weee... Jangan salah bro ! Kisah Kumbakarna ini bukan cuma sekedar epos. Epos yang berisi keindahan karya sastra belaka. Kisah ini dilahirkan untuk menjadi teladan di ruang dan waktu yang nyata. Lalu menghidupi ruang dan waktu itu.” Ujarku sedikit berfilosofi.
“Tapi dalam dunia nyata, ada gak orang yang kayak gitu. Orang yang memegang teguh prinsip dan bertanggung jawab, sampai tetes darah penghabisan. Ada gak ?” tanyanya kemudian.
“Pernah denger kisah mbah Maridjan ?” Aku ganti bertanya. “Pernah. Sedikit tapi,” ujarnya.
“Kalau begitu aku akan bercerita tentang Mbah Maridjan, bagaimana ?” Aku menawarkan pada Nopi. Ia menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. Aku lalu bercerita. Kali ini tentang Mbah Maridjan.
“Tersebutlah kisah lain.” ujarku untuk membuka cerita. “Kisah dari seorang lelaki tua. Lelaki tua ini bukan seorang panglima perang. Ia pun tidak bertubuh kekar layaknya panglima perang yang dikisahkan dalam epos. Ia hanya seorang abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta. Lelaki tua ini bernama Mas Penewu Surakso Hargo, nama bekennya yakni Mbah Maridjan. Mbah Maridjan diangkat menjadi abdi dalem Keraton Kesultanan Yogyakarta saat Sultan HB IX berkuasa di tahun 1970. Mbah Maridjan diberi jabatan sebagai wakil juru kunci. Pangkatnya Mantri Juru Kunci. Ia mendampingi ayahnya yang menjabat sebagai juru kunci Gunung Merapi. Lalu, setelah ayahnya wafat pada 1982, Mbah Maridjan pun diangkat menjadi juru kunci.”
“Kisah kepahlawanan ini berawal saat Gunung Merapi meletus di tahun 2006. Saat itu, ia bertahan untuk tidak ikut mengungsi meski Merapi berstatus “AWAS”. Ia menunjukkan kesetiaannya menjaga Gunung Merapi. Sri Sultan HB X, kabarnya, sampai-sampai menjemputnya. Namun, Mbah Maridjan teguh pada prinsip.”
“Kisah ini berulang saat Gunung Merapi Meletus lagi di tahun 2010. Mbah Maridjan kembali teguh pada prinsip tidak mau mengungsi. "Saya masih betah tinggal di tempat ini. Jika saya pergi mengungsi, lalu siapa yang mengurus tempat ini," ucap Mbah Maridjan. Ia tetap tinggal di kediamannya. Sekali lagi Ia menunjukkan kesetiaannya menjaga Gunung Merapi. Mbah Maridjan, akhirnya, gugur. Gugur tersapu oleh awan panas. Gugur sebagai ksatria yang memegang teguh prinsip dan bertanggung jawab, sampai tetes darah penghabisan.”
Nopi geleng-geleng, “sayang yah senapati kumbakarna itu cuma dongeng dan orang-orang kayak mbah Maridjan amat sangat langka.”
“Maksudnya ?” tanyaku.
“Begini...” ujar Nopi “lihat aja... Banyak sekali orang yang sudah tidak bisa lagi memegang teguh prinsip dan bertanggungjawab pada tugasnya, bahkan sampai tetes darah penghabisan layaknya Senapati Kumbakarna dan Mbah Maridjan.” Ia memaparkan pikirannya.
“Maksudnya ?” tanyaku sekali lagi.
“Contoh kecil. Di jalan tuh... banyak polisi lalu lintas yang sengaja menyetop motor atau mobil. lalu sengaja mencari-cari kesalahan sang pengemudi. Untuk apa? Untuk dapat duit. Atau, Pak RT atau Pak RW atau perangkat desa lain pura-pura melayani mengurus KTP ato KK lalu buntut-buntutnya minta duit. Alasannya untuk transport kek... Biar cepet jadi kek... Contoh besar, lihat tuh pejabat-pejabat kita banyak yang kena kasus korupsi. Ada yang korupsi daging sapi kek... Ada yang Korupsi pengadaan Al Quran. Gile bener ampe kitab suci aja berani dikorupsi. Lalu lihat juga banyak jalan yang selalu rusak... Dan herannya cuma setiap deket-deket pemilu atau pilkada aja perbaikannya. Itu aja jalannya belum ada sebulan udah rusak lagi. Huh, bikin jalan aja gak becus. Lihat sekali lagi, harga kedele yang mahal. Atau, cabe dan jengkol yang barusan kemarin dulu harganya gila-gilaan. Padahal kan orang Indonesia kan gemar betul makan tempe goreng, sambal dan gulai jengkol.” Ujar Nopi panjang lebar. Sambil membetulkan duduknya, ia menyambung kembali pemaparannya “Itu... itu kan contoh bahwa mereka para pemangku jabatan tidak berusaha menjalankan tugasnya sampai tetes darah penghabisan. Malahan punya prinsip jangan sampai darah gue menetes. Gue gak boleh rugi.”
“Terus bagaimana ?” tanya Nopi tampak jadi bingung sendiri.
“Begini bro... kayaknya simpel jawaban dari pertanyaanmu itu. Ketulusan. Yah semua itu harus dilandasi ketulusan. Jika semua pekerjaan dilandasi ketulusan maka aku pikir semua orang bisa jadi seperti Senapati Kumbakarna dan Mbah Maridjan. Menjalankan tugas yang dipercayakan padanya sampai tetes darah terakhir. Menjalankan tugas itu dengan bertanggungjawab. Tapi tentu saja bukan dengan cara mati di medan perang dan mati kena awan panas loh...” kutepuk bahu temanku yang dilanda kegusaran.
Entah Nopi puas atas jawabanku atau tidak, kami selanjutnya meneruskan berbincang ringan. Sambil sesekali menyeruputi kopi dan menghabiskan malam.
*) Dimuat dalam Majalah Sekolah Xaverius 1 Teluk Betung "Jenius" Edisi 8/IV, Juli-Des 2013