Senin, 26 Agustus 2013

Pamer

Saat kuliah ada seorang teman, yang dari keluarga berada,  gemar sekali memamerkan hartanya yang baru dimiliki ke kami dengan segala cara yang kami anggap lucu. Pernah pada suatu kali, ketika ia berganti motor dari supra ke tiger, ia membawa tigernya masuk lorong kostku dan tepat berhenti di depan pintu kamar lalu menggeber gas kencang-kencang. Motor 200 cc itu pun meraung bukan kepalang. Sontak seisi kamar kostku, yang kala itu sedang ramai pengunjung, tumpah ke luar. Kebrebegan. Berhambur mendekati sumber suara. Dan, temanku tadi, sambil prengas-prenges di atas motor menyambuti umpatan bercampur puja puji pada motor barunya. Pernah pula, ia datang ke kost mengendarai mobil kijang jantannya. Aku dan beberapa kawan segera mengetahui kedatangannya dari kejauhan melihat kereta kencananya, “juraganne teko” lalu ujar salah seorang dari kami. Mobil pun parkir di samping kost. Tapi si penunggang tak keluar. Lama berselang. Tak kunjung keluar pula. Kami segera beranjak menggeruduk. Kaca mobil diketoki. Seiring kaca mobil terbuka menyeruak raungan grup metallica dari dalam mobil. Bising. Keras sungguh. Si pemilik mobil, dengan berlepot senyum penuh kemenangan, berkata “apik gak audio mobilku ?” Gubrak...

Perilaku pamer tidak dapat disalahkan. Pamer merupakan bagian tidak terpisahkan dari manusia. Pamer merupakan sebuah kebutuhan. Bahkan Maslow, dalam hirarki kebutuhannya, menempatkan penghargaan dari sesama pada lapis keempat di hirarki kebutuhan manusia. Setelah manusia bisa bertahan hidup dengan mencukupi kebutuhan fisik, makan dan minum, manusia akan beranjak ke level kebutuhan yang lebih tinggi, yakni rasa aman dan nyaman. Lalu lebih tinggi lagi, yakni dicintai. Dan lebih tinggi lagi, yakni dihargai oleh orang lain. Penghargaan dari orang lain ini bisa atas kompetensi, prestasi, status atau bisa pula karna harta yang dimiliki. Efek domino dari dihargai oleh orang lain ini adalah aktualisasi diri. Akhirnya, kebutuhan manusia yang tak terbatas berpuncak pada pengakuan dari sesama. Semua kebutuhan yang sudah dicapai manusia menjadi tidak berarti jika tidak ada pengakuan dari orang lain. Buat apa memiliki mobil mewah jika tanpa perkataan “wuuih... bagus bener mobilnya.” Untuk apa punya rumah jika tanpa ungkapan “wah rumahnya bagus, keren.” Jadi pamer merupakan salah satu cara jitu agar kebutuhan pengakuan dari sesama bisa terpenuhi.

Bangsa Indonesia pun, pada masanya, juga pernah menjadi bangsa yang suka pamer. Bahkan monumen-monumen pameran masih kokoh berdiri. Tengok saja tugu monas, stadion utama gelora bung karno, dan jembatan ampera. Bukan sembarang hendak berpamer ria tapi ada udangnya di balik batu, alias ada maksudnya... Selain hendak menunjukkan, “ini loh Bangsa Indonesia”, Presiden Soekarno saat itu juga hendak menyampaikan maksud, “Wahai bangsa-bangsa di kawasan selatan ayo bangkit. Ini buktinya... Bangsa Indonesia mampu bangkit dari penjajahan dan membuat bangunan-bangunan yang megah!” Dan konon ceritanya, Stadion Utama Gelora Bung Karno saat itu merupakan stadion olahraga termegah pertama di kawasan Asia, yang setara dengan stadion-stadion di Amerika Serikat, Uni Soviet dan Eropa. Lalu tugu Monas dibangun untuk menyaingi menara Eiffel di Perancis. Juga jembatan Ampera dibangun untuk menyaingi Golden Bridge di San Fransisco.

Orang-orang di Indonesia, saat ini, masih suka pamer ke dunia cuma yang dipamerkan beda. Kebanyakan mereka memamerkan perasaan hatinya. Aktivitasnya. Makan siang atau makan malamnya. Anaknya, yang mau sekolah kek... sedang sakit kek... jatuh dari sepeda kek... ulang tahun kek... maka tak heran bila di status Facebook ada status “Tuhan... Aku mumet” atau “mau beol nih” atau “lagi masak gule jengki”.
Jadi tidak salah dong jika mau pamer... Gak salah sih tapi jangan mengorbankan kebutuhan lain yang lebih fundamental. Kalau laper ya butuh makan, ya makan... tapi jangan terus beli makannya di KFC atau Pizza Hut biar dibilang wuih tajir... Jangan juga hal-hal gak penting terus semuanya dipamerin lewat facebook. Beol lah... Pusing lah... Bokek lah... Masak lah... Makan lah... Bete lah... Sakit jiwa itu namanya !!!